1. Miss Kekanakan dan Lord Congkak

1718 Words
Avery Robinson, calon penerus gelar Marquess of Ripon. Di usia yang menginjak 28 tahun, tidak juga Avery berpikiran untuk membina rumah tangga. Mentang-mentang sang ayah masih sehat wal afiat, semangat masa mudanya pun diumbar seolah tanpa ada tuntutan menikah muda. Laki-laki itu suka sekali menjelajah, dari kota satu ke kota lainnya, dari desa kumuh sampai desa terpencil yang masih asri luar biasa. Beberapa bulan belakangan pun ia menghabiskan waktu di Eropa, dan baru pulang ke Yorkshire sekitar seminggu lalu. Namun, sewaktu pulang, dia langsung disidang keluarganya. Neneknya, bibi dan pamannya, dan tentu saja, ayah dan ibunya, mendesaknya untuk segera menikah. Katanya, sang ayah mulai mudah lelah, faktor usia. Sehingga ahli waris harus bersiap-siap dengan kemungkinan terburuk. Mudah lelah dari mananya? Avery mencibir. Menurutnya, sang ayah masih baik-baik saja. Berdiri berjam-jam melayani tamu di pesta pun tidak terlihat ada gurat lelah. Pasti itu hanya akal-akalan keluarganya untuk membuatnya menikah. Ibunya menambahi dengan kalimat; aku ingin menimang cucu. Padahal sudah punya cucu. Adiknya, yang dua tahun lalu telah diperistri seorang bangsawan, kini punya putra yang hampir berusia satu tahun. Lagi pula, dia menikah bukan untuk memiliki anak, tapi mencari seseorang yang akan melengkapi hidupnya. Punya atau tidak seorang anak, tidaklah menjadi prioritas. Diberi ya syukur, tidak diberi juga bukan masalah. Terlebih, Avery memang tidak terbiasa dekat dengan anak kecil. “Avery.” Baru saja Avery akan berjalan ke taman untuk menyegarkan pikiran, sang ibu mendatanginya. Grace Robinson, Marchioness of Ripon, tersenyum lembut pada sang putra. Tangannya yang dilingkupi sarung tangan putih jaring-jaring, menggandeng Avery kalem. “Ayo, ibu perkenalkan dengan beberapa lady lainnya,” ucap Grace bersemangat. “Jika ibu ingat, hampir seluruh lady di ruangan ini sudah ibu perkenalkan.” Grace hanya tersenyum kecil. “Kau hanya berkenalan dengan gadis-gadis populer. Sapalah juga para bunga yang duduk manis di sudut sana.” Avery tak ingin menjawab, kakinya melangkah beriringan dengan sang ibu, ke arah para wallflower yang jarang dilirik pria. Perkenalan itu tidak lama, karena Avery pun tidak begitu menaruh minat. Kepada lady-lady cantik di lantai dansa saja ia sedikit abai, apalagi pada para wallflower. Sangat di bawah standar, menurutnya. Akan tetapi, perhatian Avery cukup banyak teralihkan ketika sang ibu mengenalkannya pada seorang lady yang menjadi perbincangan teman-temannya. Miss Denison, lady kekanakan yang sering digosipkan. Gosip yang buruk. “Hanae Denison, Milord.” “Avery Robinson.” Ketika Avery mengecup sarung tangan putih milik Miss Denison, semerbak wangi asing terhirup. Seperti jeruk, atau lemon? Mungkin Miss Denison terlalu banyak meminum limun. Di antara aroma itu juga seperti ada wangi bedak, bedak bayi. Apakah Miss Denison masih suka memakai bedak bayi di usianya yang sudah dewasa ini? Avery jadi penasaran, tapi ia lekas mengenyahkan pikiran tersebut. Untuk apa penasaran dengan hal yang tidak penting. . oOo . Pesta di rumah Marquess of Ripon meriah luar biasa. Avery turut memeriahkannya dengan berdansa hampir di semua slot; dengan lady ini, dengan lady itu. Lagi pula, gadis-gadis Yorkshire tidak kalah cantik dengan yang ada di London, terlebih mereka terlihat polos. Masih malu-malu dan canggung, seharusnya mudah untuk didekati, dan memang seperti itu yang terjadi. Seharusnya juga, Avery akan lebih mudah mencari calon pengantin. Tinggal pilih yang paling cantik, paling manis, dan punya nilai baik di mata masyarakat. Sayangnya, tak juga dia menjatuhkan pilihan, memang tidak mudah. Dari semua gadis yang didekati, tidak ada yang menggugah hati. Banyak yang cantik, tapi hanya itu, belum ada nilai lebih di mata Avery. Pembicaraan yang dilakukan pun begitu-begitu saja, standar, membosankan. Avery jadi berpikir, mungkin sebaiknya ia jalan-jalan lagi ke Eropa, mencari pujaan hati yang benar-benar cocok dengannya. Setidaknya Avery tidak perlu menjadi i***t ketika berbicara dengan calonnya. Merasa penat, Avery pun melangkah menuju balkon yang sepi. Dihirupnya panjang udara malam untuk mengisi paru-paru yang mampet karena polusi napas dan parfum. Sampai iris bottle green-nya terpaku pada seseorang di taman. Itu Miss Denison, dan seorang pria. Seharusnya ini akan menjadi gosip yang menarik. Namun, ketika diperhatikan lebih jeli, ternyata si pria adalah Samuel Denison, kakak sang lady. Hanya saja, ada apa Miss Denison dan sang kakak berada di taman yang gelap? Avery penasaran, sehingga matanya masih kerasan memperhatikan. Dari visi Avery, Miss Denison dan Samuel sedang membicarakan sesuatu. Sesekali sang kakak tampak marah, tapi Hanae malah tertawa. Jika sudah begitu, Samuel tidak ragu menjewer telinga adiknya. Hanae lalu akan menendang, Samuel menjitak, Hanae meninju perut kakaknya, Samuel memiting tangan adiknya. Wah, brutal sekali dua bersaudara itu. Apa perlu dilerai? Tapi, seru. Sayang kalau tontonan selucu itu harus berhenti. Avery pun tertawa sendiri. Di sana, Miss Denison pun tertawa, sang kakak masih marah-marah. Avery tersenyum sampai bibirnya melengkung tinggi sekali ke atas. Ketika sadar, baru Avery bertanya-tanya. Mengapa tingkahku jadi ikut konyol? Geleng-geleng kepala, Avery pergi dari balkon, ingin menuju ruang kartu untuk menikmati brendi. . . . Sayangnya, dalam perjalanan ke ruang kartu, Avery melihat Miss Denison yang masuk entah dari mana. Di koridor yang remang, mereka berpapasan. “Milord.” Miss Denison menekuk kaki sedikit, Avery mengangguk singkat. “Anda sendirian, Miss Denison?” tanya Avery. Miss Denison tersenyum lebar. “Dowager Marchioness Conyngham sedang istirahat di kamar tamu, sedangkan Mr. Denison sedang berjalan-jalan di taman.” Avery mengangguk lagi, mata awas mengamati Miss Denison. Dalam kepala sempat berpikir bahwa saat berbicara cukup panjang, ternyata suara Miss Denison enak didengar. Memang mirip anak kecil, tapi merdu. Seperti suara bocah yang bernyanyi di gereja. “Sebaiknya Anda menyusul Dowager Marchioness Conyngham. Berjalan-jalan sendiri tanpa pendamping tidak baik untuk seorang lady,” tutur Avery pada akhirnya. “Terima kasih atas perhatian Anda, Milord.” Usai memberi senyum semanis madu, Miss Denison melangkahkan kaki terlebih dulu. Avery pun melanjutkan tujuannya. Mereka berpisah ke arah yang berlawanan. Akan tetapi, saat itu Avery tiba-tiba ingin menoleh ke belakang. Ia berhenti, membalik arah, hanya untuk memperhatikan Miss Denison yang berjalan riang dengan dua tangan di belakang. Melompat, melompat, lompatan yang berirama. Avery penasaran, kira-kira musik seperti apa yang mengalun di kepala Miss Denison sampai gadis itu bisa begitu gembira. “Dasar kekanankan.” . . . Pagi-pagi sekali, Hanae sudah berkutat dengan setumpuk kertas dan pena. Masih dengan pakaian tidur yang berwarna putih berenda-renda, dan juga selimut tebal di bahu, ia terlihat sibuk dengan dunianya sendiri. Ujung pena diketuk-ketukkan ke kepala, kedua kaki naik ke kursi, duduk jongkok di sana. Seandainya mantan governesnya tahu kelakuannya sekarang, Hanae pasti akan dipecut sekaligus diceramahi. Namun, masa bodoh. Hanae sudah 19 tahun, tidak perlu lagi guru tata krama. Dia lebih dari tahu kapan harus bersikap layak atau sembrono. Sesuatu di depannya ini, lebih berarti. Hanae membaca kembali tulisannya. Sebaris kalimat terasa mengganjal, lalu tanpa ragu ia menyoretnya, menambal dengan kalimat baru yang lebih pas dan pantas. Anak rambutnya berjatuhan, disingkirkannya cepat ke belakang telinga. Ketika asik-asiknya menulis, pintu ruang belajar itu terbuka. Samuel Denison berdiri di ambang pintu, kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Mata abu-abu yang sama persis seperti adiknya itu, menyorot dengan tatapan campur aduk, antara kagum dan tidak habis pikir. “Kau di sini semalaman? Sejak kita pulang dari pesta Marquess of Ripon?” Hanae mengangguk singkat, sedangkan tangannya masih sibuk menyoret-nyoret kertas di atas meja. Usai mendebas pelan, Samuel menghampiri sang adik. Ia duduk di kursi yang berhadapan dengan Hanae. Dipandangi adiknya hingga wajahnya sendiri dipenuhi kernyitan. “Lihat itu, di bawah matamu, mulai ada kantungnya.” Namun, Hanae lagi-lagi hanya mengangguk-angguk. “Tidak lapar?” “Lapar.” “Sebaiknya sekarang kau sarapan, dan bersiap-siap ke pesta kebun yang diadakan Lady Susan Fox siang nanti.” Sekali lagi, Hanae mengangguk saja. “Kau mendengarkanku, ‘kan?” Tak. Suara pena Hanae yang diletakkan ke atas meja mengejutkan Samuel. Namun, putra pertama Baron Londesborough itu tahu bahwa ketika Hanae sudah tersenyum selebar jendela, berarti adiknya telah menyelesaikan sesuatu yang luar biasa. Hanae berdiri di atas kursi, meregangkan tangan dan tubuhnya yang pegal-pegal. “Aku sudah selesai. Ayo, gendong aku ke ruang makan.” Samuel memutar bola mata. Meskipun begitu dia tetap menuruti permintaan kekanakan Hanae. Ketika ia memosisikan diri membelakangi Hanae, adiknya itu segera menempel di punggungnya, bergelayut seperti anak kera. Samuel menggendong dengan senang hati meskipun mulutnya sesekali mengumpat. “Kau sudah sebesar ini tapi tidak bisa menjaga diri sendiri. Bagaimana nanti jika harus merawat suami,” cibir Samuel. Hanae terkikik kecil. “Iya, tenang saja. Aku ini lebih keibuan dibanding kelihatannya, loh.” “Wah, itu mungkin cuma perasaanmu.” “Aih, aku menilai secara objektif.” “Menilai secara objektif.” Samuel membeo, hampir memutar bola mata. “Mana ada seseorang yang menilai dirinya sendiri dengan objektif,” tambahnya sangsi, nadanya sedikit meninggi. Hanae tertawa. “Ada. Aku ini bukti nyata. Kakak harusnya percaya.” Samuel mencebikkan bibir. Meskipun agak jengkel karena kalimatnya dijawab terus, tetapi wajahnya tak absen menghadirkan sejumput senyum lembut. . . . Ketika sampai di ruang makan, Baron Londesborough dan Dowager Marchioness Conyngham sudah duduk manis menikmati bacon. Gilbert – ayah Hanae, hanya dapat menggelengkan kepala melihat kelakuan putrinya. “Apalagi yang kau kerjakan sampai pagi begini?” tanyanya basa-basi. Sebab, sudah hafal betul bagaimana putri satu-satunya itu ketika sedang kerasukan. “Aku berhasil menyelesaikan novel pendek, Papa. Genrenya romantisme, para wanita pasti suka dengan yang begitu. Beri aku selamat?” “Selamat.” Hanae tertawa kecil ketika duduk di samping ayahnya. Samuel duduk di samping Gilbert pula, tetapi di sisi lainnya. “Papa tau siapa yang kujadikan tokoh utama?” “Siapa?” “Samuel Denison dan Avery Robinson.” Baru saja Samuel menyesap wine-nya, langsung ia semburkan begitu saja. Gilbert tersedak ludahnya sendiri, sedangkan Cecily yang sejak tadi diam juga tidak sengaja menggigit lidahnya ketika mengunyah daging. Hanae hampir terpingkal, tetapi cepat ia hentikan ketika mendapati seluruh pasang mata menatapnya penuh ancaman, terlebih Samuel yang seolah ingin menghujamnya dengan pisau di tangan. “Tenang saja, saudara-saudara. Aku tahu apa yang kalian pikirkan, tapi ini memang tidak seperti yang kalian pikirkan. Aku hanya mengambil sifat-sifat dasar Samuel dan Lord Avery sebagai contoh karakter laki-laki dan perempuannya. Kenapa kalian seolah ingin mengurungku di gereja?” Serempak, helaan lega terdengar. “Kau hampir membuat nenekmu ini terbang ke surga,” ujar Cecily tersendat-sendat. Lidahnya terasa sakit luar biasa. Ia pun meminum wine untuk menghapus rasa darah yang asin dan tidak menyegarkan. Gilbert yang sudah menghabiskan isi di pinggan, menyesap sedikit wine-nya. “Siapa yang jadi karakter perempuannya?” tanyanya. Masih juga tidak ingin lepas dari perkara Samuel dan Avery ini. Samuel jelas-jelas sudah meradang. Seandainya yang bertanya itu bukan ayahnya sendiri, mungkin sudah diberinya tinjuan cinta. “Yang jadi karakter perempuan? Tentu saja Samuel. Aku tidak bisa membayangkan Lord Avery menjadi wanita,” jawab Hanae dengan suara lantang dan kebanggaan tiada terkira. Gilbert mengangguk, lalu tertawa bersama putrinya. Tidak peduli pada wajah sang putra yang sudah merah menyala, campuran marah dan malu yang diaduk menjadi satu. “Hanae, kelakuanmu ini tidak lucu,” hardik Samuel. “Aku tidak melawak, Kakak.” “Akan kubalas kelakuanmu ini.” “Wah, aku menunggunya dengan sabar!” Gilbert tersenyum samar, seraya meneguk wine dia memandangi dua buah hatinya yang selalu berbuat onar. Tidak masalah jika kelakukan putra dan putrinya dianggap kurang pantas, baginya, kebahagiaan dan kedamaian keduanya adalah prioritas. Dia sudah tidak memiliki istri, dan tidak juga berencana mencari pengganti. Terakhir kali dia mencobanya, hasilnya sangat tidak bagus. Gilbert merasa, waktu bersama anak-anaknya terlalu berarti untuk diselipi pihak lainnya. Namun, jika nanti keduanya menikah, entah pikiran Gilbert akan tetap sama atau tidak. Semoga saja dia tidak lantas menjadi ayah yang kesepian di usia tua. . Sweet Continue_
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD