Episode 1

1167 Words
Suara dentuman musik electro house menggema, menghentakkan semua pengunjung bergoyang larut dalam alunan musik. Di salah satu club elite Jakarta Seorang gadis berjoget meliuk-liuk di bawah lampu disko dengan luwesnya mengikuti irama, banyak pasang mata memandang lapar ke arahnya. Apa lagi cara berpakaiannya yang sangat minim, sexy seperti kurang bahan. Menonjolkan tiap lekuk tubuhnya yang sintal bak gitar. Baginya semua itu sudah menjadi hal biasa, ia pun larut menikmati alunan musik edm dengan menggoyangkan kepala, ke kiri dan ke kanan sambil berlonjak-lonjak di bawah tamaram lampu yang redup. Nyaris pengunjung club mengenalnya, siapa lagi orang itu kalau bukan Bianka Atmaja pelanggan tetap club X2. Cahaya ruang tampak redup, sementara musik terdengar menghentak keras hingga membuat jantung ikut berdentam seiring dengan ritmenya. Suara-suara mereka yang berseru mengikuti musik, berteriak memanggil namanya, ada yang mengobrol satu sama lain, membuat suasana semakin ingar bingar. Ada yang menikmati makanan, minimum, mengobrol mesra dengan pasangan, atau hanya sekedar menikmati pertunjukan dengan duduk di kursi depan meja bar. ''Bi, ayo, pulang,'' seru David mencoba menarik lengan Bianka. ''Nanti lah, nanggung. Baru jam berapa,'' sahut Bianka di kuping David, ia harus mengencangkan intonasi suaranya supaya David bisa mendengar. ''Ini udah mau jam satu pagi. Aku gak mau. Kamu diomelin sama Papa kamu. Gak tega liatnya.'' Bianka yang mendengar hal itu pun terharu, ia mengulurkan tangan mengelus dagu David. ''Sepuluh menit lagi. Ayo, dong temenin biar seru.'' David hanya menggelengkan kepala, seraya menatap benda bulat yang melingkar di pergelangan tangan. Ia pun mengikuti kemauan Bianka, pacarnya untuk ikut berjoget. Tepat di lima menit pertama, terdengar orang-orang berlarian mencoba kabur dari razia polisi yang ingin menertibkan club. Menangkap pengunjung yang ke dapat tan membawa narkoba, obat-obatan terlarang, atau bahkan mungkin senjata ilegal. ''Polisi ... polisi ....'' teriak pengunjung sambil berlari dengan raut wajah yang terlihat panik, keringat pun terlihat membanjiri pakaian yang ia kenakan. Sambil mencoba memberi tahu para pengunjung lainnya agar segera pergi dari club untuk mengamankan diri dari kejaran polisi. ''Bianka, lari,'' seru David mencoba menarik tangan Bianka. ''Ada apa, Dav?'' tanya Bianka bingung melihat orang berlarian. ''Ada polisi. Ayo, kita lari.'' Mereka mencoba berlari tak tentu arah, melewati beberapa lorong sempit. Langkah David dan Bianka tak seirama apa lagi ditambah heels yang ia kenakan, membuatnya susah berlari kencang, Bianka akhirnya terjatuh. ''Awh ... sakit, Dav,'' rintih Bianka saat bokongnya mencium lantai, ia merasa pergelangan kakinya juga terkilir, susah untuk digerakkan. David yang panik justru meninggalkan Bianka begitu saja, tanpa mempedulikan rintihannya. ''David, bantu aku jangan kabur,'' pekik Bianka dengan tatapan penuh harap. ''Sorry, Bi.'' Bianka terlihat panik saat polisi mulai mendekat ke arahnya. ''Lepasin, Pak, saya gak bersalah!'' tegas Bianka mencoba melepaskan diri dari oknum polisi yang menarik pergelangan tangannya. ''Kamu bisa menjelaskan semua di kantor polisi dan harus melakukan serangkaian test kalau mau bebas.'' Pasrah. Hanya itu yang bisa Bianka lakukan saat polisi menggelandangnya menuju mobil, membawanya ke kantor polisi, bersama dengan beberapa pengunjung club. Ingin berontak pun tak bisa, karena ia dikawal ketat. Bram terlihat panik saat diberi kabar, oleh pihak kepolisian kalau anaknya ikut kena razia dan kini tengah berada di dalam ruang tunggu setelah menjalani proses pemeriksaan. Namun setelah dijelaskan Bram merasa lega, karena Bianka terbukti bersih tidak memakai barang narkoba atau obat-obatan berbahaya lainnya. Polisi meminta agar Bram segera menjemputnya, tapi dengan sengaja Bram meminta tolong pada polisi untuk mengurung, Bianka satu hari di sel tahanan. Agar memberikan efek jera. Barulah besok pagi ia akan menjemputnya. . ''Apa-apaan ini, Bianka? Bikin malu keluarga, aja! Mau jadi apa kamu nanti, kalau tiap malam kerjaannya keluyuran, dugem dan hura-hura, gak jelas!'' hardik Bram setelah menjemput Bianka dari kantor polisi lalu mendudukannya di ruang tamu, ia tak bisa membiarkan anak semata wayangnya terjerumus ke dalam pergaulan yang salah. Bianka hanya bisa tertunduk sambil meremas gaun malam yang ia kenakan semalam, seraya mengigit bawah bibir. ''Mulai nanti malam, kamu gak boleh pergi ke tempat seperti itu dan satu lagi. Papa akan menjodohkan kamu dengan orang lain.'' Bianka yang mendengar hal itu mengangkat wajah, menatap Bram tak percaya. ''Apa? Dijodohin di pikir ini jaman Siti Nurbaya. Bianka gak mau, Pa. Lagi pula aku udah punya pacar,'' sahutnya tak mau kalah. ''David maksud kamu? Dia, bukan pria yang baik, Bi buat kamu. Sampai kapanpun Papa gak akan setuju kamu berhubungan sama dia.'' ''Terserah! Pokoknya aku gak mau dijodoh-jodohin.'' Bianka bangkit dari duduknya ingin pergi ke kamar, ia merasa lelah semalaman gak bisa tidur ditambah dengar kabar mau dijodohkan. Bikin moodnya terjun bebas. ''Duduk! Papa belum selesai bicara.'' ''Bianka gak mau dengar apa-apa lagi, aku capek ngantuk mau tidur.'' Bram yang mendengar hal itu mengetatkan rahang, mencoba menahan amarah. Apalagi saat Bianka menghentakkan kakinya ke lantai berlalu menaiki anak tangga tak menghiraukan panggilannya. ''Anak itu ....'' Bram terduduk di kursi sambil mengurut pangkal hidungnya yang terasa pening, ia tak tau harus bagaimana lagi untuk membuat Bianka bisa kembali seperti dulu yang penurut dan manis. Bram mengembuskan napas kasar sambil menyandarkan tubuhnya ke belakang kursi. Bianka membanting pintu kamar, setelah berhasil membukanya seraya melempar asal tasnya berderap menuju ranjang, tempat favoritnya. ''Apa? Dijodohin di pikir ini jaman Siti Nurbaya. Jangan harap aku mau menikah dengannya atau aku buat pernikahan ini seperti di neraka,'' seru Bianka tak terima dan langsung menghepas tubuhnya begitu saja ke ranjang king size yang ia rindukan. Tubuhnya terasa lelah dan gatal efek semalaman dikurung dalam penjara. ''Gak bisa tidur lagi. Sialan!'' Bianka mencium bau tubuhnya sendiri yang membuatnya sampai ingin muntah. Ia memutuskan untuk mandi lalu tidur seharian. Mumpung libur kuliah barulah nanti malam ke club lagi atau shoping mungkin agar moodnya kembali membaik. Malam merangkak naik, seperti rencananya tadi pagi Binka tak kapok untuk pergi ke club itu. Toh terbukti bersih dan tidak memakai narkoba untuk apa takut. Ia meraih ponsel menghubungi David mendial nomer teleponnya. Panggilan pun terhubung, tetapi butuh waktu dua kali menelepon barulah David mengangkatnya. ''Ke mana aja sih, Dav. Kok baru diangkat?'' tanya Bianka tak sabar. ''Sorry ... Bi, lagi tidur,'' jawabannya dengan suara parau bahkan napasnya kian tersengal. Kening Bianka berkerut tak biasanya jam sepuluh David sudah tidur. ''Kamu kok kaya ngos-ngosan gitu. Lagi oleh raga atau apa?'' ''Hah? Ohw ... itu barusan aku mimpi dikejar-kejar sesuatu. Ah ....'' ''Kirain kenapa, pantes suaranya aneh. Gak biasanya jam segini tidur masih sore juga.'' Di seberang sana David hanya bisa meringis, saat perempuan di atasnya justru semakin bergerak liar dan semakin membenamkan miliknya menjadi satu. Hingga ia merasakan gulungan badai kenikmatan itu datang. ''Humm, iya aku lagi gak enak badan. Bi ... udah dulu, ya nanti aku telepon balik. Ngantuk banget soalnya, badaanya lemas'' ucap David dengan napas terengah dan keringat yang membanjir. ''Apa perlu aku ke sana, butuh sesuatu mungkin,'' tanya Bianka panik. ''Eng-gak, gak usah. Aku cuma butuh tidur aja, Bi. Besok juga dah baikkan. Aku tutup dulu, ya teleponnya lemes banget, ahh ... s**t!'' David pun menutup teleponnya begitu saja, tanpa menunggu persetujuan dari Bianka. ''Dav ... David, aku kan belum selesai ngomong. Main tutup gitu aja teleponnya, dia sakit banget kali, ya sampai gitu suaranya,'' gumam Bianka menatap layar ponselnya yang kemudian sinarnya padam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD