(FLASHBACK)
Kantor Sava, Sore Hari
Sava baru saja menyelesaikan tumpukan terakhir berkas ketika Nadine berdiri di hadapannya. Wajahnya serius, tangan meremas dokumen kosong seperti sedang menahan detak jantung sendiri.
“Aku bawa bekal makan siang, Pak,” ucap Nadine pelan, tapi mantap.
“Hm. Makanlah,” balas Sava tanpa menoleh, matanya masih menatap layar laptop.
“Aku bawa double, Pak. Untuk kita berdua.”
Sava akhirnya mendongak, menatap Nadine dalam diam. Alisnya sedikit naik. “Terima kasih, Nadine. Tapi aku tidak lapar.”
“Pak, sebenarnya ada yang ingin saya katakan.”
“Bukankah kamu mau makan?”
“Iya. Tapi aku akan mengatakannya setelah kita makan.”
“Kamu makan duluan saja.”
“Pak, saya mau makan bareng Bapak.”
“Kenapa begitu?”
“Karena... Bapak sudah lama kulihat nggak makan. Bapak gak lapar?”
“Tidak.”
“Tapi saya laper banget, Pak.”
Sava menatapnya heran, kening berkerut. “Bukankah dari tadi kamu sudah kupersilakan makan?”
“Saya ingin makan bareng Bapak.”
Sava menghela napas, lalu menyipitkan mata. “Kamu mulai keras kepala, ya, Nadine?”
Nadine tak gentar. “Sekali ini saja, Pak. Ayolah. Saya kelaparan. Sejak pagi belum sarapan. Bapak tega?”
Sava memandangi Nadine dengan tatapan tajam yang lebih mirip pasrah daripada marah. “Kenapa aku merasa seperti orang yang telah menelantarkan mu, ya?” geramnya. Tapi bukannya ciut, Nadine malah terkekeh pelan.
“Ayo kita makan, Pak. Saya tadi masak sup. Kesukaan Bapak.”
Sava terdiam. Kata itu—sup—terdengar begitu asing sekaligus familiar. Dulu, Lani yang sering memasaknya. Semenjak Lani menghilang, ia tak pernah lagi menyentuh hidangan itu. Tak ada selera. Tak ada minat. Bahkan masakan terenak pun terasa hambar.
Tapi hari ini, Nadine mengingatkannya akan sesuatu yang selama ini ia tekan dalam-dalam.
“Aku akan membawa bekalnya ke mari, jika Bapak mengizinkan,” ucap Nadine, pelan tapi mantap, memecah lamunannya.
Sava menutup laptopnya dan bersandar pelan. “Baiklah. Aku menunggu.”
Begitu dapat izin, Nadine hampir lompat kegirangan. Kalau bisa, dia mau peluk printer saking senangnya. Tapi dia tahan. Dengan langkah cepat, dia meninggalkan ruangan untuk mengambil bekalnya.
*
Beberapa menit kemudian, Nadine kembali membawa dua kotak makan berisi sup hangat dan nasi. Aroma kaldu perlahan mengisi ruangan, menampar hidung Sava dengan nostalgia yang menyakitkan sekaligus menenangkan.
Mereka duduk di sofa kecil di sudut ruangan, tak seperti biasanya yang formal di balik meja. Nadine membukakan kotaknya, lalu menyerahkan satu sendok kepada Sava. “Ayo, Pak. Cicipi dulu. Nanti saya ikut.”
Sava menatap sendok itu seperti benda asing. Tapi akhirnya dia ambil juga dan menyendok perlahan. Suapan pertama... dan dunia seolah berhenti sebentar.
“Rasanya... mirip,” gumamnya.
“Maksud Bapak… mirip siapa?”
Sava diam sejenak. “Lani.”
Nadine langsung menunduk, menyembunyikan emosinya yang campur aduk. “Saya minta maaf kalau... saya mengganggu kenangan Bapak.”
“Tidak. Justru... rasanya menenangkan.” Sava menatapnya, untuk pertama kalinya dengan mata yang lembut. “Terima kasih, Nadine.”
Nadine tersenyum kecil. “Saya senang bisa bikin Bapak makan lagi.”
Mereka makan dalam diam, tapi diam yang nyaman. Sava beberapa kali mencuri pandang ke arah Nadine. Melihat bagaimana dia meniup sendok sebelum menyuap, cara matanya menyipit saat mencicipi kaldu—dan tiba-tiba, d**a Sava terasa sesak. Ada sesuatu yang tumbuh. Atau lebih tepatnya, kembali tumbuh.
“Sup-nya enak,” gumamnya, nyaris seperti bisikan.
Nadine menoleh, tersenyum. “Kalau mau, saya masakin tiap hari.”
Sava terdiam lagi. Lalu—pelan, dengan suara serak—ia berkata, “Kamu sudah terlalu sering membuatku bingung, Nadine.”
Nadine hanya tertawa kecil, tidak menjawab. Tapi pipinya memerah.
Dan sup itu? Sup paling sederhana yang pernah dibuat Nadine. Tapi untuk Sava, itu terasa seperti pulang.
Nadine senang Sava menghabiskan sup nya meski tidak menghabiskan nasinya. Usai membersihkan peralatan makan mereka, Nadine kembali seperti janjinya pada sava.
"Seperti janji saya, ada yang mau saya bicarakan, Pak," ucap Nadine tegas.
Sava mengangkat alis. “Baiklah. Katakan saja kamu mau bicara apa.”
“Tentang pekerjaan, Pak,” jawab Nadine. Tapi matanya enggan menatap Sava langsung. “Saya ingin mengajukan … semacam ... mutasi sementara.”
“Mutasi?” Sava menyandarkan tubuh ke kursi. “Mau pindah ke kantor cabang?”
“Bukan. Saya ingin ... pindah ke rumah Bapak."
Sava nyaris tersedak. “Maaf, apa?”
“Saya inekerja di rumah Bapak. Ngurus anak-anak Bapak.”Ngurus anak-anak. Maksud saya ... jadi semacam pengasuh, Baby sitter, asisten rumah tangga, atau apalah sebutannya. Dan saya serius, Pak.”
Ruangan itu langsung hening, bahkan AC-nya juga seperti ikutan syok.
“Nadine, kamu sekretarisku udah sembilan tahun. Kamu bisa handle merger jutaan dolar. Dan sekarang kamu mau ... gantiin suster anak-anak di rumah?”
“Iya, Pak."
"Kepalamu gak kebentur dinding kan tadi pagi? Atau kamu gak masukin zat aneh ke dalam sup mu?"
Nadine tergelak. "Saya waras, Pak."
"Baiklah. Tapi kenapa?"
"Karena anak-anak butuh seseorang. Dan saya rasa, saya bisa.”
Sava mengernyit. “Kenapa kamu tiba-tiba—”
“Karena saya lihat anak-anak ... kosong. Seperti kehilangan arah. Dan saya juga ... ingin mengisi kekosongan saya sendiri,” jawab Nadine cepat, sebelum keberaniannya kabur. “Jadi ... tolong izinkan saya mencoba.”
"Kalau saya tak mengizinkanmu?"
"Saya tidak akan mendesak Bapak. Hanya saja ...."
"Apa?"
"Bapak akan kehilangan kesempatan mendapatkan pengasuh yang keren."
Kening Sava mengerut. "Jadi menurutmu, kamu keren?"
"Dan tahan banting, Pak."
*
Beberapa hari kemudian, di rumah Sava
Awalnya… chaos total.
Elma dan Elmo — si kembar 6 tahun — pasang sikap defensif kayak tentara kecil. Mereka bahkan nempel tulisan “MAMA AKAN BALIK” ditambah gambar hati yang patah, di pintu kamar pakai crayon dan selotip. Nadine hanya bisa tersenyum miris tiap kali baca tulisan itu. Sementara Demas, si bungsu yang baru 3 tahun, cuma bisa menangis, nyari pelukan dan suara lembut yang biasa meninabobokan.
Tapi Nadine sabar.
Hari-hari pertama, Nadine seperti masuk ke kandang harimau mini. Air s**u tumpah, makanan dilempar, mainan berserakan kayak ladang ranjau. Elma teriak, “Jangan sentuh boneka Mama!” Elmo kabur waktu diajak mandi. Dan Demas... Demas menolak digendong, cuma mau duduk di pojok sambil mengisap jempol.
Tapi Nadine bukan tipikal yang gampang nyerah.
Dia sabar. Dia belajar. Dia ngikutin ritme mereka. Dia bikin menu makan siang berbentuk karakter kartun kesukaan. Dia belajar gaya nyanyi ala Lani waktu meninabobokan Demas—dari video-video lama yang ditemukan di ponsel rumah. Dia pelan-pelan masuk ke dunia mereka.
Dan yang pertama luluh … tetap Elmo.
Suatu hari, Elmo pulang dari TK dalam keadaan merah matanya. Ternyata dibully — temannya nyeletuk, “Mama kamu enggak balik-balik, berarti kamu anak yang dibuang.”
Nadine langsung datang ke sekolah. Dengan tegas tapi penuh empati, dia minta bicara dengan guru. Setelah itu, dia ajak Elmo duduk di taman sekolah.
“Kamu tahu nggak, Elmo? Enggak semua anak bisa punya mama di rumah. Tapi kamu punya sesuatu yang lebih penting.”
“Apa?” tanya Elmo, suaranya lirih.
“Adik, kakak, dan Papa yang sayang kamu. Dan... Kak Nadine yang janji bakal jagain kalian.”
Elmo gak langsung jawab. Tapi waktu mereka pulang dan Nadine kasih segelas s**u hangat, tangan kecil Elmo meraih ujung bajunya pelan-pelan.
“Kak Nadine jangan pergi, ya?”
Hati Nadine mencelos.
Sementara Elma butuh waktu lebih lama. Tapi setelah Nadine berhasil ngepang rambut Elma gaya kepang kelabang dua sisi, dengan pita merah muda di ujungnya, Elma mulai bilang, “Kak Nadine boleh nemenin aku nonton kartun.”
Dan Demas ... ah, Demas.
Dia mulai nempel kayak lem. Bobo cuma di pelukan Nadine. Kadang tangannya masih nyari-ngari wajah Nadine sebelum tertidur. Suatu malam, Demas bangun sambil ngomel setengah sadar, “Mana Kak Na…Nadine…”
Dan saat itu Sava, yang baru pulang kerja, diam di ambang pintu.
Melihat pemandangan Nadine memeluk Demas yang mulai terlelap, dia tiba-tiba merasa… rumahnya gak sepi lagi.
Dia tahu... rumahnya pelan-pelan berdenyut lagi.
Bukan karena Lani.
Tapi karena Nadine.