Hisc 2

1092 Words
Kesibukan tampak kentara di butik Laelani. Hiruk pikuk pembeli yang tidak pernah sepi membuat suasana semakin ramai. Tetapi, wanita cantik itu bukan sibuk melayani pelanggannya, dia tetap fokus pada ponsel dan tangan yang terus menari-narikan pensilnya. “Tentu saja. Saya sangat senang kalau Anda berkenan hadir di hari istimewa kami.” Aura bahagia terpancar jelas saat Laelani berbicara dengan orang seberang. Satu panggilan ditutup, ternyata tidak sampai di situ saja, dia kembali mendial nomor relasinya. Tentu saja untuk membicarakan hari penting yang sedang dia susun. Sembari menunggu nada sambung yang belum dijawab, seulas senyum menghiasi wajahnya. Bahagia, bahkan terlalu bahagia sampai dia bisa menyelesaikan gambar desain yang elegan. Bukan hanya satu, tapi beberapa lembar. Setelah terdengar suara dari sana, Laelani mulai berbicara seperti sebelumnya. Mengingatkan relasinya untuk memenuhi undangan yang sudah dia buat. Saat tengah berbicara, beberapa karyawannya datang untuk menyerahkan sampel pakaian untuk mengisi butiknya. “Wah, gambarnya bagus sekali, Bu?” ujar seorang karyawati bernama Aini. Laelani tersenyum seraya menutup teleponnya. Dia menatap lima lembar gambar yang baru saja diselesaikan. Tampak kepuasan di wajah itu. “Benarkah?” tanya Laelani, meminta pendapat. “Serius, Bu. Padahal itu sedang sibuk, tapi bisa menghasilkan desain sebagus ini. Lima lagi,” puji Aini malah membuat Laelani terkekeh. “Kamu bisa saja,” cetus Laelani sembari membereskan lembaran kerjanya. Karyawatinya hanya tertawa pelan sembari menyerahkan sampel pakaian. Laelani langsung memeriksanya, dari mulai model, kain, benang dan jahitannya. “Oke, bisa langsung di pajang, ya.” Karyawati itu mengangguk, tapi tidak langsung pergi, dan sukses membuat Laelani keheranan. “Ada lagi, Aini?” tanya Laelani sembari duduk di kursi kebesarannya. Aini tersenyum. “Enggak ada, Bu. Saya Cuma mau ngucapin happy anniversaryyang ke-7 buat Ibu sama Bapak. Semoga rumah tangganya langgeng,” papar Aini membuat Laelani lagi-lagi tersenyum. “Terima kasih, Aini. Kamu sama yang lain jangan lupa datang, ya,” timpal Laelani yang langsung diangguki oleh Aini. Setelah itu Aini pun meninggalkan ruangan bossnya, menyisakan Laelani yang masih ceria dengan kesibukannya. *** Untuk ke sekian kalinya Nadine melihat Sava dari jendela kaca ruangan bosnya itu. Tampak sedari tadi sang laki-laki sibuk dengan berkasnya. Padahal, Nadine sedari tadi sibuk menghubungi relasi Sava untuk menghadiri pesta sang Tuan hajat. Nadine pikir, Sava tengah sibuk mengurusi persiapan anniversary, tapi sampai waktu bergulir siang pun, Sava tak beranjak dari kursi kerjanya. Ragu, Nadine ingin mengingatkan bosnya. Tetapi, takut jika menganggu. Dia serba salah. Namun, setelah dipikirkan matang-matang, akhirnya Nadine mengambil keputusan untuk memberitahukan Sava. Suara bariton menginterupsinya setelah ketukan pintu Nadine layangkan. Dengan cepat perempuan itu masuk ke ruangan bosnya. Sava masih tampak sibuk saat Nadine memasuki ruangan itu. “Maaf menganggu, Pak. Saya cuma mau mengingatkan tentang pesta anniversary Bapak dan Ibu Laelani,” ujar Nadine membuat Sava terdiam, lalu mendongak menatap Nadine dengan wajah terkejut. “Ya Tuhan! Kenapa kamu baru memberitahuku sekarang, Nadine? Aku belum menyiapkan semuanya.” Sava terlihat kelabakan dan panik, dia takut mengecewakan Laelani. Nadine tersenyum geli melihat tingkah bosnya. “Saya sudah menelepon relasi Bapak. Jadi, Bapak tinggal menyiapkan yang lainnya,”ungkap Nadine membuat Sava bernapas lega. “Untunglah! Terima kasih sudah mengingatkanku, Nadine.” Sava bersender pada sandaran kursi, dia melonggarkan sedikit dasinya. “Sama-sama, Pak.” Nadine mengangguk sembari tersenyum. “Baiklah. Kamu boleh keluar. Dan, oh iya ... saya sarankan kamu segera menikah, Nadine. Kamu akan tahu betapa bahagianya hidup bersama orang yang dicintai,” papar Sava membuat Nadine merona, malu. Setelah itu, Nadine pamit. Selang beberapa menit, ponsel Sava bergetar. Relasinya telepon. Laki-laki itu mengira jika ada masalah dalam pekerjaan, ternyata membahas tentang anniversarynya yang menginjak 10 tahun. “Saya salut, Pak. Hubungan Bapak dan istri tetap romantis walaupun sudah menikah selama 10 tahun.” Suara dari seberang membuat sudut bibir Sava terangkat. “Hahaha, Bapak bisa saja. Mungkin karena kami masih seperti orang pacaran,” timpal Sava, ringan. “Bisa jadi, Pak. Setahu saya, kalau rumah tangga sudah lewat 5 tahun, keharmonisannya berkurang. Tapi, Bapak sukses membinanya lebih dari 5 tahun.” Sava tersenyum jumawa. Dia hanya membalasnya dengan candaan. Ternyata, ucapan selamat terus berdatangan dari relasinya, hingga dia sibuk menjawab telepon hari ini. Namun, Sava benar-benar bahagia. Dia seolah kembali mendapat restu untuk kehidupan rumah tangganya. *** Beberapa hari sudah terlewati, menjelang hari H acara, kesibukan begitu kentara di rumah Sava. Beberapa karyawan Laelani terlihat membantu di sana. Sava sengaja mendekati istrinya yang tengah membantu menghias beberapa sudut ruangan. Tanpa malu, tangan kekarnya memeluk tubuh ramping Laelani dari belakang. Dan itu membuat si empunya memekik kaget. “Sava!” Lani melonjak sebari menengok ke samping, sudah bertengger kepala Sava yang bersandar pada bahunya. “Hm, can i help U, Honey?” tanya Sava dengan nada manjanya. Sikap Sava membuat anak buah Laelani tersenyum geli. Laelani yang sadar pun berbisik, malu. “Sava, di sibi banyak orang.” Lalelani berbicara sangat pelan, tapi masih didengar oleh Sava. “Lalu? Ini rumah kita. Kenapa mereka yang repot? Biarkan saja. Buat mereka iri,” cetus Sava dengan suara lantang, membuat Laelani malu dan karyawannya pura-pura mengalihkan pandangan. “Kamu ini!” seru Laelani pelan sembari menyubit tangan Sava yang masih setia melingkar di tangannya. “Aw! Sakit, Honey. Lagian, kenapa harus repot dengan semua ini? Kita tinggal menyiapkan gedung untuk pestanya, seperti 7 tahun yang lalu,” ungkap Sava sembari melepas pelukan dan memutar tubuh Laelani menghadapnya. “Daripada kamu dan karyawanmu sibuk seperti ini, lebih baik kita sewa gedung dan menyiapkan semuanya dengan reservasi. Tidak perlu seperti ini, Honey. Aku tidak mau kamu capek,” papar Sava, khawatir. Laelani mengela napas pelan dengan senyum khasnya. Dia tahu kekhawatiran Sava, tapi justru moment inilah yang dia inginkan. “Aku tahu kekhawatiranmu. Tapi, aku ingin merasakan kesibukan ini. Saat bisa menyiapkan pesta untuk hati spesial kita. Kesan dan kepuasannya beda kalau aku menyiapkan sendiri dibanding dengan reservasi.” Sava menautkan kedua alis, tak setuju dengan alasan istrinya. “Ayolah, Sayang! Ini hanya terjadi setahun sekali. Dengan ini aku merasa puas dan bahagia. Lagian, aku tidak sendiri. Ada anak buahku yang membantu. Hm?” Laelani menggenggam tangan Sava, masih mencoba membujuknya. Sava diam sejenak hingga akhirnya dia pasrah menurutikeinginan istrinya. “Baiklah, jika itu maumu. Lalu, apa yang bisa aku bantu?” tanya Sava sembari mengedarkan pandangan ke ruangan tempatnya berada. Laelani pun menyapu pandangan ke segala penjuru ruangan. Semua sudah ada yang mengerjakan. “Em, bagaimana kalau kamu bermain dengan anak-anak? Mereka pasti bosan kalau menonton orang-orang sibuk bekerja?” Sava mengembuskan napas pelan dengan senyumnya yang mengembang. Dia mengusap pucuk kepala istrinya. “Baiklah, Nyonya Dabadyaksa,” ucap Sava sembari berlalu dan menyerukan nama kedua anaknya. ===
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD