Hisc 12

1235 Words
Begitu pintu kamar ditutup, Nadine menyandarkan punggungnya ke sana. Sunyi. Hanya suara napasnya sendiri yang terdengar … cepat … berat … hampir terengah. Tangannya ... dan pipinya masih terasa hangat. Bekas sentuhan Sava tadi seperti membakar kulitnya. Bukan karena takut. Tapi karena perasaan yang selama ini ia tahan — tiba-tiba meluap seperti banjir yang menerobos bendungan rapuh. Air matanya jatuh tanpa aba-aba. "Aku bodoh." Ia berbisik lirih sambil berjalan pelan ke tepi ranjang. Duduk. Lalu menunduk. Hatinya sesak. Bukan cuma karena rindu pada papanya di Amerika. Tapi karena ia jatuh cinta pada laki-laki yang tak seharusnya dicintai. Nadine memeluk lututnya. Sudah sejak lama — sejak ia menjadi sekretaris Sava di tahun-tahun pertama kerja — ia menyadari perasaan itu. Tapi ia simpan rapat-rapat. Ia tahu batas. Ia tahu posisi. Sava sudah ada yang memiliki. Dia adalah seorang suami. Seorang ayah. Seorang atasan. Tapi sejak Lani menghilang ... sejak anak-anak itu mulai masuk ke hidupnya ... sejak ia mulai tinggal di rumah ini .… Segalanya berubah. Nadine bukan lagi sekadar sekretaris. Dia mulai merasa seperti bagian dari keluarga. Dan itu menakutkan. Karena makin hari, perasaan itu tumbuh. Makin dalam. Makin nyata. Makin sulit diusir. "Aku gak boleh berharap." "Dia masih punya istri ...." "Aku cuma seorang pengasuh sementara ... untuk semuanya." Nadine membenamkan wajahnya di lutut, menggigit bibirnya sendiri agar tidak menangis lebih keras. Karena jauh di dalam hatinya, ia tahu : Jika suatu hari Lani kembali, dia harus pergi. Dan jika saat itu tiba … hati siapa yang akan hancur? * Sava berdiri di depan jendela ruang kerjanya. Lampu sudah mati. Hanya cahaya bulan yang menerobos masuk lewat tirai, memantul di lantai kayu dan menyapu bayangan tubuhnya yang diam seperti patung. Tangannya mengepal. Dia hampir menciumnya. Hampir. Sava memejamkan mata. Napasnya berat. Penuh rasa bersalah. Nadine .… Wanita itu sudah menjadi bagian dari hidupnya selama sembilan tahun terakhir. Sekretaris yang paling bisa diandalkan. Orang kepercayaannya. Dan sekarang — seorang penjaga anak-anaknya. Penyelamatnya, bahkan, ketika rumah ini hampir runtuh karena kepergian Lani. Dan barusan tadi .… Tadi dia nyaris kehilangan kendali. Bukan karena cinta yang baru muncul. Tapi karena hasrat yang telah dipendam terlalu lama. Tubuhnya kelaparan akan kehangatan. Hatinya kehausan akan kedekatan. Dan Nadine … dia datang membawa semua itu. Dengan senyumnya. Dengan kesabarannya. Dengan kelembutannya saat memeluk anak-anak yang terluka. Sava mengusap wajahnya kasar. “Gila. Aku sudah gila.” Dia bukan bujangan. Dia punya tanggung jawab. Dia masih suami orang, sekalipun istrinya sudah menghilang lebih dari setengah tahun tanpa kabar. Dia punya tiga anak yang butuh ayah, bukan laki-laki yang tak bisa menahan diri di depan pengasuh anaknya sendiri. Dan Nadine .… Nadine terlalu baik untuk diseret ke lumpur masalahnya. Dia pantas dapat pria yang lebih layak. Yang bisa mencintainya tanpa bayang-bayang istri yang hilang. Tanpa luka masa lalu. Tanpa beban tiga anak dan sebuah rumah yang hampa kasih. Sava menghela napas dalam-dalam. Dadanya sesak. Kalau tadi Nadine tidak menghentikannya .… Mungkin dia sudah melangkah ke titik yang tak bisa dia tarik kembali. Dan dia akan menyesalinya seumur hidup. * Pagi hari. Aroma telur dan roti panggang memenuhi udara. Ada tawa kecil dari ruang makan, suara Elma dan Elmo yang sedang berebut s**u cokelat. Demas duduk di high chair-nya, mengoceh sambil memukul-mukul sendok ke meja. Nadine berdiri di dapur, membalik roti dengan tenang. Senyumnya biasa. Tatapannya lembut. Seolah — tidak ada apa-apa yang terjadi tadi malam. Sava berdiri di ambang pintu. Diam. Mengamati. Bajunya sudah rapi. Jas kerja. Dasi abu-abu yang dipilih Nadine dua minggu lalu. Tapi rasanya ada yang ganjil. Seperti ada beban di kerah bajunya. Seperti ada debu yang tak bisa dia bersihkan dari matanya. “Pak Sava, rotinya akan dingin kalau dicuekin terus,” celetuk Nadine sambil tetap membelakangi. Suaranya ringan. Terlalu ringan. Sava tercekat. Dia tak bisa membalas. Hanya berjalan pelan ke meja makan, duduk, dan mencoba terlihat normal saat Elmo menyerahkan mainan robot padanya. Tapi matanya mencuri pandang ke arah Nadine. Dan jantungnya menolak tenang. Tadi malam hampir jadi sebuah titik jatuh. Tapi pagi ini? Pagi ini terasa lebih menyakitkan — karena Nadine bertingkah seolah tak terjadi apa-apa. Seolah dia berhasil melupakan. Sementara Sava … tidak. Dia bahkan nyaris tak bisa menelan roti panggang itu. “Pak Sava,” suara Nadine memecah lamunannya. “Saya titip surat dari guru Elma. Ada PR yang harus dikumpul lusa.” “Oh … iya. Terima kasih.” Tatapan mereka bertemu. Sekilas. Hanya sepersekian detik. Tapi cukup untuk mengaduk semuanya kembali. Sava tahu, dia sedang jatuh. Tapi dia tak boleh. Dan semakin dia menahan diri, semakin dalam rasanya dia tenggelam. * Sava menyandarkan kepala ke jok mobilnya. Mesin sudah menyala, tapi kakinya tak bergerak. Setir digenggam kuat. Napasnya berat. Matanya menatap kosong ke arah pagar yang baru saja menutup perlahan. "Hampir .…" Itu kata yang berputar di kepalanya sejak tadi malam. Hampir. Hampir dia mencium Nadine. Hampir dia membiarkan semua batas itu runtuh. Hampir dia jatuh. Sava memejamkan mata. d**a kirinya berdebar keras — bukan karena cinta, tapi karena ketakutan. Bukan takut pada Nadine. Tapi takut pada dirinya sendiri. Selama ini dia menahan. Menjaga jarak. Menganggap Nadine hanya sekretaris. Lalu jadi pengasuh anak-anak. Lalu … jadi bagian dari rumah. Bagian dari kehangatan yang sudah lama hilang sejak Lani pergi. Lani. Sudah setengah tahun menghilang. Tanpa kabar. Tanpa jejak. Polisi bilang kemungkinannya kecil untuk kembali. Tapi secara hukum, dia masih istri Sava. Dan Nadine … terlalu baik untuk dijadikan pelarian dari luka. Sava mengusap wajahnya kasar. "Apa yang kau pikirkan, Sava?!" gumamnya. "Dia pantas dapat yang lebih baik! Bukan kau!" Ponselnya berbunyi. Pesan dari Mira, sekretaris barunya di kantor. Mengabari soal meeting pukul sepuluh. Dia menarik napas panjang, meletakkan ponsel, lalu menatap kaca spion. Dan saat dia melihat pantulan dirinya, yang dia lihat adalah seorang ayah yang kelelahan, seorang suami yang tertinggal dalam masa lalu, dan seorang pria yang mulai jatuh cinta pada wanita yang tak seharusnya dia miliki. * Kantor Sava, jam 15:14 sore. Sava duduk di balik meja kerjanya. Kemejanya rapi, dasi terikat sempurna, laptop terbuka, spreadsheet di layar. Tapi ... dia nggak melihat satu pun angka di sana. Fokusnya buyar. Kopinya dingin. Biasanya Nadine bakal datang bawa kopi panas — sesuai selera, tanpa perlu diminta. Sekarang, kopi itu datang dari Mira. Terlalu manis, terlalu encer, dan ... nggak ada sentuhan hati. Sava mengangkat cangkirnya, menyeruput sedikit, lalu mendesah pelan. "Rasanya kayak air bekas cuci gelas," gerutunya. Baru tadi pagi dia nyaris kehilangan kendali. Dan sekarang, dia kehilangan arah. Dia bangkit. Melangkah ke kamar mandi pribadinya di dalam ruangan. Begitu membuka pintu, pandangannya jatuh ke rak kecil di dekat wastafel. Di sana ada botol cologne yang dulu Nadine belikan waktu ulang tahun. Yang katanya bikin dia ‘lebih cocok jadi CEO drama Korea daripada CEO kantor kontraktor.’ Sava tertawa kecil — pahit. Tangan kirinya meraih botol itu. Ditekan sedikit ke pergelangan tangan. Aroma yang familiar langsung menyeruak. Hangat. Lembut. Dan menyakitkan. “Kenapa sih kamu?” bisiknya pada bayangan di cermin. “Kenapa harus kamu yang bisa buat anak-anakku tertawa lagi?” “Kenapa kamu yang ngerti gimana Elmo suka main mobil-mobilan warna merah?” “Kenapa kamu yang nyanyi buat Demas tiap malam?” “Kenapa kamu yang bikin Elma menyukai baju baletnya?” Dia menutup mata. Jawabannya jelas. Karena Nadine istimewa. Tapi dia nggak boleh egois. Nadine terlalu baik untuk dijebak dalam kerumitan hidupnya. Apalagi statusnya masih suami orang. “Jangan sampai kejadian semalam terulang .…” katanya lirih. Karena kalau iya, dia takut tak bisa menahan diri lagi. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD