Menjemput Pacar

1271 Words
Hanya sebatas raga Antara aku, kau dan kita.. Hanya sebatas pandangan mata Dan belenggu yang tak ada akhirnya Kita hanya sebatas hembusan angin yang terasa Tanpa jeda. ~~~ Bandara Soetta, jam 04.28 sore. Aku masih menunggu setelah berganti posisi dari duduk-berdiri-jongkok-berdiri lagi tanpa petunjuk, selama 4 jam entah lebih berapa menit. Seharusnya menurut jadwal, pesawat yang ditumpangi oleh seorang pria yang akan segera menjadi suamiku, sudah mendarat dari 2 jam yang lalu. Ibu memintaku menjemput calonku, sendirian. Untuk membangun, mungkin semacam ikatan emosional yang baru. Karena selama 26 tahun aku mengenalnya, kami hanya sebatas teman, karena orangtua kami juga berteman. "Alleandra Pramesti!!!" Seseorang memanggil namaku. Dan kenapa lengkap banget sih manggilnya? Aku menoleh dengan sebal, dari pintu keluar bertuliskan 'arrival' sesosok pria yang kukenal dengan postur tubuh yang tinggi (sangat tinggi), tampan dan bersinar, melambaikan tangan ke arahku. Senyumnya merekah, memamerkan sederet gigi putih, bersih dan rapi. Aku menghembuskan napas kesal juga lega. 4 jam 48 menit sudah menunggunya di pintu kedatangan ini. "Sorry.. Sorry, Sayang, pesawatku delay di Dubai tadi. Kamu sendirian?" Katanya dengan sorot mata menyesal begitu sampai di hadapanku. Sambil menarik bahu dan bercipika cipiki denganku. Aku mengernyitkan dahi. "Begini sambutan buat aku? Pacar LDR kamu yang sudah jauh-jauh pulang ke tanah air demi meresmikan hubungan kita?" Katanya dengan mimik wajah sedih, dengan pura-pura. "Aku kira akan dapat kecupan di kening kek, di pipi kek. Cuma cipika cipiki." Gerutuku, sebal. "Gitu gaya pacaranmu di Amrik sana?" Tanyaku balik. Responnya hanya nyengir kuda. Merangkul bahuku dengan tangan kiri dan menyeret troli isi selusin kopernya dengan tangan kanan yang gagah, ia menuntunku berjalan pergi. Namanya Gerry, dia adalah temanku dari kecil. Bisa dibilang kami berteman dengan alasan yang sangat klasik. Ya, orangtua kami juga berteman. Tebak sejak kapan? sejak mereka SMA! Terbayang dong dekatnya hubungan mereka. Orangtua Gerry, Om Nano dan Tante Dini memiliki 2 anak laki-laki. Sedangkan ayah dan ibuku, memiliki 1 anak laki-laki dan 2 anak perempuan. Guess what? Iya kami dijodohkan sejak baru menetas. Sadis kan? Gerry 2 tahun lebih tua dariku dan sejak dulu kami memang hanya berteman. Meski kami sama-sama tahu, orangtua kami berdua keukeuh berusaha menjodohkan. Hingga 4 tahun lalu, Gerry diterima bekerja di Perusahaan Asing dan ditugaskan di Negara Adidaya. Tante Dini hampir setiap hari menghubungiku, memastikan bahwa Gerry dan aku tetap komunikasi jarak jauh. Sejujurnya, Gerry tampan. Tipe pria tampan yang menyenangkan, maskulin, keren, stylish dan baik. Tapi sejak kecil, di mataku, dia hanyalah sahabat baik. Namun, pada pertengahan Bulan Mei lalu akhirnya aku memberanikan diri bertanya ke Gerry tentang keinginan orangtua kami. Aku bahkan tanpa malu bertanya perasaannya terhadapku. Dan secara tak terduga, Gerry justru mengajakku untuk berkomitmen. Awalnya kupikir, toh aku juga sedang tidak dengan siapa-siapa. Tetapi semakin sering komunikasi dengan Gerry aku merasa nyaman, jenis kenyamanan yang cukup membuatku untuk tidak memikirkan orang lain lagi. Gerry saja cukup, kurasa begitu. Pacaranlah kami, di pertengahan tahun lalu. Dan Gerry langsung mengumumkan hubungan kami di f******k. Orangtuaku dan orangtua Gerry menyambut baik, bahkan di awal tahun kemarin ibu mendesak untuk membicarakan pernikahan. Dan setelah berbicara dengan Gerry, tanpa pikir panjang ia mengiyakan perkataan ibuku. Sudah waktunya memikirkan langkah untuk maju, katanya saat kuceritakan keinginan ibu-ibu kami. Dia pun berjanji untuk segera pulang dan mengajukan diri kembali bekerja pada cabang Perusahaan di Jakarta. Dan di sinilah dia sekarang. Duduk di sampingku, dalam taksi menuju rumahnya. Mungkin, karena hampir seumur hidup kami hanya berteman. Maksudku, tidak pernah terpikirkan sedikitpun sebelumnya bahwa pada akhirnya aku dan Gerry akan merencanakan untuk menikah. Sampai saat ini pun, tak ada hal istimewa yang dia lakukan. Tidak seperti layaknya pasangan yang sedang dimabuk asmara, kami justru masih berbicara dan melihat sebagai teman. Seperti saat ini, tangan kanannya disangga pada jendela taksi, tangan kiri mengetuk ngetuk pelan pahanya mengikuti irama musik yang sedang diputar. Aku mencoba berpikir positif, bagus juga jika Gerry tidak terpengaruh pergaulan Barat. Masih bersikap sopan kepadaku, sejauh ini. But, aku merasa ada yang ganjil. Atau, mungkin aku terlalu berekspektasi berlebihan tentang bagaimana Gerry melihatku sebagai pacar. Taksi yang kami tumpangi sampai di rumah Gerry. Rumah besar dan megah, yang mereka tempati semenjak om Nano menjadi Direktur Utama dalam Perusahaan Multinasional. Tante Dini menyambut kami dengan wajah sumringah dan lega. Akhirnya, putra sulungnya kembali. Dipeluknya Gerry dengan erat, Gerry terlihat risih dan segera melepaskan pelukan tante Dini dengan cepat. "Ih kamu, Mamah kan kangen, Bang." Tante Dini cemberut lucu, aku tersenyum melihat tingkah mereka. "Duuh Mamah, kan malu sama Allea. Tuh Allea senyum-senyum aja ngeliatnya." Aku melebarkan senyum ke arah mereka. "Hehe lupa ada Allea, duh calon mantu Tante." Tante Dini meraih bahu dan memelukku. "Jadi, kapan kalian nikah?" Pertanyaan ini, masih horor di telingaku. "Mamah." Gerry menatap mata mamanya, mengingatkan. "Hehehe Selow, selow." Tante Dini menenangkan Gerry sambil mengangkat tangannya. "Gerry-nya baru nyampe, Tante. Dia harus istirahat dulu. Terus masih mau nostalgia dulu, terus reuni-an dulu sama temen-temennya. Baru nanti kita bahas masa depan. Ya enggak, Gerr." Aku meminta dukungan. "Nah, tuh tahu banget kamu Al. Gak salah deh pilih calon istri." Jawab Gerry sambil menggodaku. Tante Dini berdehem-dehem sambil berciee-ciee ria. *** Sudah 3 minggu Gerry kembali, selama itu pula hampir setiap hari kami bertemu. Dari yang sekedar makan bareng atau anterin Gerry bernostalgia dengan Jakarta. Dan tak ada yang berubah. Perilaku Gerry, tetap memperlakukanku seperti teman. Begitu juga denganku, tidak mungkin aku yang agresif duluan. Aku ikuti saja maunya. Sejujurnya, jalan dengan Gerry membuatku merasa seperti sedang bersama sahabatku. Sejauh kami jalan, ngobrol dan melakukan hampir segala hal bersama entah kenapa aku hanya merasa seperti sedang bersama teman perempuan. Terasa seperti aku dan Reina, satu-satunya sahabat yang kupunya. Tapi kata orang, pasangan terbaik untuk kita adalah mereka yang lebih sering berperan sebagai sahabat. Entah kata siapa, aku juga lupa. Malam ini, Gerry mengajakku untuk bertemu teman-teman kuliah dia. Sebenarnya aku enggan bertemu teman-temannya, selain gak kenal dengan salah satu dari mereka, aku enggak mau malah menganggu moment reuni Gerry dan kawan-kawan. Tapi Gerry sedikit memaksa, sangat ingin memperkenalkan aku dengan mereka. Gerry bilang, teman-teman seperjuangannya inilah yang paling dekat dan seperti saudara dengannya. Ia mau aku mengenal mereka. Aku pun mengalah untuk ikut datang dengannya. Kami sampai lebih dulu. Aku bahkan sudah memesan greentea frappe favoritku dan Gerry masih menoleh kanan - kiri di kursi sambil sesekali mencoba menelepon. "Ah! Tuh kan, ngaret deh mereka." Gerutunya, sebal. "Sabar Ger, nanti juga datang. Kena macet jam segini." Aku berusaha menenangkan. "Ehmm Al, kita manggil sayang-sayangan dong. Aku manggil kamu Beib, kamu panggil aku Honey ya." Aku memandangnya bingung. Aku kurang suka kalau harus manggil sayang-sayangan begitu. Dia menggenggam tanganku "Please Beib." katanya memohon, dengan mata sendu yang bakal meluluhkan hati cewek-cewek yang baru kenal. Kalau aku sih, sudah tidak mempan. "Iya. Iya." Jawabku cepat biar dia menyudahi drama mohon-memohonnya yang gak banget tadi. Tidak lama kemudian dari belakangku terdengar seseorang memanggil. "Gerry!" Gerry seketika berdiri dan menyambut dengan senyum temannya yang baru datang. "Heiii Bim, apa kabar lu bro?" Begitu temannya yang di panggil 'Bim' itu tiba di meja kami. Mereka saling bersalaman dan berangkulan sambil menepuk punggung masing-masing. Si Bim menoleh padaku dan tersenyum, tapi sorot matanya kaget, senyumnya sangat familiar. Cowok yang dipanggil Bim ini tinggi, kurus dengan tipe tubuh kurus yang meskipun makan banyak tetap kurus, dengan rambut panjang lurus yang di ikat asal dan hitam manis. Menebak gayanya, ia pasti seorang seniman. Mungkin dia seorang pelukis, atau musisi, atau pekerja seni lainnya. Saat menatapku, ada sesuatu disana yang membuatku terpaku. Dengan berani matanya menyelami mataku, seperti pandangan seseorang yang sudah kenal lama tapi baru bertemu lagi. Cukup membuatku salah tingkah, segera kualihkan pandangan ke bawah meja. Mengatur irama jantungku yang tiba-tiba berdetak liar dan berusaha mengingat. Dimana pernah kulihat senyumnya?           
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD