Pembuka Pertama

858 Words
Semanis buah jeruk hutan yang pernah kupetik bersama Mama Kehidupan ini juga akan berjalan dengan manis yang sama Jika kehidupan di lidahmu terasa pahit Mungkin itu hanya caramu memberi nama pada sesuatu yang tidak kau sukai __Miss Hanae Denison . Miss Hanae Denison, putri kesayangan Gilbert Denison – Baron Londesborough yang dengan kekayaannya mampu membeli Londesborough Hall—adalah seorang pribadi yang, sebenarnya sederhana. Cara hidupnya sedikit kurang wajar di telinga kalangan ton. Dia terlalu santai, terlalu bahagia dengan banyak cibiran di sekitarnya. Lebih menjengkelkan, karena dia memiliki harta yang berlebihan tapi selalu mengoceh tentang hal yang tidak boleh muluk-muluk. Para bangsawan memang selalu santai, dan sudah seharusnya bahagia, tapi jangan muluk-muluk? Mana mungkin. Harta dan tahta adalah tujuan utama dalam hidup, seharusnya begitu, dan memang begitu. Meskipun demikian, Miss Denison tampak ceria setiap hari dengan kesederhanaannya, hidupnya seolah tidak ada masalah, peri dari surga yang dilimpahi banyak tawa dan cahaya. Jangankan orang lain, pelayan di rumahnya pun sering bertanya-tanya, apa Miss Denison benar-benar tidak pernah punya problematika? Apa Miss Denison pernah terlihat meneteskan air mata? Apa Miss Denison tidak pernah gerah karena sering dicibir lady lainnya? Lihat saja itu wajah dan penampilannya. Padahal sudah sembilan belas tahun, tetapi kelakuannya masih seperti anak-anak. Mirip bocah yang belum pantas ada di pergaulan orang dewasa. Para debutante bahkan lebih pantas dilihat dibanding dia. “Ayahnya juga pelit. Padahal kaya raya, tapi mas kawinnya biasa-biasa saja. Jika begitu terus, aku ragu ada yang mau meminang Miss Denison kalau bukan karena terpaksa.” “Sebenarnya bukan pada mas kawinnya, tapi Miss Denison sendiri adalah sumber masalah itu. Di dalam darahnya, ada darah orang Rusia. Penampilannya juga kuno, memangnya dia tidak mendapat uang saku untuk membeli gaun atau bagaimana. Yang paling tidak wajar adalah potongan rambutnya itu. Ya Tuhan, kenapa dia bisa memotong rambut sependek itu. Tidak feminin, tidak mencerminkan wanita bangsawan yang halus dan lembut. Seperti laki-laki saja.” “Kudengar, dia juga tidak punya teman.” “Punya, tapi dari rakyat jelata*, sepertinya.” “Dia bisa merusak* nama baik para bangsawan jika begitu terus.” Luar biasa. Hanae bahkan bisa mendengar suara gosip tersebut dari jarak lebih dari semeter. Padahal musik di aula besar rumah Marquess of Ripon tidak berhenti sejak tadi, malah sedang keras-kerasnya untuk mengiringi polka. Bisa jadi gosip-gosip tersebut sengaja dinyaringkan supaya mampu didengar Hanae. Mungkin bermaksud mencibir terang-terangan tetapi dengan cara yang lebih halus. Aduhai pandainya. “Hanae.” Sang nenek memanggil, memastikan bahwa cucunya baik-baik saja. “Kenapa, Nek?” sahut Hanae yang tampak duduk manis tanpa banyak tingkah. “Jangan didengar.” “Sudah kudengar.” “Jangan dipikirkan.” “Aih, malah tambah kepikiran.” Sang nenek mencubit kecil lengan Hanae, lalu melongok kanan-kiri, memastikan tidak ada yang memergoki kelakuannya. “Jangan menggoda nenekmu, cucu bandel.” “Aih, nenek yang bandel. Cubit-cubit cucunya sendiri.” “Anak ini ….” Hanae tertawa kecil di balik kipas tangan berenda berwarna putih gading. “Mau menemaniku ke ruang rias? Mau merapikan rambutku yang mirip lelaki ini.” Cecily Conyngham, sang nenek, menggeleng pelan. “Nenekmu ini sudah renta. Kenapa kau masih mengajaknya jalan-jalan?” Hanae merengut, mengembungkan pipi lalu, meniup poninya yang hampir menutupi mata. Gara-gara kelakuannya itu, dia mendapat satu lagi cubitan dari neneknya. “Perhatikan tingkah lakumu,” desis Cecily. Namun, Hanae malah tertawa lagi. Tawa yang selalu murni, seperti anak-anak yang bermain riang di taman. Sebenarnya selalu menghangatkan mata dan perasaan, tetapi terlalu murni, sama sekali tidak meninggalkan jejak s*****l dan perasaan ingin memiliki di hati para lelaki. Rasanya sulit membayangkan menikah dengan seorang anak kecil. Bisa-bisa di malam pertama, bukannya asik b*********a* malah harus menimang bocah. . . . Di sudut para lelaki berkumpul, pembicaraan malam itu juga tidak lepas dari Miss Denison. Menurut mereka, di antara para wallflower yang kurang menarik, Miss Denison adalah kandidat paling tidak menarik. “Dia manis, tapi … kudengar dia sedikit aneh. Aku tidak mau mengambil risiko menikahi wanita aneh.” Mendengar itu, Avery Robinson – anak pertama Marquess of Ripon yang menjadi tuan rumah – turut penasaran. Lama ia tidak di rumah, dan jarang sekali menghadiri pesta di Yorkshire, sehingga asing baginya mendengar nama Miss Denison. “Aneh bagaimana?” tanyanya kemudian. “Dari potongan rambutnya saja, Anda pasti sudah bisa menebaknya, bukan? Dia tampak sedikit liar. Maksud saya, liar seperti makhluk hutan. Dan kekanakan.” Tanpa sadar, Avery memandangi Miss Denison lebih teliti. Perhatian terarah pada rambut pendek sang lady yang hanya sepanjang bahu. Bagian belakangnya dikepang sederhana, dan menyisahkan anak-anak rambut di bagian depan. Hmm, lady itu juga berponi. “Kekanakan,” celetuknya. “Benar. Sangat kekanakan.” Avery mengangguk, mengamini. Melihat sekilas, Avery pun menyadari hal itu. Lady yang menjadi perbincangan tersebut memang tampak seperti anak kecil, dari wajahnya, dan juga perilakunya yang mudah tertawa. Sebagai pria 28 tahun yang sudah didesak sana-sini untuk segera menikah, Avery pun pasti enggan menimpakan pilihan pada lady muda tersebut. Lagi pula, banyak sekali wanita yang menaruh minat padanya. Tinggal tunjuk jari, para lady pasti langsung berkerumun di sekitarnya. Sambil menyesap sampanye dalam gelas, mata hijau Avery mulai bergerilnya mencari mangsa. . Welcome to Orange Marmalade with Hanae Denison and Avery Robinson
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD