Hisc 1

1303 Words
Matahari mulai muncul dari peraduan, orang-orang mulai sibuk dengan aktivitas masing-masing. Tidak terkecuali Leilani Arsa, seorang istri dari CEO ekspor dan impor suku cadang kapal, Sava Danadyaksa. Seperti biasa, rutinitasnya setelah bangun tidur adalah membangunkan suami tercinta dan kedua anaknya, Elma Danadyaksa dan Demas Danadyaksa. “Sayang, ayo bangun!” seru Laelani -- atau sering disapa Lani—lembut dengan tangan mengusap surai sang suami. Sava mengerang kecil sembari membuka mata malas.“Sudah pagi?” tanyanya seraya bangkit dan mengucek sebelah matanya. Lani tersenyum simpul. “Iya, ayo bergegas! Atau kita bisa terlambat!” ucap Lani mengusap pipi Sava. Sava menguap sembari mengangguk-anggukkan kepala. Tanpa menunggu lama, dia turun dari ranjang dan berjalan gontai ke kamar mandi. Tugas pertamanya selesai, Lani langsung ke luar kamar dan langsung menyambangi kamar anak-anaknya. Tentu bukan hal yang mudah baginya. Dia harus sabar membangunkan kedua malaikatnya. Kadang, ada saja kejadian yang harus menahan emosi berkali-kali lipat. Namun, Lani tetaplah seorang Ibu yang sabar. Kedua anaknya sudah rapi, tinggal menyiapkan sarapan.Lalu, setelah itu, dia menyiapkan diri terlebih dahulu. Mengganti baju dan berdandan selayaknya orang yang berangkat kerja. Hei, jangan salah! Lani juga seorang pengusaha garmen dan butik. Perfect, ‘kan? “Hai, Sayang. Anak-anak sudah siap?” tanya Sava yang tengah berdiri menjulang di depan cermin dengan tangan berkutat dasi. Lani menarik kedua ujung bibir hingga terlihat cantik. Dia menghampiri sang suami. Tanpa aba-aba, Lani mengambil alih dasi yang sedang dipegang Sava. “Tentu. Anak-anak tinggal menunggu kita,” jawab Lani sembari menyimpulkan dasi. Sava menatap sang istri intens. Lani adalah wanita terbaik yang pernah dia temui. Mampu mengerjakan kewajiban sebagai seorang istri dan Ibu. Pun karir yang cemerlang. “I love you,”ucap Sava masih menatap lekat sang istri. Lani mendongak, menatap manik tajam Sava. Berbarengan dengan itu, sang wanita berjinjit hendak menggapai sesuatu yang sering membuatnya mabuk kepayang. Wajah keduanya semakin dekat, dekat dan .... “Mama!” teriak Elma dari ruang makan yang masih didengar kedua orang tuanya. Sava dan Lani langsung menghentikan aktivitasnya. Mereka berdua tertawa bersamaan. “Me too, Honey. Sepertinya mereka sudah kelaparan,” ujar Lani sembari terkekeh. Sava hanya tertawa ringan. “Baiklah. Cepat ganti baju, aku turun duluan.” Lani hanya mengangguk lalu segera melesat untuk berganti baju. *** “Mama sama Papa kenapa lama?” tanya Elma sembari memasang wajah cemberut. Sava yang baru duduk pun terkekeh pelan. Putrinya ini memang kritis dalam segala hal. Sudah terlihat dari caranya berkomentar, padahal baru berusia 5 tahun. “Maaf, Sayang. Mama lagi ganti baju dan Papa tadi siap-siap dulu. Nah, sudah pada lapar, ya?” tanya Sava, mengalihkan pembicaraan agar anak perempuannya tidak cemberut lagi. “Sudah!” seru kedua anaknya bersemangat. “Nah, ayo kita makan!” ajak Sava, sembari membuka piring yang ada di hadapan Elma dan Demas. “Mama ....” Demas berucap sembari mencari sosok sang Ibu. “Nanti Mama turun, Sayang,” timpal Sava, mengelus rambut anak lelakinya. Tidak lama kemudian, Lani datang dengan pakaian kerja plus tasnya. Dia bergegas duduk dan menyendok kan nasi untuk kedua anak dan suaminya. “Maaf Mama lama. Ayo makan!”ucap Lani, tersenyum. Mereka pun makan dengan hening. Lani makan sembari menyuapi Desma. Cukup 15 menit untuk sarapan, keluarga Sava pun bergegas berangkat. Sava mengantar Elma untuk sekolah PAUD, sedangkan Lani mengantar Demas ke rumah orang tuanya. Kebetulan tidak terlalu jauh. “Sayang, belajar yang rajin, ya. Baik-baik di sekolah,” ujar Lani sembari berjongkok, menyamakan tinggi dengan Elma. “Iya, Ma. Nanti Elma mau kasih Mama nilai 100!” seru Elma antusias dan itu sontak membuat Sava dan Lani tertawa. “Anak pintar,” cetus Sava mengusap rambut Elma yang tergerai. Lalu, giliran Sava yang memangku anak bungsunya. “Nah, jagoan Papa juga jangan nakal di rumah Nenek, ya. Nanti Papa kasih mainan,” papar Sava membuat senyuman terbit di bibir Demas. “Iya, Pa!” seru Demas keras. Setelah itu, mereka pun pergi dengan mobil masing-masing dan tujuan masing-masing. *** Sava kembali melirik jam di tangannya. Sudah lima menit berlalu, tapi dia belum juga mendapati sosok itu. Kopi dan donat sudah tersuguh di meja. Tinggal menunggu si empunya butik yang belum juga muncul. Lalu, suara pintu dibuka membuatnya bernapas lega. Sava berdiri menyambut sang wanita dan berinisiatif menarik kursi untuk dia. “Thank’s,”ucap si wanita dan duduk santai di depan Sava. “Macet?” tanya Sava sembari menyeruput kopinya. “Enggak. Demas menagih janjimu padaku,” timpal lawan bicaranya. Sava langsung berhenti dan menyimpan kembali kopinya. Lalu, tidak lama kemudian, terdengar tawa yang membahana di sana. Membuat beberapa orang yang berkunjung ke butik menatap mereka. “Sava!” “Oke, sorry,” cetus Sava langsung menghentikan tawa. Dia menggenggam tangan halus dan putih yang bebas di meja. “Maaf, Lani. Sepertinya Demas menuruni sifatmu yang tidak lupa dengan janji,” papar Sava membuat Lani berdecak. “No! Demas itu 99,99% mirip kamu. Termasuk sifatnya. Jangan membalikkan fakta,” ungkap Lani sembari mengambil donat dan melahapnya sebagian. Sava terkekeh. Bagaimanapun Lani selalu membuatnya berada di suasana hangat, bahkan saat berdebat seperti ini. “Sava junior. Right?” Sava menaikkan turunkan alisnya, membuat Lani tak kuasa untuk tertawa. “Hahaha. Baiklah, kamu selalu benar Tuan CEO. By the way, apa aku terlambat?” tanya Lani saat tahu waktu mereka tinggal tiga menit lagi. Sava mengembuskan napas pelan. Kali ini dia melipat tangan di depan d**a. “Tentu. Kamu membuatku menunggu. Padahal, aku rindu, Sayang.” Sava mencondongkan tubuhnya lalu melipat kedua tangannya di meja. Mata Sava menatap wajah cantik Lani yang tengah terdiam dengan selai donat di ujung bibirnya. “Kamu menggodaku, Lani?” tanya Sava masih menatap lekat wajah sang istri. Lani yang tak paham pun hanya mengernyit, bingung. “Jangan membuatku tertahan di sini,” sambung Sava menambah kebingungan Lani. Mereka berdua saling bertatap dan keduanya bahkan menghiraukan tatapan orang-orang di sana juga dering ponsel Sava yang berbunyi. Setiap hari, setidaknya sepuluh menit mereka menghabiskan waktu sebelum keduanya disibukkan dengan pekerjaan masing-masing. Waktu berharga itu selalu terjaga hingga 7 tahun pernikahan saat ini. Mungkin, sebagian orang mengira mereka pacaran. Karena gerak-gerik keduanya yang masih harmonis seperti masa pacaran. Kembali, dering ponsel Sava berbunyi. Namun, si empunya seolah tak memedulikan. Baginya wajah Lani menghipnotisnya. Beda dengan istrinya, dia mulai khawatir jika itu panggilan penting. “Sayang, ponselmu berbunyi,” ucap Lani akhirnya bersuara. Tetapi, Sava masih tak acuh. Ponsel pun kembali berdering, entah untuk ke sekian kali. Lani yang melihat tingkah suaminya pun hanya mengembuskan napas pelan. Disentuhnya tangan Sava dengan lembut. “ Sava, sudah cukup memandangnya. Ponselmu berbunyi. Siapa tahu penting.” Sava berdecak, kesal karena waktu berharganya terganggu. “Ah, ya ampun!” umpat Sava. Dia menjawab panggilan dengan malas. Dan, saat di seberang sana bersuara, itu membuat Sava menekuk kan wajah. “Why?” tanya Lani saat Sava memutus panggilan. Sava mengembuskan napas kasar sembari menggaruk tengkuknya. “Meeting menanti,” jawab Sava singkat tapi justru membuat Lani tersenyum. “Ya sudah, cepat berangkat! Jangan sampai client menunggu,” ujar Lani, tapi malah membuat Sava cemberut. “Kamu mengusirku?” tanya Sava, merajuk. Dan itu membuat gelak tawa Lani menggema. “Bukan begitu, Sayang. Tetapi, janji kan sudah dibuat, jangan buat mereka kecewa. Nanti kita lanjut via video call,”bujuk Lani, sukses membuat Sava luluh. Dia berdiri dan membetulkan jasnya, disusul Lani yang membawakan tas kerja sang suami. “Baiklah Nyonya Danadyaksa, aku berangkat. Tapi sebelum itu—“ “Apa?” tanya Lani memotong ucapan Sava. Tiba-tiba Sava melumat bibir Lani, mengecap krim donat di ujung bibir istrinya. Awalnya Lani kaget, tapi langsung tersenyum mendapati tingkah suaminya. Dering ponsel mengalihkan keduanya. Itu membuat Sava jengkel. “Baiklah, aku berangkat dulu. Jangan lupa kabari aku, Sayang.” Sava mengecup kening Lani. “Hati-hati,” ucap Lani sembari melambaikan tangan. Sava bergegas pergi dan mereka pun mulai menjalankan aktivitas masing-masing. ===
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD