M2 Wedding Shoes

2429 Words
"Gue boleh sentuh nggak?" Tanyaku pada Jihan salim, mantan atasan sekaligus sahabatku sedang hamil besar. Bulan ini due date kelahiran anak pertamanya. Usianya dua tahun di atasku, tapi kami bersikap santai, layaknya teman seumur, selain kami cocok berteman. Jihan sudah mulai banyak berubah setelah menikah, tapi tetap jadi teman yang apa adanya. Dia tersenyum, menarik tanganku, meletakkan tepat diatas perut buncitnya. "Pegang aja. Sapa keponakan lo." "Ih kok lucu sih? Cenat-cenut gitu?!" Aku takjub. "Sensasinya nggak akan bisa di gambarkan pakai kata-kata. Inilah istimewa kita menjadi Perempuan." Aku tersenyum tipis membalasnya, Jihan peka akan perubahan ekspresi wajahku. "Suatu saat pasti kok akan tiba waktunya" mendoakan aku. Aku mengedikan bahu menuntaskan satu doanya "nggak, sampai ada laki-laki yang mengerti kondisi gue dan Mesya." "Pasti ada, kejutan Allah itu luar biasa. Jangan ragu." Aku hanya mengulum senyum, tipis. Kemudian pilih mengalihkan topik pembicaraan kami, "suami lo udah ambil cuti?" Ruri Narendra, Jihan berhenti kerja dua tahun lalu ketika akan menikah. Banyak yang tercengang dengan keputusan Jihan untuk Resign saat menurut banyak orang karier sedang di puncak. Termasuk aku. Melihat Jihan sangat bahagia dan nikmati hari-hari seperti sekarang, aku yakin dia sudah pikirkan matang-matang keputusan saat itu. Ditambah suami sangat mencintainya. Ugh! Kisah mereka sangat panjang. Bahkan aku kira Jihan akan nikah dengan pacar sudah bertahun-tahun bersamanya, namun jodoh siapa yang tahu, kan? Dari cerita yang aku tahu, bersama Ruri tak perlu waktu lama mereka putuskan untuk menikah. Seperti pada umumnya kisah cinta di novel yang berakhir bahagia walau tahapan menuju ke akhir tidaklah mudah. Jihan pernah merasakan jatuh, sebelum bertemu Ruri merengkuhnya dan berani untuk kembali melangkah. "Iya, dia nggak mau lewati proses kelahiran anak pertama kami. Sejak semalam perut gue juga udah mulai kencang" tangannya terus bergerak mengelus perut bulat penuh sayang "malah Suami gue sampai melongo pas liat perut lebih besar ke sebelah kanan." "Kok bisa? Itu nggak apa-apa?" Aku ngeri sendiri membayangkan hal tersebut. "Kata nyokap sih, lagi mencari jalan buat keluar. Anak gue memang aktif banget, kayak bapaknya." Jihan kemudian meringis sakit. "kenapa?" Tanyaku khawatir "Ada yang protes nih." "Anaknya Ruri banget, ya?" Lalu kami tertawa bersama. Siang weekend, aku sengaja main ke rumah mereka setelah pastikan Mesya aman dengan seseorang bersamanya. Ruri tadi keluar untuk beli makan siang kami, ibu hamil menginginkan makan nasi padang. Kami bercerita banyak hal, termasuk enam bulan lalu aku ikuti Resign dan saat ini aku hanya fokus jalankan usaha dengan adikku Mesya, adik perempuan yang berselisih usia lima tahun di bawahku. Bermula dari ketertarikanku pada sepatu berhak tinggi alias Heels dan Mesya punya bakat desain, aku tertarik karena yang terlihat jumlah desainer busana di Indonesia sudah tak terhitung, namun desainer aksesori, khusus lebih spesifik seperti sepatu belum banyak. Apalagi bawa label sendiri, produk asli Indonesia. Kami jeli lihat pasar di sana, putuskan untuk terjun dalam hal ini meski saat itu dengan modal seadanya. Mesya setuju untuk ambil pendidikan di bidang khusus pembuatan sepatu, kami mulai merintis buat handmade Wedding shoes sampai sekarang. Seperti yang aku bilang, awal modal hanya dari gaji bulanan kerja. Mesya yang desain, dengan dibantu pekerja khusus yang terlatih dibidangnya dan aku bertugas promosi melalui media sosial, ke teman-teman dan mengelola keuangan. Kami mulai semua dari nol. Akhirnya kami bisa kredit sebuah ruko di kawasan Jakarta selatan dengan nama merek dagang, sudah dapat surat ijin yaitu M2 Wedding shoes. M2 yang berarti Maya dan Mesya. Huruf pertama kami berdua. Jihan bahkan custom wedding shoes pada kami walau aku sempat mengomel karena dia minta dibuatkan dalam jangka waktu kurang dari satu bulan. Aku malah sempat curiga dia hamil duluan karena pernikahan drngan waktu cepat. Dia jelas membantah, aku jadi merasa bersalah waktu itu. Tidak salah juga aku curiga karena Ruri terkenal sebagai Playboy. Aku takut Jihan masuk perangkap lelaki itu. Ternyata hanya gosip tidak bertanggung jawab. Ruri pria baik-baik. Dia buktikan itu. Kini, dalam padangan, aku kagum sekaligus iri pada Jihan yang bisa tertawa renyah. Hidup benar-benar sempurna setelah menikah dengan Ruri dan sekarang menanti kelahiran anak pertama. Manusia punya perjalanan kisah hidup masing-masing. Ketika yang lain terlihat tampak mudah, belum tentu nyata seperti itu. Pasti ada proses telah di jalani untuk hidup masing-masing yang berbeda. Tidak serupa satu sama lain. Aku tahu dan tetap saja kerap berada di perasaan kecil ketika sandingkan diri dengan teman-teman yang hidupnya terlihat mudah. Sedangkan hidupku, terlalu banyak masalah yang tiada habis, sampai membuat ingin meledak dan hilang seketika jika bukan bertahan untuk adikku, Mesya. Ditambah banyak kepergian terjadi, mulai dari orang tua yang semesta paksa aku hanya tinggal berdua dengan Mesya. Memang manusia datang dan pergi, begitu seterusnya sudah jadi hukum alam. Tapi, perjalanan panjang telah aku lalui sampai dititik ini. Membuatku takut, tak lagi berani paksa seseorang untuk menetap bersamaku. Termasuk seseorang di masa lalu, kubebaskan pilih perempuan lain tanpa banyak masalah seperti aku. "Lo banyak berubah, ya?" Tiba-tiba Jihan bilang begitu. Alisku naik, tak paham. "Ah masa? Perasaan lo aja kali, Jihan!" Aku salah tingkah, mata Jihan menyipit menatap tajam. Ciri khas Jihan. "Gue Maya yang sama kok. Memang dulu gue kayak apa, sampai lo bilang gue banyak berubah?" Jihan mengedikan bahu tuntaskan pertanyaan yang aku balikan kepada dia. "Mungkin, lo benar cuman perasaan gue aja. Manusia akan berubah semakin bertambah usia, seiring waktu dan otomatis prioritas juga akan berbeda, kan?" Jihan benar, sekarang saja sulit untuk kumpul atau bertemu dengan teman yang lain. Aku harus sadar bahwa ketika kita merasa teman di sekitar tak lagi sama, karena semakin bertambah usia jelas prioritas juga bertambah. Menikah, punya suami lalu anak. Tidak akan ada waktu seperti dulu, kumpul-kumpul dengan teman. "Gue balik, aja ya?" Waktu sudah melewati makan siang, suami Jihan juga sudah pulang. Aku ijin kembali ke toko karena ada janji dengan klien, sudah membuat janji jam dua untuk membicarakan custom Wedding shoes. Selain cemas tinggalkan Mesya lama sendiri. "Kok cepat banget sih, Maya? Di sini aja dulu puas-puaskan ngobrol sama Jihan. Saya nggak bakal ganggu kalian kok." Kata Ruri duduk tepat di samping istrinya, merangkul dengan mesra sesekali mengelus perut buncit istrinya. "Cepat apaan, sudah dari jam sebelas saya di sini." Aku mendekati Jihan cium pipi kanan dan kirinya "kabari ya kalau udah lahir!" "Pasti, doakan lancar." "Pasti dong... beib! Ponakan gue lahir dengan selamat dan pastinya sehat. Lo jaga juga kesehatan sama tenaga. Jangan kelelahan. Jangan ajak bergadang terus Pak, Jihannya." Ruri tertawa tanggapi gurauku, aku kadang masih panggil Pak seperti dulu di kantor. Jihan berdiri dibantu Ruri, mengantar aku sampai ke depan rumah. "Justru gue harus banyak jalan sama gerak biar lancar prosesnya nanti." "Iya, deh! Bye." "Bye, hati-hati ya.." Aku tersenyum sambil jalan menuju mobil dan menekan klakson saat keluar dari halaman rumah mereka. Tak lama ponselku bergetar di tengah perjalanan menuju toko, Mesya yang menelepon. "Ya, Hallo Sya. Kenapa?" "Ka, di mana deh?" "Mau pulang, udah dekat. Kenapa?" "Lapar, belum makan siang nih!" Ujarnya sok dramatis, suruh siapa belum makan?! Banyak karyawan di toko. Dasar anak manja itu. Ini alasanku tidak pernah tenang tinggalkan Mesya sendiri. "Kamu bisa minta tolong yang lain buat belikan, atau pesan Gofood. Kebiasaan tunda-tunda makan!" Omelku. "Ka Maya, udah nggak usah banyak protes! Pokoknya mampir belikan aku makan. Belikan paket ayam, ditambah kentang yang medium sama Burger. Eist.. sama es krimnya!" Aku berdecak "kamu minta tolong nggak tahu diri sekali!" Mesya malah terkekeh. Tentu walau mengomel, aku tetap saja tidak bisa menolak permintaan keluarga satu-satu yang aku punya. Kedua orang tuaku meninggal karena kecelakaan lima tahun lalu saat usiaku dua puluh empat tahun. Sementara Mesya baru mulai kuliah. Kehilangan kedua orang tua secara bersamaan seperti itu, anak mana pun tak akan pernah siap, termasuk aku. Bahkan aku sempat stres, lupa kewajiban pada Mesya karena sibuk obati sakit hati sendiri bertepatan dengan musibah yang menimpa dan patah hati. Beruntung waktu itu aku bertemu Jihan beri semangat, menyadarkan bahwa aku kini tidak cuman bertanggung jawab pada diri sendiri tapi ada adikku yang jauh lebih hancur dibandingku, jika aku tetap egois dan menyalahkan takdir. Siapa yang akan mengurus Mesya? Begitulah prinsip yang membuat Mesya kini jadi prioritas hidupku dibanding diriku sendiri. Apalagi tentang asmara, aku pikir-pikir dulu. Karena pria jaman sekarang, banyak yang kabur saat melihat perempuan dengan tanggung jawab besar seperti yang aku punya. *** Apa cuman aku yang hidup dengan ujian yang tiada akhir? Aku duduk sendiri di tengah jiwa lainnya. Tiba-tiba suka merasa sesak hanya untuk memikirkan hidupku saja. Perasaan itu akan menyergap begitu saja, merasa sendiri bahkan saat di tengah keramaian sekalipun. Dunia tempatnya luka dan kecewa, aku sudah bersahabat dengan kedua rasa itu. Tapi, aku tak bisa menyerah karena ada Mesya yang butuh diriku. Semesta memaksaku untuk kuat. "Bu, ini pesanannya sudah siap." Aku tersentak dari lamunanku "ooh, ya, terima kasih mbak." Bisa-bisanya aku melamun saat menunggu pesanan Mesya selesai. Aku belum mau berlalu, minuman soda juga belum habis. Tapi, es krim Mesya bisa mencair jika terlalu lama. Jadi segera menyesap sisa minuman. Tepat suara gaduh baru saja memasuki tempat makan siap saji, menarik atensi semua pengunjung, termasuk aku. Suara gaduh berasal dari gerombolan anak-anak kecil dengan pakaian asal dan kumal yang berjumlah sekitar delapan anak dengan koran di dekapan. Aku mengerutkan kening heran akan tujuan mereka masuk ke sini. Tatapan bingung juga di ikuti pengunjung lainnya. "Ayo baris yang rapi, semua!" Ada laki-laki dewasa mencolok diantara anak-anak itu, mengamati. Dari pakaian terlihat bukan yang bisa di beli di distro baju biasa. Aku tahu pakaian kemeja licin dikenakan tubuh laki-laki jangkung itu pastilah mahal, aku tidak bisa melihat rupa wajahnya karena yang bisa kulihat hanya punggung bidang. Rambutnya hitam dan tersisir rapi, pendek. "Pak, ini dompetnya!" Sepertinya yang tergesa menghampiri pria itu adalah asistennya. "Terima kasih, kamu pilihkan tempat untuk anak-anak ini. Pastikan kursi cukup dan mereka dapat apa yang di mau" titahnya. Lalu pria itu kembali ke dekat kasir, memberikan sebuah Card Black. "Waw!" gumamku tanpa sadar, aku tahu jenis kartu apa itu. Hanya orang yang benar-benar kaya. "Mbak apa pun yang mereka pesan tolong di layani, pakai ini untuk bayar semuanya." Pria itu tetap berdiri di sana dengan sabar dan tanpa jijik memegang anak-anak tersebut satu persatu. Bertanya mereka mau apa, aku termangu dengar tawanya yang renyah saat anak-anak tidak bisa menyebutkan nama menunya yang bertuliskan bahasa inggris, hanya bisa loncat-loncat menunjuk gambar yang tertera di atas. "Gue nggak percaya masih ada orang baik seperti itu!" "Iya, udah kaya, tampan, dermawan lagi. Duh suami idaman!" Apa yang dilakukan pria itu, menjadi perbincangan di meja sebelah berisikan gadis-gadis. Jika aku perhatikan dari pakaiannya pasti mereka mahasiswa. Mendengar puji-pujian diselipi ketertarikan, membuat aku tersenyum tipis. Bertepatan dengan Ponselku yang berdering. Hm.. Mesya pasti mengomel karena lapar, dan aku belum sampai toko. "Kak! Mcd dekat belokan udah tutup ya?!" Suara cempreng khas miliknya memekakkan telingaku. "Masih buka." "Then? Kenapa lama sekali!" Aku terkekeh dengar nada jengkelnya "Sabar dikit, masih jam makan siang. Rame, Sya!" "Ya udah cepat, Kak! Kalau aku pingsan, tanggung sendiri! Custom sepatu kita lagi banyak nih!" Mesya mengancam. Aku memutar bola mata ke atas, dasar anak manja. Paling jago memaksa, memerintah sama mengancam. "Iya bawel!" aku menutup telepon, melangkah keluar sambil menenteng pesanan Mesya. Dan mencari kunci mobil. "Aduh!" Pekikku sekaligus terkejut karena benturan keras mengenai bahuku. "Maaf, saya nggak sengaja!" aku minta maaf, aku yang salah karena fokus mencari kunci mobil dalam tas, sampai tidak perhatikan langkahku. "Iya mbak, lain kali hati-hati" belum sempat aku lihat wajahnya, laki-laki yang kutabrak berjongkok mengambil kunci mobilku yang terjatuh tepat di dekat sepatuku. Perlahan tubuhnya menegak, mengulurkan tangan, menyerahkan kunci mobilku. "Ini kuncinya jatuh, mbak." Dan saat itu dunia seakan berhenti berputar. Mataku fokus menatap manik hitam, perhatikan pahatan Tuhan yang sangat sempurna itu. Oh My Goodness, Arjuna di kisah pandawa itu benaran ada ya?! "Mbak.. Mbak?" "Huh?" Aku melongo dong sudah pasti. "Ini kunci mbak, kan?" Dia pastikan kembali. "Ooh.. Iya.. iya punya saya!" Dengan tergagap dan malu kepergok menatap dia sampai melongo. Aku langsung mengambil kuncinya, "terima kasih" Aku berbalik terburu-buru berlalu dari hadapannya. Kapan terakhir kali aku terpesona begini sih? Semoga dia tidak memperhatikan, bagaimana ya tampangku tadi? Bahkan aku masih merasakan panas merambat di wajahku. "Pak, semua sudah dibayar. Ini kartu punya Bapak." "Anak-anak sudah dipastikan pilih yang mereka mau?" Saat itu aku baru sadar, dia laki-laki yang aku lihat punggungnya. Laki-laki yang dibicarakan mahasiswi-mahasiswi di meja sebelah tadi. Hmm, penilaian mereka tidak salah. Pikirku dan mengulum senyum. Tipis. Berhadapan dengan kekacauan Ibu kota tak pernah jeda, saat banyak manusia berlalu lalang tanpa memedulikan keberadaan satu sama lain. Kadang manusia satu dan lainnya menjadi tidak kasat mata. Aku masih tidak percaya ada laki-laki peduli dengan sesama manusia lainnya, seperti Laki-laki tanpa nama tadi. Dia salah satu manusia baik yang masih ada di dunia. "Kok ada, ya?" Aku menggeleng kecil dan menarik senyum sebagai sebuah rasa takjub. Banyak sih konten kreator yang membuat konten kepedulian sesama manusia. Namun, kutemui secara langsung seperti tadi, sanggat langka. Menjadi tersentil, buat aku berpikir pada diri sendiri. Aku sendiri sudah lakukan apa dalam hidup ini? Selama ini aku hanya mendikte yang dilakukan orang lain, dari pandangan yang aku lihat. Seharusnya aku merasa gagal, ketika sibuk mengeluh, mengapa aku tidak coba sesuatu lebih berguna? Katanya, hal paling berharga yaitu ketika berhasil menerbitkan senyum manusia lain karena kita yang jadi alasannya. "Melamun apa sih, Ka?" Mesya masih sibuk dengan es krim, sementara makanan lain hanya tinggal bungkus sampahnya. Ludes, makan seperti orang sudah bertahun-tahun tidak makan. "Masih ada orang baik di dunia ini" gumamku masih tak habis pikir, ada ya manusia seperti laki-laki tadi. "Masihlah, salah satunya yang duduk tepat di depan kakak!" Aku mendengus dengar kenarsisan adikku. "Mana ada puji diri sendiri gitu, kalau baik diam-diam lah. Biar Tuhan aja yang tahu" cibirku mencemooh. Mesya malah mengedikan bahu, kembali mengemut sendok es krimn. "Kenapa sih memangnya bertemu orang yang kasih duit di jalan?" Aku tidak tahan sama kekonyolan anak itu, hingga aku melempar dengan pulpen yang kupegang. "Kakak! Untung aku pintar ngeles!" protesnya setelah berhasil menghindar. "Memang ngeles mulu kamu, kayak bajaj!" Ujarku kesal, aku bangkit pilih ke kamar mandi. "Ka, apaan sih? Ayo ceritakan ke aku!" Dia berteriak memanggilku untuk tetap di sana. "Malas amat!" Aku tidak peduli anak manja itu lagi. Suruh siapa membuat aku kesal. "Ih si amat mah nggak malas kak. Dia juara kelas dulu waktu sekolah dasar!" Bahkan saat aku sudah dalam kamar mandi, aku masih dengar teriakan anak itu. Untung cuman dia yang aku punya di dunia ini, jadi menghilangkan Mesya tidak akan pernah aku lakukan. Aku terkekeh kecil sendiri jadinya. Mesya.. Mesya.. ada-ada saja! Tingkah yang seperti ini membuat aku lupa sejenak akan banyak masalah yang pernah aku lalui. Aku harus bersyukur, kami masih saling menguatkan setiap hari. Semoga saja tidak ada ujian berarti lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD