Sore itu di ruang keluarga.
Hujan turun pelan. Elma duduk di lantai, menggambar sambil cemberut karena Nadine belum juga selesai mencuci piring. Nadine sesekali melirik dari dapur, memastikan si kembar tetap aman sambil mengawasi Demas yang main dengan balok warna.
Sava belum pulang. Rumah agak tenang, tapi Elma terlihat gelisah. Tangannya menggambar cepat—coretan acak, tak seperti biasanya. Nadine selesai dan langsung menghampiri, duduk di lantai.
“Kamu gambar apa, sayang?”
Elma diam. Lalu menyerahkan kertas itu ke Nadine.
Di kertas itu, ada gambar empat orang. Dua anak kecil, satu bayi, satu perempuan dewasa. Semuanya tersenyum. Tapi satu sosok tak tergambar dengan jelas — wajahnya cuma lingkaran kosong.
“Itu siapa aja?” tanya Nadine pelan.
Elma menunjuk.
“Ini aku. Ini Elmo. Ini Demas .…” ia ragu sejenak sebelum menunjuk sosok terakhir. “Itu Mama.”
Nadine menelan ludah, berusaha tetap tersenyum.
“Kenapa mukanya kosong?”
Elma mengangkat bahu. “Karena aku udah lupa Mama kayak apa .…”
Nadine membeku. Tangannya ingin merengkuh, tapi ia tahu ini momen rapuh.
“Aku cuma inget suaranya dikit-dikit. Tapi tadi pas Kakak nyanyiin lagu tidur, kayak … kayak mirip,” ucap Elma pelan. Matanya berkaca-kaca. “Boleh gak … mulai sekarang … aku manggil Kakak…”
Elma tak melanjutkan. Tapi tangannya pelan-pelan menyentuh pipi Nadine.
“... Mama Nadine?”
Dunia Nadine seperti berhenti sejenak. Jantungnya berdetak lebih cepat, seperti ditarik bolak-balik antara bahagia dan rasa bersalah.
Dia peluk Elma erat-erat.
“Boleh banget, sayang .…” bisiknya. Suaranya pecah.
“Tapi Kakak ... Mama Nadine janji ya, enggak akan ninggalin kami .…”
Masih memeluk Elma, Nadine mengangguk. Air matanya hampir jatuh saat dia menjawab. "Iya sayang, Mama Nadine janji gak akan ninggalin kalian."
Demas tertawa kecil tanpa tahu apa yang terjadi, dan Elmo hanya melirik sebentar dari mainannya — lalu tersenyum.
Di ambang pintu, Sava yang baru pulang ... berdiri diam. Matanya sembab.
Dan entah kenapa, untuk pertama kalinya ... dia merasa ingin pulang lebih awal besok. Supaya bisa melihat lagi senyuman yang baru saja mengisi ulang rumahnya.
*
Beberapa hari setelah Elma memanggil Nadine "Mama Nadine".
Sava baru saja pulang dari kantor, wajahnya lelah. Begitu buka pintu rumah, suasananya sunyi. Aneh. Biasanya ada teriakan anak-anak atau suara Nadine dari dapur.
Dia jalan ke ruang tengah. Dan di sana — Nadine duduk di sofa, matanya merah seperti habis menangis. Elmo berdiri di hadapannya, tangannya mengepal, wajahnya memerah karena marah … atau takut.
Sava langsung panik. “Ada apa ini?”
Nadine buru-buru bangkit, ingin bicara, tapi Elmo lebih dulu bersuara. Suaranya gemetar, tapi keras.
“Papa jangan marahin Mama Nadine!”
Sava tercengang. “Hah?”
Elmo maju selangkah, menahan air mata. “Aku tahu Papa gak suka Mama Nadine tinggal di sini. Tapi aku suka! Elma suka! Demas juga suka!”
“Elmo —”
“Dia belain aku waktu aku dibully. Dia masakin makanan kesukaan kita. Dia nyanyiin kita lagu sebelum tidur!” Suara Elmo pecah. “Kenapa Papa kayak gak seneng?!”
Nadine menunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya. Tapi Sava melihat tangisnya dengan jelas.
“Elmo, Papa gak marahin siapa-siapa,” kata Sava akhirnya, mendekat dan berlutut di depan Elmo. “Tadi Papa cuma tanya … Ada apa. Papa gak marah.”
“Papa jangan usir Mama Nadine .…” suara Elmo melemah. “Aku gak mau kehilangan mama lagi .…”
Deg.
Sava seperti ditonjok dari dalam. Perlahan, ia memeluk Elmo erat-erat. Nadine menghapus air matanya pelan, berbalik sebentar agar tak kelihatan rapuh.
Tapi dari arah dapur, Elma muncul dan langsung memeluk kaki Nadine.
“Kalau Papa usir Mama Nadine, aku ikut Mama Nadine aja.”
Sava berdiri. Matanya menatap Nadine yang masih menunduk, dan anak-anak yang memeluknya seperti pelampung di lautan sepi.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Sava tidak bisa tidur … karena satu hal: Apakah dia terlalu lama menyangkal bahwa yang mereka butuhkan … bukan Lani. Tapi Nadine?
*
Malam itu sunyi. Rumah Sava sudah tenang. Nadine baru saja menidurkan Demas, menyusul si kembar yang lebih dulu terlelap. Lampu kamar anak-anak sudah diredupkan.
Ia menutup pintu perlahan, langkahnya ringan agar tak membangunkan siapa pun.
Tapi saat berbalik, Sava sudah berdiri di ujung lorong, bersandar pada dinding dengan tangan bersilang di d**a.
“Aku boleh tanya sesuatu?”
Nadine sedikit kaget, tapi mengangguk. “Iya, Pak?”
Sava menunjuk ke arah ruang tamu. “Lima menit aja. Aku nggak bisa tidur sebelum tahu kenapa kamu nangis tadi.”
Nadine terdiam sejenak, lalu berjalan pelan menuruni anak tangga. Mereka duduk di ruang tamu. Lampu temaram, hanya cahaya dari luar jendela yang membuat wajah mereka terlihat samar-samar.
Sava menunggu. Nadine meremas jari-jarinya. Lalu suaranya keluar, pelan dan serak.
“Tadi sore ... aku ditelepon Tanteku di Amerika.” Ia berhenti sejenak, menelan perasaan yang kembali naik ke kerongkongan. “Papa sakit, Pak. Parah. Dan aku enggak bisa ke sana.”
Sava terdiam.
“Papa pisah sama Mama sejak aku umur lima belas. Dia pindah ke luar negeri ... dan sejak itu, aku cuma lihat dia lewat video call. Dia satu-satunya yang ngerti aku. Satu-satunya yang enggak pernah nyalahin aku karena jadi diri sendiri.”
Senyumnya getir. “Tapi sekarang, bahkan nelpon pun dia udah lemah. Napasnya kedengeran berat banget.”
Mata Nadine memerah lagi, tapi ia cepat-cepat mengusapnya.
“Maaf kalau aku jadi emosional di rumah ini, Pak. Aku tahu aku pekerja. Tapi hari ini ... rasanya kayak dunia aku dikoyak dari dua sisi. Anak-anak yang makin lengket sama aku, dan satu-satunya orang tua yang sayang aku ... justru makin jauh.”
Sava menunduk. Suaranya pelan. “Kenapa kamu enggak bilang dari tadi?”
Nadine mengangkat bahu. “Karena aku tahu anak-anak lebih penting. Dan aku janji sama diri sendiri ... selama aku masih di rumah ini, aku gak boleh lemah.”
Sava terdiam lama. Ia menatap Nadine seperti melihat sosok baru — bukan sekadar sekretaris atau pengasuh anak-anaknya, tapi seseorang yang tengah kehilangan bagian besar dari jiwanya, namun tetap memilih bertahan untuk orang lain.
Sava mengangguk pelan. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan sesuatu yang mengaduk-ngaduk di dadanya. Sesuatu yang asing tapi tak bisa dibantah.
Nadine hendak berdiri, tapi tangan Sava secara refleks menahan pergelangan tangannya.
“Nadine .…”
Suara itu pelan. Hampir seperti bisikan.
Nadine berhenti. Menoleh. Mata mereka bertemu dalam gelap. Mata Sava berkabut oleh sesuatu yang tak bisa diucapkan. Dan mata Nadine — walau sembab dan letih — masih bisa tersenyum kecil.
Untuk sepersekian detik, Sava lupa.
Lupa kalau perempuan di depannya adalah sekretarisnya. Lupa kalau dia masih suami orang — meskipun Lani sudah menghilang berbulan-bulan dan tak memberi tanda hidup. Lupa kalau semua ini bisa membuat segalanya rumit.
Yang dia lihat hanya seseorang yang begitu kuat, namun saat ini sedang rapuh, dan tetap memilih bertahan untuk anak-anaknya. Untuk anak-anak mereka.
Tangannya masih menahan pergelangan tangan Nadine. Ia bisa merasakan detak jantung Nadine — cepat dan ragu. Sama seperti miliknya.
Sava menarik napas, lalu dengan sangat hati-hati, tangannya berpindah. Bukan lagi menggenggam, tapi menyentuh pipi Nadine yang masih basah air mata.
“Nadine ....”
Nadine menahan napas. Dadanya berdebar. Ia tahu tatapan itu. Tatapan yang tidak seharusnya datang dari seorang pria yang masih punya status sebagai suami orang.
Tapi malam itu terasa sunyi. Terlalu sunyi hingga mereka bisa mendengar denyut jantung masing-masing.
Sava mendekat sedikit. Hanya sedikit. Tapi cukup membuat Nadine menegakkan punggungnya, nyaris mundur.
Namun sebelum apa pun terjadi, Nadine pelan-pelan menggenggam tangan Sava yang menyentuh pipinya — lalu menurunkannya dengan lembut.
“Aku harus istirahat, Pak,” ucapnya, pelan namun tegas.
Sava tersentak dari lamunannya. Ia menarik tangannya cepat-cepat, seperti baru sadar akan sesuatu.
“Maaf,” bisiknya. Ia memejamkan mata sejenak. “Maaf, Nadine.”
Nadine tersenyum tipis. “Saya ngerti, Pak.”
Lalu ia berdiri, menunduk sopan, dan berjalan pergi. Langkahnya tenang, meskipun hatinya masih bergetar hebat.
Sava duduk membisu. Matanya menatap lantai, rahangnya mengeras.
Malam itu, ia tahu satu hal dengan sangat jelas:
Perasaannya terhadap Nadine sudah tidak bisa diabaikan lagi.
*