3. Lord yang Panik dan Miss Terlalu Santai

1381 Words
Avery uring-uringan sendiri di ruang membaca di kediamannya. Usai skandal tidak terduga antara dirinya dan Miss Denison, tiga lady yang memergoki mereka benar-benar berubah menjadi hakim dari neraka. Lady Susan Fox yang pandai sekali bicara, bertanya dari hal yang penting sampai ke hal yang tidak berhubungan dengan konteks pembicaraan. Avery sampai ingin menjejalkan ujung sepatunya ke mulut teman ibunya itu. “Jelaskan, apa yang sebenarnya terjadi.” Begitulah Lady Susan Fox memulai interogasi. Avery menjelaskan dengan sedetail mungkin dan sebaik yang dia bisa. Mengatakan bahwa semua itu hanya kesalahpahaman. Namun, Lady Susan tidak mau mengerti. Ia menuduh Avery mengarang-ngarang cerita, karena buktinya. Sekali lagi, buktinya, Avery terlihat sedang mencium Miss Denison – meskipun dilihat dari belakang – dan Miss Denison tampak berantakan. Apa lagi yang dilakukan dua orang berbeda jenis kelamin, di tempat sepi, dalam keadaan berantakan, jika bukan untuk berbuat sesuatu yang tidak ingin dipergoki orang lain. “Jangan pikir saya mudah diperdaya, Lord Goderich. Saya ini sudah berpengalaman dengan hal semacam ini. Jika dalam tiga hari Anda tidak mengumumkan pertunangan, saya tidak bisa janji dengan berita yang akan beredar nanti.” Saat itu, Avery menatap ibunya, meminta perlindungan. Sayangnya, sang ibu malah memalingkan wajah. Tampak setuju dengan keputusan Lady Susan yang sepihak. Avery ingin gantung diri saja. Miss Denison juga tidak bisa diandalkan. Ketika ditanya, adik Samuel itu hanya menjawab dengan telengan kepala dan sebuah kalimat menjengkelkan. “Saya tidak tahu apa-apa. Saya tidur.” Memang benar dia tidur, tapi setidaknya berikan jawaban lain yang bisa diterima, bukan malah jawaban yang menambah kecurigaan. Avery benar-benar harus gantung diri. Pintu ruang membaca dibuka dari luar, Charles Robinson dan Grace Robinson masuk bergantian. Keduanya lantas duduk di masing-masing sofa single yang menghadap perapian. Charles di tengah, di samping kanan dan kiri adalah istri dan anaknya yang berhadapan. Avery terdiam, ia tidak mengatakan apa pun ketika sang ayah dan ibu memandanginya lekat. “Aku tidak tahu jika seleramu adalah wanita yang kekanakan begitu, Ave.” Charles mengawali perbincangan. Tak lupa sebuah gelengan pelan, tanda bahwa dia agak sangsi dengan Avery dan kelakukannya yang mengejutkan. “Dia memang bukan seleraku, Ayah,” bantah Avery kalem. “Tapi ibumu bilang, kau menciumnya,” jeda sejenak karena Charles sedikit menaikkan alis. “Seorang Avery Robinson, calon ahli waris gelar Marquess of Ripon, yang tidak pernah terlihat dekat dengan wanita, mencium seorang lady di tempat sepi. Bisa kau jelaskan mengapa kau melakukannya?” Avery mendengkus. “Sudah kubilang ini salah paham, Ayah.” Lady Grace menyahut. “Tapi aku menyaksikan sendiri kejadiannya.” “Tapi tidak seperti itu, Bu.” “Mungkin tidak seperti itu, tapi di mata Lady Susan dan Lady Anna, kalian memang seperti itu. Mau tidak mau, kau memang harus bertanggungjawab, Avery. Jika ada gosip, kau akan menghancurkan reputasi Miss Denison dan membuatnya tidak bisa menikah selamanya.” Avery mendebas kasar, menyugar rambut kelamnya lalu, menyandarkan punggung ke sofa. Penat sekali rasanya. “Apa kau begitu keberatan dengan hal ini, Nak?” tanya Grace dengan intonasi lebih kalem. Pandangan melembut, memberi ruang kepada anaknya untuk tidak merasa terintimidasi. Avery memandang ibunya, lalu mengedikkan bahu. “Apakah … apakah Miss Denison sengaja menjebakmu?” Avery menggeleng cepat. “Tidak, Bu. Hari itu memang bukan hari keberuntunganku. Aku ke sana dengan kesadaran sendiri, dan tidak sengaja memergoki Miss Denison yang tidur pulas.” “Kau mencium anak gadis yang sedang tidur?!” Charles memekik. Matanya membulat dan hampir saja dia berdiri untuk menggampar putra sulungnya. “Sudah kubilang aku tidak menciumnya. Aku tidak melakukan apa pun padanya!” Avery terbawa suasana. Ketika sadar nadanya sudah terlalu tinggi di depan sang ayah, dia segera mengucap maaf. Keheningan sempat tercipta sepersekian detik. Hingga akhirnya Charles mengumumkan keputusannya. “Aku akan mengirimkan surat permintaan maaf ke rumah Baron Londesborough tentang semua kesalahpahaman ini. Mungkin beberapa hadiah untuk Lady Susan dan Lady Anna akan membuat masalah ini selesai dengan cepat.” Tidak ada jawaban. Hanya anggukan setuju dari Avery dan Grace yang tampak kompak seperti burung pelatuk. “Mungkin kau memang harus segera mencari pengantin, Ave. Dengan begitu berita seperti ini akan mudah dilupakan,” tambah Grace tiba-tiba. Di tempatnya, Avery mengambil napas begitu dalam. Masalah apa pun, ujung-ujungnya pasti dia yang akan disudutkan untuk segera menikah. Orang tuanya memang aneh, dan terlalu pemaksa. Sekarang lupakan tentang dirinya, kira-kira di tempat tidurnya apakah Miss Denison juga sedang kepikiran masalah ini juga? ‘Jangan-jangan gadis itu sedang merengek-rengek. Entah karena ingin dinikahkan denganku, atau malah karena tidak ingin menikah denganku.’ Avery membatin penasaran. . oOo . Pada malam yang begitu tenang dan nyaman, Gilbert Denison menerima sepucuk surat dengan stempel kepala keluarga Robinson. Di amplop suratnya, tercetak jelas nama Charles Robinson, alias Marques of Ripon yang tersohor di seluruh Yorkshire. Surat itu datang ketika ia sedang bersantai bersama sang putri di ruang menggambar. Mata abu-abu Gilbert terus saja mengulang-ulang tulisan di amplop, takut salah baca, takut ini hanya imajinasinya. Ia bahkan mendekatkan tulisan itu ke perapian, supaya mendapat cahaya lebih terang. Namun, setelah hampir lima kali membacanya, Gilbert baru sadar jika tulisan di kertas itu nyata. “Dalam rangka apa Marquess of Ripon mengirimiku surat seperti ini?” Hanae yang tengah menggambar sebuah peta fiktif di kanvas pun hanya mengedikkan bahu. Ia begitu fokus dengan karya akbarnya itu, sampai terlihat terlalu nyaman duduk di lantai, berkutat dengan pensil dan kanvas, penggaris serta penghapus. Bahkan ayahnya tak paham pada apa yang dia lakukan. “Kau tidak sedang berbuat ulah, ‘kan, Hanae?” “Tidak.” Hanae mengedik bahu. “Mungkin Lord Avery mau datang melamarku,” tambahnya santai. Gilbert melotot, lalu tersenyum pias. “Mana mungkin …,” sahutnya sangsi. Mana mungkin, ulangnya dalam hati. “Mungkin saja, Papa. Di antara seratus persen kemungkinan, ada nol sekian persen sesuatu yang dianggap mustahil bisa tiba-tiba terjadi. Papa harus tahu, segala sesuatu di dunia ini punya probabilitas dalam porsinya. Meskipun kecil, bukan berarti tidak mungkin.” Gilbert memijit pelipisnya, mendadak pusing. Diambilnya gelas berisi brendi di meja, kemudian diteguk sangat hikmat. “Mungkin mereka ingin membicarakan sesuatu yang bersifat politik. Mungkin juga bisnis peternakan, atau mau membeli tanah,” terkanya. Sepertinya minum brendi bisa sedikit membuatnya lebih rasional dan positif. Hanae mengangguk-angguk saja. Tidak juga berniat untuk menceritakan apa yang terjadi padanya siang tadi di rumah Lady Susan Fox. Bukan sesuatu yang penting, pikirnya abai. Hingga pada akhirnya, Gilbert membuka sendiri surat yang sejak tadi di tangannya. Semakin lama membaca isinya, semakin Gilbert mengernyit tidak suka. Pada puncaknya, ia hanya bisa mengagetkan Hanae dengan teriakannya yang menggema di seluruh ruangan. “Hanae! Apa yang sudah kau lakukan?!” “Apa? Aku sedang membuat peta fiktif.” Hanae menjawab tenang bahkan tanpa menengok ke arah papanya yang hampir muntab. Napas Gilbert kembang kempis. “Bukan itu! Cepat ceritakan padaku, apa yang terjadi antara dirimu dengan Viscount Goderich siang tadi di kediaman Lady Susan Fox!” Hanae mengedikkan bahu. “Aku terpergok sedang berciuman dengan Avery Robinson.” “Kau! Kau berciuman dengan lelaki asing?! Jelaskan padaku, punya hubungan apa kau dengan pewaris gelar Marques of Ripon itu?!” Kali ini, Hanae menghela napas. Tampak jengkel dengan papanya yang sejak tadi berteriak sampai mengganggu ketenangannya melukis. “Kami dituduh berciuman, padahal kami tidak melakukannya,” ujarnya kemudian. “Dan aku tidak memiliki hubungan apa pun dengan Viscount Goderich. Kami hanya tidak sengaja bertemu.” “Lalu, bagaimana bisa kalian dituduh berciuman oleh orang lain? Pemandangan seperti apa yang kalian tampakkan pada orang lain, hah?” Tangan Hanae tidak tahan untuk menggaruk kepalanya sendiri. “Papa, tidak perlu khawatir. Semua itu hanya kesalahpahaman. Aku dan Viscount Goderich sama sekali tidak melakukan apa-apa. Orang-orang melihat seolah kami berciuman hanya karena Viscount Goderich yang mencoba membersihkan wajahku.” “Apa benar seperti itu?” Gilbert mengernyit sangsi. “Iya benar seperti itu. Lagi pula, tidak mungkin kedua orang tua Viscount Goderich setuju jika anaknya dinikahkan denganku. Viscount Goderich sendiri juga tidak mungkin mau. Mereka pasti akan mencari cara agar semua berita tidak benar itu bisa lenyap dalam sekejap.” Entah mengapa, mendengar Hanae yang dengan tenang bicara seperti itu, ada hujaman rasa tidak nyaman di hati Gilbert. Ia tahu bahwa reputasi putrinya di masyarakat kalangan ton memang tidak begitu baik, tetapi ia sedikit tidak menyangka jika Hanae memiliki pikiran yang begitu rendah pada dirinya sendiri. “Hanae, kau pantas mendapatkan laki-laki yang baik, yang pintar, kaya, baik hati, dan setampan patung-patung Dewa Yunani. Kau pantas mendapatkan laki-laki yang kau inginkan.” Dengan matanya yang bulat dan berkilau, Hanae menatap papanya lekat. “Papa mengkhawatirkanku, ya?” tanyanya bernada penuh canda. “Hanae, aku sedang serius.” Hanae mangangguk. “Iya, Papa. Aku juga sedang serius. Tidak perlu khawatir berlebihan, aku bukannya tidak percaya diri, aku hanya tahu kapan harus berharap dan tidak. Semua hal ada porsinya, dan aku sudah cukup dewasa untuk menilai semua itu. Sekarang, kembalilah duduk dengan nyaman dan biarkan aku menyelesaikan lukisanku.” Gilbert mengambil napas dalam. Bicara dengan Hanae memang harus pintar-pintar memutar kalimat. Anak perempuannya memang kadang susah dipahami. Daripada berpenat-penat berpikir sendirian, mungkin benar kata Hanae, sebaiknya ia kembali duduk tenang dan menikmati masa-masa damainya dengan sangat maksimal. Ia tidak akan tahu, kapan suasana seperti ini bisa tiba-tiba berubah kacau diterpa tornado. . Sweet Continue_
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD