2. Lord yang Congkak dan Skandalnya

1160 Words
Di siang yang tidak begitu hangat meskipun sudah musim semi, halaman rumah Lady Susan Fox dipenuhi kereta-kereta kuda berlambang bangsawan. Dari sana, turun beragam rupa para lady dengan gaun piknik terbaik. Bonet dipenuhi bunga dan pita, beberapa bahkan memakai topi besar dengan hiasan bulu burung merak. Meskipun tidak begitu panas, ada juga yang memakai parasol dari sutera. Tidak lupa, para ibu yang memiliki putra lajang turut menyeret anak-anak mereka. Entah yang berstatus ahli waris, atau hanya putra terakhir. Melihat sekilas pun siapa saja sudah paham bahwa hari itu, di rumah Lady Susan Fox yang megah dengan halaman hijau berbunga-bunga, akan ada perang berdarah. Bukannya mereka akan saling menghunus pedang atau menembakkan peluru, itu hanya ungkapan, ungkapan yang artinya memang tidak jauh berbeda dari arti sebenarnya. Perang yang terjadi akan lebih dingin, lebih ke arah sesuatu yang prestisius di kalangan para ton. Seperti, aksi pamer gaun dan perhiasan, perebutan gentleman lajang dengan prospek terbaik, dan harta yang ada di sini, atau harta yang ada di situ. Di medan perang tersebut, Hanae datang dengan senyum ceria seperti biasa. Di sampingnya, ada Samuel dan wajahnya yang selalu tampak marah-marah. Kontras sekali memang dua bersaudara ini. Kekontrasan mereka bahkan tidak hanya sampai di sana, karena penampilan pun luar biasa berbeda. Samuel yang selalu modis, dan Hanae yang sangat sederhana. “Hanae, jangan sampai kau pingsan karena tidak tidur semalaman.” Sebelum menemui sang tuan rumah, Samuel sudah memperingati. Setelah menyenggol kakaknya pelan, Hanae hanya tersenyum lebar seraya mengangguk. . . . Tidak hanya menawan pada pesta malam hari, Lord Avery Robinson, yang juga bergelar Viscount Goderich, memang tidak pernah lelah memukau mata wanita. Penampilan selalu bergaya, lirikan mata tiada dua, yang paling penting dia adalah penerus tahta ayahnya. “Lihatlah itu, Avery Robinson dan rambut hitamnya yang tersisir rapi, matanya yang seperti elang pemburu itu sangat memukau hati. Rahangnya tegas aristokrat. Aku ingin dipeluk oleh tubuh kokohnya itu, dan menghirup aroma keringatnya.” Begitulah bisik-bisik yang lumrah terdengar jika Avery tiba. Sebenarnya, hari ini Avery tidak begitu minat datang ke acara piknik Lady Susan Fox. Namun, ibunya benar-benar pemaksa, dan keluarganya yang lain juga mendukung penuh usulan sang ibu. Kata-kata yang terlontar lebih menjengkelkan lagi, karena hanya berhubungan dengan pernikahan, ambil lady yang paling menarik perhatian, yang mana saja oke, asal Avery cepat menikah. Mungkin, mungkin saja, keluarganya meragukan orientasi seksualnya sampai-sampai ngotot menyuruhnya menikah. Mereka tidak tahu saja jika Avery jagonya menggoda wanita. Namun memang, demi menjaga reputasi keluarganya dan supaya terlihat terpuji, dia tidak pernah terang-terangan membawa wanita ke dalam kamar. Tidak juga suka wanita di p*******n. Sehingga, seolah, dia adalah lelaki yang benar-benar bersih. Hanya valet-nya yang paling tahu kelakuan Avery di luaran. Bejatnya hampir tidak ketulungan. Namun, sekali lagi, namun, mencari wanita sebagai istri sangat berbeda dengan yang hanya bisa diajak ke atas ranjang. Dengan mempertimbangkan berbagai alasan, Avery ingin sekali punya istri yang tidak merepotkan. Sayangnya, wanita, di mana-mana selalu merepotkan. Ah, pusing sekali persoalan istri-istri ini. Avery pamit untuk mengambil minuman, alasan klasik untuk meloloskan diri dari para lady yang berkerumun di sekelilingnya. Padahal, ketika semua lengah, dia menyelinap di antara pepohonan, mencari tempat yang lebih sepi dan tenang. Berlari menjauh dari acara piknik yang menyeramkan. Jika tidak salah ingat, halaman rumah Lady Susan Fox punya sebuah kolam. Kolam kecil tidak terawat yang tidak begitu kelihatan karena tertutupi semak. Avery ingin ke sana. Dia bisa menyembunyikan tubuh besarnya di balik batang pepohonan dan rimbunnya tumbuhan merambat. Mungkin dia bisa mengistirahatkan diri, mengambil napas sejenak dan akan kembali ke keramaian jika merasa sudah bosan. Avery melangkah seraya melihat sekitar. Kakinya membawa ke semak-semak yang tampak paling subur dan lebat. Disibaknya perlahan, lalu ia menerobos dengan lincahnya. Benar saja, kolam kecil berair agak kehijauan itu ada di sana. Tampak lebih bersih dari terakhir kali dia berkunjung ke tempat ini. Apa mungkin ada yang membersihkannya? Masa bodoh, Avery akan mengistirahatkan diri di sini sebentar. Sebentar saja. Oh, tapi apa itu yang dilihatnya. Ujung gaun berwarna kuning lembut di dekat pohon willow? Atau cuma dedaunan kering? Mendengkus, Avery berjalan cepat untuk memastikan, semoga saja memang hanya daun kering. Sayangnya, bukan. Oh sial, itu Miss Denison. Avery memijit pelipisnya. Padahal dia hanya ingin mencari tempat tenang untuk beristirahat, tetapi kenapa harus bertemu dengan Miss Denison yang tengah tertidur pulas bersandarkan batang pohon. Wah benar, Miss Denison sedang tidur. Gadis itu melepas bonetnya yang minim hiasan, digeletakkan begitu saja di samping tangan yang terkulai. Sebelah tangan memegang sandwich yang dipatuki burung dan tupai. Ketika Avery mendekat, hewan-hewan kecil itu berlarian pergi. Dari kemarin, entah mengapa Avery selalu bertemu dengan Miss Denison. Dan ketika itu terjadi, Avery selalu saja terjebak untuk memperhatikan lebih dalam. Ada sekelebat pikiran yang membuatnya tertarik berlama-lama mengamati Miss Denison. Bukan karena Miss Denison begitu cantik atau bagaimana, gadis itu standar-standar saja. Tingkah lakunya itu yang tidak pernah standar. Agak konyol, kekanakan, dan … aneh. Avery bahkan sering memberi cibiran, juga cemoohan – meskipun dalam hati – pada kelakukan Miss Denison. Baik kelakukan yang dilihat secara langsung, maupun dari gosip yang dibeberkan orang lain. “Bahkan anak ini bisa tidur pulas di tempat begini.” Avery mendecak, tampaknya lupa jika dia juga punya niatan ingin istirahat di tempat yang katanya begini. Dengan dorongan rasa penasaran, Avery akhirnya berjongkok di depan Miss Denison yang tidur seperti orang pingsan. Diamatinya lekat-lekat wajah Miss Denison. Hmm, bulu matanya tipis. Namun seingat Avery, Miss Denison punya bola mata yang besar, bulat besar berwarna abu-abu. Ketika berkedip jadi tampak seperti anak kecil. Mungkin bola matanya itu yang membuat wajah Miss Denison kekanakan. Namun, sepertinya bukan hanya itu. Ada lagi, yaitu ketika Miss Denison tersenyum maupun tertawa. Benar-benar lepas seolah tidak peduli sekitar. Kadang Avery berpikir, mengapa ada orang seperti Miss Denison. Seorang putri bangsawan yang hidup dengan caranya. Manusia yang punya dunia sendiri untuk dinikmati. Orang-orang seperti ini memang terkadang menakutkan. Mungkin karena itu mereka tidak mudah diterima masyarakat dan malah dianggap aneh. Avery pun melihatnya sebagai sesuatu yang aneh. “Kau memang aneh,” gumam Avery. Telunjuk tangannya menoel pipi Miss Denison pelan, sempat gemas ingin mencubitnya sampai yang bersangkutan berteriak kesakitan. Ah, tapi untuk apa bertingkah seperti itu pada seorang lady yang tidak berdaya, sia-sia. Kelopak Miss Denison bergerak kecil, mungkin Avery berhasil mengganggu tidur sang lady. Avery diam, menunggu, tetapi hingga beberapa menit tidak juga ada reaksi selanjutnya. Avery menghela udara. Lega karena Miss Denison tidak menyadari keusilannya. Angin berembus sekejap, sebuah potongan kering daun willow menempel di dekat hidung mungil Miss Denison. Avery melihatnya, dan gatal ingin mengambilnya. Pelan-pelan, ia mencondongkan tubuh, tangannya pelan mengarah ke dekat hidung Miss Denison. Baru saja potongan kecil daun itu tercapit ujung jari, seseorang tiba-tiba berteriak melengking. “Astaga! Apa yang kalian lakukan! Kalian berciuman!” Avery membeku di tempat, dengan kaku ia menolehkan kepala. Tidak jauh dari belakang punggungnya ada Lady Susan Fox, seorang lady yang tidak dikenal, dan juga Marchioness of Ripon – ibunya. Tiga orang di sana membelalakkan mata seolah usai melihat Avery sedang telanjang. Lebih tepatnya, Avery seperti merasa terpergok ketika sedang telanjang. Padahal dia tidak telanjang. “Ada apa?” Miss Denison yang terbangun karena terpaksa, mengucek-ucek matanya. Wajah lady muda itu tampak sayu, rambut agak berantakan karena tidur bersandarkan pohon. Hanya saja, wajah kusut Miss Denison dan ekspresi terkejut Avery Robinson, benar-benar memicu salah paham. “Kalian harus segera menikah.” Avery menatap horor pada ibunya sendiri. . Sweet Continue_
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD