Dia

813 Words
Hening, kerap menjadi jembatan. Antara tatap matamu yang membakar Dan rasa asing bernama rindu yang menampar. ~~~ Waktu terasa lambat saat bertatapan dengan matanya, tadi. Entah kenapa, tapi ada semacam energi magis. Aku merasa seperti ditarik oleh tatapan sepersekian nano detik itu. Pria yang dipanggil 'Bim' ini, sangat kharismatik dan aku jatuh pada daya tarik matanya. Saat itu juga. Gerry mengenalkanku pada 'Bim'. "Ini cewek gue, Bim. Allea. Nah, Beb ini Bima. Salah satu teman kuliah yang aku ceritain tadi, teman nongkrong juga." Gerry mengenalkan. "Bimasakti." Bima mengulurkan tangannya padaku, sambil tersenyum. 10 detik yang mengubah segalanya. "Alleandra.." balasku, entah mengapa bicaraku sedikit menggantung. Seperti pikiranku saat ini, yang lari entah kemana. Bima mengambil tempat di sebelah kiri Gerry dan memesan minuman. Secangkir kopi hitam. Gerry memesan latte favoritnya. Kemudian mereka pun terlibat dalam nostalgia. Aku menyimak obrolan mereka. Mereka berteman sejak kuliah dan sering menghabiskan waktu bersama. Siapa sangka pada akhirnya terpisah karena kesibukan satu sama lain dan bertemu kembali dengan dunia nyata mereka yang sungguh berbeda. Pasalnya, Gerry dan Bima bagaikan Bumi dan Langit. Tapi bukankah persahabatan itu menyatukan perbedaan? Aku tersenyum sendiri, melihat Gerry yang serba sempurna dengan latar belakang keluarga juga pekerjaan yang elite, mengobrol dengan Bima yang sederhana dengan gaya cuek dan asyik membuat dunia seimbang. Pandanganku kembali ke Bima. Dia tidak setampan Gerry, tapi ada kharisma yang terpancar dari tatapan mata, senyum yang penuh wibawa dan bicaranya yang lembut juga bijaksana. Bisa dipastikan Bima adalah sosok paling dewasa dalam kelompok pertemanan mereka, ini sih penilaian dari pengamatanku saja. Teman-teman Gerry yang lain mengabarkan batal datang. Dan jadilah kami hanya bertiga, aku pendengar obrolan mereka berdua. Sambil sesekali memperhatikan Bima. Ada sesuatu tentang Bima yang membuatku tertarik. Entah apa itu. Aku merasa seperti tidak asing dengan dia, tapi yakin baru bertemu hari ini dengannya. Bima melepas ikatan rambut, dan menyisirnya kebelakang dengan jari-jari yang panjang dengan asal. Hatiku berdesir melihatnya, aneh. Disebelahnya ada Gerry, yang tampan yang segera menjadi calon suamiku. Perasaan macam apa ini yaa Tuhan. Tapi mataku kembali mengamati profilnya, dimulai dari hidung yang mancung. Bibir tipis, dan menghitam. Pastilah karna berbatang-batang rokok yang telah dihisapnya. Mata teduh, dengan sorot mata yang tajam dan dalam. Tiba-tiba Bima menoleh dan terpaku menatapku, entah mengapa tatapan itu seperti sedang mencari-cari sesuatu. Apa itu? Aku segera menunduk, pura-pura sibuk dengan sepatuku. Sambil berpikir, ada apa dengan tatapan Bima barusan? "Tebak deh Beb, nama lengkap Bima siapa?" Gerry tiba-tiba membuyarkan lamunanku, aku melirik Bima yang memandangku, biasa. "Hmmm --- mungkin Galaksi Bimasakti." Jawabku, asal. Sumpah, itu tebakan asal. "Hahaha, bravo Sayang!" Gerry tertawa sambil tepuk tangan. Eh. "Beneran?" Tanyaku, kepada mereka berdua. Bima menjawab dengan anggukan kepala kecil dan melihatku lagi. Kali ini matanya, sendu. Kemudian ia tersenyum, cerah. Aduuuuh ini orang, manisnya gak santai banget. Ingat Gerry, ingat Gerry. Batinku mengingatkan. Tapi mataku ngeyel, ngelirik Bima lagi dan ia sedang menatapku kali ini. Tajam. Gerry menarikku ke dalam obrolan mereka. Gerry bertanya tentang pacar Bima saat ini yang hanya dijawab dengan senyuman. Ia menyesap kopinya dan menggeleng-geleng pelan membantah statement Gerry yang memanggilnya dengan sebutan playboy. Gerry bilang, Bima digandrungi cewek-cewek di kampusnya saat kuliah, tapi Bima tidak pernah menghiraukan mereka. Dipikiranku melintas, cewek macam apa yang bisa membuat Bima jatuh hati ya kira-kira. Aku masuk gak ya? Hush! "Elu masih satu band sama Ito, Galih & Rizky?" Gerry bertanya pada Bima. "Ito sama Galih aja, Rizky udah fokus bisnis dia. Nah tempat kita perform itu, kafe punya Rizky dan partner-nya." Bima menjelaskan. "Main dong gue kesana, kapan kalian main?" Gerry membuka peluangku bertemu Bima lagi. Eh, tapi aku di ajak gak ya? "Rabu, Jumat dan Sabtu. Tapi gua bisa disana hari Jumat dan Sabtu aja." Bima menjawab dan melirikku! "Yeah oke. Kalau enggak ada lo, ada itu anak 2 kan?" Tanya Gerry, lagi. "Ada lah, mereka standby 3 hari itu." jawab Bima. Mereka kembali asyik berbicara ini dan itu tentang masa-masa kuliah, sesekali menyinggung masa lalu masing-masing tentang asmara yang lebih sering di-skip cepat - cepat. Mungkin karena ada aku yang mengamati sambil senyum. To be honest, aku gak ada masalah dengan masa lalu Gerry. Siapa saja mantan pacarnya, toh itu hanya masa lalu. Tapi justru penasaran tentang Bima. Entah mengapa tiba – tiba aku ingin tahu banyak tentangnya, tipe perempuan seperti apa yang bisa menarik hati Bima. Seperti apa dia saat dulu, apakah se-asyik ini penampilannya dari kuliah. Se-tenang ini dalam berbicara? Se-kharismatik inikah dia bersikap? Segala hal tentang Bima mulai merasuki pikiranku, ada perasaan ingin mengenalnya lebih jauh. Dan sialnya aku hampir lupa siapa aku disini, siapa aku di matanya. Aku cuma pacar teman, yang baru saja dikenalnya. Pikiran tentang Bima membuatku malu sendiri, berani-beraninya aku berpikir seperti itu sedangkan aku sudah dikenalnya sebagai kekasih Gerry. Temannya atau bahkan sahabat karibnya. Sebelumnya aku berpikir, Gerry adalah love line-ku. Tapi sepertinya aku salah besar. Karena pria gondrong yang duduk disamping Gerry-lah yang telah sukses menjungkir balikkan duniaku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD