Kontrak Jodoh

2373 Words
Tiga hari berlalu tanpa ada insiden lain yang terjadi antara Winda dan Bima, namun hal itu tidak lantas membuat Winda merasa lega dan mulai melupakan semua hal yang berhubungan dengan Bima di belakangnya. Tidak sama sekali. Alasannya adalah, selain karena Bima masih menghadiri kelasnya sebanyak empat kali dalam seminggu, yang berarti hampir setiap hari, Winda juga masih menerima tatapan Bima yang memiliki arti tersendiri di dalam setiap kesempatan yang kebanyakan terjadi ketika pria itu mengikuti kelasnya. Kerlingan nakal yang diberikan Bima kepadanya mampu membuat lutut Winda menjadi lemas dan itu bukanlah hal yang diinginkanya ketika ia sedang berdiri di bawah tatapan 150 orang mahasiswanya di dalam kelas. Tidak ada yang dapat dilakukan Winda untuk menghindari tatapan Bima karena pria itu dengan sengaja mengambil tempat di tengah-tengah barisan terdepan, mengetahui dengan jelas bahwa Winda dapat melihatnya. Seperti saat ini, Bima duduk bersandar dengan tangan tersilang di d**a.                Postur tubuhnya terlihat santai dalam mendengarkan pelajaran             Winda namun senyuman yang terukir pada wajah tampan itu memberi tahu Winda bahwa Bima sedang mengejeknya yang tidak berani menatap pria itu. Winda dengan kesal melemparkan tatapan tajam kepada Bima namun tidak membuahkan apa pun. Seringai pria itu malah semakin lebar dan tidak terlihat terintimidasi sama sekali. Utomo yang duduk tepat di belakang Bima menyadari tatapan Winda dan lelaki itu langsung mencondongkan tubuhnya mencolek pundak Bima, secara tidak langsung memberitahu Bima untuk berperilaku baik. Winda tidak tahu apakah Utomo sudah mengetahui tingkah Bima kepadanya. Tapi mengingat betapa dekat keduanya, Winda tidak akan heran jika Bima menceritakan semuanya kepada Utomo. Dua jam yang biasanya berlalu cepat tcrasa sangat lama hari ini karena dijalankan di bawah tatapan Bima yang mengikuti semua gerak-geriknya. Jadi, ketika bel akhirnya berbunyi menandakan jam kedua telah selesai, Winda tidak bisa bergerak lebih cepat lagi untuk keluar dari ruangan itu. Biasanya ia akan menjadi orang terakhir yang keluar, sekadar berjaga-jaga jika ada satu atau dua muridnya yang ingin bertanya lebih jelas lagi tentang pelajarannya. Tapi hari ini, Winda melesat begitu cepat, hampir berlari masuk ke dalam ruangannya. Winda langsung mengambil tas tangannya dan beranjak keluar, tidak lupa untuk mengunci pintu tersebut. la sudah tidak memiliki kelas yang harus diajamya lagi sore ini sehingga ia memutuskan untuk pulang lebih awal. Selain karena untuk menghindari Bima, Winda sebenarnya juga memiliki janji dengan keluarganya. Ketika ia berjalan keluar gedung menuju lapangan parkir, Winda harus menggertakkan gjginya ketika melihat Bima berdiri bersandar dengan santai di pintu mobilnya. Pria itu melambaikan tangannya ke arah Winda sambil tersenyum malas. "Halo, Profesor" sapa Bima. Winda tidak menggubrisnya dan membuka pintu mobil. la langsung masuk menaiki sedannya, tidak berpikir bahwa Bima akan berani masuk dan mengisi kursi penumpang di sampingnya. “Apa maumu, Bima?" tanya Winda kesal saat Bima dengan santai menutup pintu penumpang. "Aku tidak memiliki waktu untuk meladenimu." "Ah, jangan begitu, Winda. Aku hanya ingin menumpang pulang, tidak bolehkah?" Winda memberikan tatapan tajamnya kepada Bima. la tidak akan termakan oleh ucapan dan tatapan polos yang diberikan oleh pria itu kepadanya. Tatapannya mematikan, dan Winda tidak bisa menurunkan kewaspadaannya jika sudah menyangkut mahasiswanya yang satu ini. "Ada apa dengan motormu?" tanya Winda ketus. Bima menyeringai lebar. "Kau memperhatikanku, Profesor?" Winda tidak menjawab. Ia merasa kesal dalam tingkatan yang belum pernah dirasakannya. Berada dalam satu ruangan dengan pria ini mampu membangkitkan berbagai emosi dalam diri Winda meskipun. hanya beberapa menit saja. Tahu bahwa Lidak ada yang bisa Winda lakukan kepada Bima, ia tidak bicara lagi dan mulai memutar kunci mobilnya. Suara deru halus mesin mengisi indra pendengaran mereka. Sebelum Winda sempat memindahkan persneling, tiba-tiba Bima memegang pergelangan lengan kirinya yang memegang persneling. Winda menaikkan kepalanya cepat menoleh ke arah pria itu dan memandangnya dengan tatapan yang sedikit khawatir. Bima lalu memutar tubuhnya menghadap Winda dan mulai mencondongkan tubuhnya, mendekatkan wajah tampannya ke arah Winda. Secara refleks, Winda memundurkan tubuhnya sendiri, berusaha untuk menjaga jarak dari tubuh Bima yang semakin mendekat. Genggaman tangan Bima pada pergelangan tangannya mencegah Winda untuk mundur lebih jauh lagi. Usahanya dalam berusaha untuk melepaskan genggaman tangan pria itu juga nihil sehingga Winda akhirnya pasrah ketika wajah Bima sudah tepat berada di depan wajahnya. Winda menelan salivanya saat mata mereka saling bertemu. la dapat melihat pantulan dirinya sendiri dalam mata gelap Bima yang berkilat penuh rasa percaya diri. Tanpa sadar, Winda sudah menahan napasnya dan tidak berani bergerak, “Apa yang kau lakukan?" tanya Winda setengah berbisik. Bima tersenyum dan bergerak. Winda langsung memejamkan matanya dan memalingkan wajah, khawatir pria itu akan mendaratkan bibirnya lagi. la dapat merasakan hembusan napas teratur Bima di sisi wajahnya namun tidak ada sentuhan bibir pria itu yang datang. Tidak lama kemudian, ia mendengar sebuah bunyi 'klik' kencang disusul dengan lepasnya tangan Bima pada pergelangan tangannya. Membuka kelopak matanya sedikit, Winda menyadari bahwa tubuh Bima tidak lagi berada didekatnya. la menggerakkan kepalanya ragu-ragu dan melihat bahwa tangannya yang ada di atas perseneling mobil sudah bebas dari cengkraman tangan BIma. Bingung dengan apa yang baru saja terjadi, Winda kemudian sadar dengan sabuk pengaman yang sudah terpasang melintasi tubuhnya. Winda lalu mengangkat kepalanya lagi dan memandang Bima yang sudah kembali duduk dengan santai di kursinya. Pria itu tersenyum geli dan menatap Winda dengan rasa terhibur. Seketika wajah Winda merona karena malu. la pikir pria itu akan kembali berbuat hal yang tidak senonoh kepadanya, namun ternyata hanya       memasangkan sabuk pengamannya. Berdeham, Winda meluruskan pandangannya. Sudah cukup ia membiarkan Bima terhibur dengan cara mengerjai dan menggodanya seperti tadi, ia tidak akan membiarkan pria itu menjadi lebih senang dengan memperlihatkan rasa malunya. Dan Winda langsung melajukan mobilnya keluar dari area universitas. Bima tidak mengeluarkan sepatah kata pun selama perjalanan, namun Winda dapat merasakan tatapan intens yang diberikan oleh pria itu kepadanya. Satu sisi wajahnya terasa lebih panas dari yang lain karena menerima tatapan non-stop Bima padanya. Ketika ia memarkirkan sedannya ke dalam basement apartemen mereka, Winda mematikan mobil dan mulai melepaskan sabuk pengamannya. la mengerutkan keningnya ketika sabuk pengaman itu terpasang kencang dan tidak bisa dilepaskan meski ia sudah menekan tombolnya. Suara tawa Bima memenuhi ruangan sempit itu dan Winda melemparkan tatapan kesalnya kepada pria itu. Berani-beraninya ia tertawa ketika Winda terkunci di tempat duduknya. "Anda hanya perlu memberitahuku jika ingin aku yang melepaskan sabuk pengaman Anda, Profesor,” ucap Bima. "Sial! Aku bisa." Bantahan kesal Winda terputus ketika dengan cepat Bima mendekatkan tubuh dan wajahnya lagi. Senyum               nakal terukir pada bibir Bima dan sekali lagi Winda mendapati diri nya mengisi bola mata Bima. Winda menolak untuk merasa terintimidasi kali ini dan tidak bergeming ketika pria itu mulai bergerak. Bima mulai mendekatkan wajahnya pada wajah Winda hingga puncak hidung mereka bersentuhan. "Anda tidak berusaha untuk menghindar?” tanya Bima dengan suara bisikan rendah. Winda tidak menjawab dan mengatupkan rahangnya rapat-rapat. la tahu pria ini pasti sedang mengerjainya seperti tadi dan Winda tidak akan mempermalukan dirinya lagi dan memalingkan wajah. Tindakannya tadi hanya membuat Winda terlihat besar kepala karena berpikir pria itu akan menciumnya. "Baiklah, kalau begitu,” gumam Bima. "Aku terima dengan senang hati, Profesor." Winda membelakkan matanya ketika merasakan bibir itu mendarat dengan sempurna di bibirnya. Ia membuka mulutnya karena terkejut namun malah membuat Bima mendapatkan akses penuh ke dalam mulutnya. Tangan Winda yang berada di atas ikat sabuk pengaman langsung dilepaskannya dan ia mulai mendorong tubuh Bima darinya. la berusaha menolak, atau paling tidak itu yang ingin Winda percayai ia lakukan. Menolak pria itu dengan sekuat tenaga. Namun, antara tenaganya yang tidak seberapa dibandingkan Bima atau usahanya yang kurang, pria itu tidak bergeming sama sekali dan malah semakin melekat kepadanya. BIma lalu meraih kedua tangan Winda dengan satu tangan, menahannya di antara mereka berdua dan semakin memperdalam ciumannya. Winda mulai kehabisan napasnya ketika akhirnya Bima menjauhkan diri dan menarik lidahnya keluar dari mulut Winda sambil memberikan jilatan terakhir di sudut bibir lembut itu. Sebelum Winda tersadar dari efek ciuman mereka, Bima sudah beranjak keluar dari mobil dan meninggalkannya. Pria itu melambaikan tangannya sambil mengedipkan sebelah mata sebelum bilang dari area pandang Winda. Winda kecolongan lagi! Mengerang kesal, Winda memuku] roda kemudi mobilnya dan menundukkan kepalanya. la sekali lagi kecolongan dan kali ini Winda tahu bahwa pria itu benar-benar tahu cara berciuman. Bima berhasil membuatnya menikmati ciuman mereka. la bahkan ia tak sadar kapan sabuk pengamannya itu sudah berhasil dilepaskan oleh Bima. Menghela napasnya, Winda keluar dari mobil dan berjalan menuju lift yang akan membawanya menuju lantai apartemennya. Bima sudah tidak terlihat lagi di sana dan Winda berhasil sampai ke kediamannya tanpa dibayang­bayangi Bima di sampingnya. Winda menggantung blazer-nya dan masuk ke dalam kamar mandi. la memiliki cukup waktu untuk bersiap-siap dan sedikit berdandan untuk pergi ke kediaman orangtuanya. lbunya, Susi, menghubunginya kemarin dan meminta nya untuk datang ke rumah untuk makan malam bersama. Susi juga mengatakan sesuatu tentang mengenalkannya kepada salah satu ilmuwan berbakat dan calon investor yang merupakan sahabat dari ayah Winda. Jika sudah begitu, Winda tahu bahwa makan malam mereka bukan sekadar makan malam biasa. Makan malam itu akan menjadi makan malam semi formal yang akan dihadiri beberapa teman ayahnya, yang berarti Winda harus berpenampilan sopan dan menarik. Memberikan sentuhan terakhir pada polesan wajahnya, Winda sudah siap untuk berangkat. la kembali mengendarai sedannya dan menyetir dengan kecepatan yang cukup santai. Hanya dalam waktu lima belas menit, Winda sudah sampai di kediaman megahnya dulu. Winda turun dan memberikan kunci mobilnya pada salah seorang pelayan pria yang bersiaga di sana. la dapat melihat beberapa mobil mewah sudah terparkir berjajar dj halaman depan rumah tersebut dan meringis karena itu artinya ia sudah terlambat dan akan menerima semburan 'halus' ibunya. “Ah! lni dia putriku!" seru Susi tatkala melihat 'Winda masuk ke dalam ruang makan. Winda   tersenyum sedikit dipaksakan melihat empat pasang mata di ruangan itu terfokus padanya. Kedua orangtuanya duduk di meja makan bersama dengan dua orang yang Winda tebak adalah tamu mereka hari ini. Susi bangkit berdiri dari posisinya dan berjalan mendekat untuk memberikan Winda sebuah pelukan selamat datang. lbunya lalu mengecup pipinya sambil berbisik, "Kau terlambat, Winda." Bagi orang lain yang melihat, interaksi mereka akan diartikan sebagai kehangatan antara ibu dan anak. Namun Winda tahu yang sesungguhnya. Dengan tangan Susi yang sedikit meremas kencang lengannya dan bisikan dingin wanita itu di telinganya, Winda tahu Susi kesal karena ia terlambat. "Duduklah, Sayang," ucap Susi dengan kehangatan yang dibuat-buat. lbunya menarik sebuah kursi yang sudah disiapkan untuknya. Kedua tamu mereka sekarang berada di sebelah kanannya dan di seberangnya, sementara ayah mereka duduk di ujung meja dan Susi di sebelah kanan ayahnya, berseberangan dengan tamu yang duduk di sebelah kanan Winda. "Maaf, membuat kalian menunggu," ucap Winda berbasa­basi ketika melihat bahwa makanan yang terhidang masih belum tersentuh. la lalu menolch ke arah ayahnya, Pramono, dan berkata, "Seharusnya kau tidak membuat mereka menunggu kedatanganku dan langsung makan Ayah." "Tidak apa, Miss...?" Sapa pria yang berada di sampingnya berkata, menunggu Winda menjawab pertanyaannya. "Winda,” jawabnya. "Winda," ucap pria yang terlihat lebih muda beberapa tahun dari ayahnya. "Aku Hendrik dan pria yang berada di hadapanmu adalah rekanku, Mario." Winda tersenyum kepada Hendrik dan Mario yang terlihat sama tuanya dengan kedua pria lain yang ada di sana. "Hai, Winda. Susi banyak bercerita tentangmu.” Ucap Mario. "Benarkah? Kuharap bukan hal buruk," balas Winda. Ia sedikitpun tidak terkejut dengan ucapan Mario. Mario terkekeh. "Tidak, ia menceritakan bagaimana cerdas dirimu dan bahwa kau mendapatkan gelas Phd. di usia yang cukup muda.” Tanpa sekalipun menyebut namaku tentunya, komentar Winda dalam hati. Hal seperti ini sudah sering terjadi karena ibunya selalu berusaha untuk 'memperbaiki' hidup Winda. Entah sudah berapa banyak insinyur, profesor, atau para ilmuwan yang dikenalkan oleh ibunya. Susi berharap bahwa Winda akan melepaskan pekerjaannya sebagai dosen dan beralih mengerjakan sesuatu yang lebih berguna dan lebih membanggakan. lbunya selalu berkata bahwa ia akan lebih bangga lagi jika Winda dapat memenangkan penghargaan nobel suatu saat nanti. Memliki tingkat kecerdasan yang jauh melebihi rata-rata selalu mengundang rasa iri dari berbagai macam orang. Mereka pikir hidupnya sempurna dan keren, berbarap bahwa mereka memiliki kelebihan yang Winda miliki. Tidak ada yang tahu bahwa semenjak kecil, tidak peduli bahwa Winda dengan mudah meraih nilai tertinggi dan mengikuti kelas akselerasi, ia akan selalu didorong dan ditekan untuk menjadi lebih pintar dan lebih sempurna . Susi selalu beranggapan bahwa ia diberkati dengan putri yang pintar dan berbakat, bahwa Winda dan segala pencapaiannya adalah kebanggaannya sendiri. Jika djpikirkan, tidak ada wanita mana pun yang tidak akan berbangga jika menuliki putri seperti Winda. Namun lambat laun, kebanggaan Susi berubah menjadi kesombongan dan ketamakan. la menjadi beranggapan bahwa ia harus memiliki semua yang terbaik, termasuk putri kebanggaannya. Ibunya tidak pernah puas dengan prestasi yang diraih oleh Winda. la memaksa Winda untuk belajar lebih giat lagi dan berkata bahwa Winda harus menjadi yang terbaik dalam segala hal, meskipun pada kenyataannya prestasi Winda adalah hal yang tidak mudah dicapai oleh orang lain. Winda selalu menurut dan melakukan apa yang ibunya minta. la bersabar dan menerima semua tekanan yang diberikan oleh ibunya. Ayahnya sendiri tidak banyak membantu dan menenggelamkan dirinya dalam pekerjaan, menyerahkan Winda ke dalam tangan Susi. Tumbuh besar dengan semua tekanan dan figur ayah yang tidak banyak dalam hidupnya membual Winda perlahan­lahan berubah menjadi semakin tidak ekspresif. la menjadi lebih sering menyembunyikan perasaan dan emosinya, dan hampir tidak pernah mengungkapkan keinginanya kepada siapa pun. Hanya tunduk pada perintah dan harapan ibunda tercintanya. Winda mencoba untuk fokus pada perbincangan yang mengisi acara makan malamnya. la lelah dan ingin cepat pulang ke apartemennya yang terasa nyaman ketimbang harus meladeni kedua tamu mereka. Tidak ada yang lebih membahagiakannya ketika akhirnya makan malam itu berakhir dan Hendrik beserta rekannya Mario pulang. "Tidak bisakah kau lebih ramah, Winda?" tanya Susi ketika kedua tamu mereka sudah masuk ke dalam kendaraan mereka dan melaju jauh. Winda menghela napasnya. Drama pun dimulai. "Aku sudah ramah, Ibu," jawa b Winda. "Well, tidak cukup ramah bagiku, Winda," ketus Susi. "Dengan begitu banyaknya murid yang kau miliki, kupikir satu-satunya keuntungan yang bisa kau dapatkan dari mengajar adalah kemampuan bersosialisasi yang baik, namun sepertinya tidak.” Winda berusaha untuk tetap diam menerima sindiran Susi yang selalu datang ketika mereka hanya berdua. Sindiran dan cibira n Susi sudah merupakan hal yang sering diterimanya namun hari ini Winda membutuhkan kesabaran ekstra dalam menghadapi tingkahnya. “Aku akan pulang sekarang, lbu”               ucap Winda. "Aku belum selesai berbicara, Winda." Susi berjalan cepat menghadang Winda. "Kau tahu bahwa aku dan ayahmu sedang melakukan penelitian besar, bukan? Mario dan Hendrik adalah salah satu calon investomya." "Aku menolak. Apa pun yang akan kau minta aku lakukan, aku menolak." Winda berkata tegas tanpa mau mendengarkan penjelasan Susi mengenai penelitian mereka. "Sejak kapan aku meminta kesediaanmu, Winda?" Winda mengepalkan kedua tangannya. “Aku akan mengatur janji sarapan dengan Mario dan Hendrik. Kau tunggulah kabar dariku ." Never! jawab Winda dalam hatinya. la sudah tidak berselera untuk meladeni Susi karena dirinya tahu bahwa tidak ada ucapan darinya yang akan dimengerti oleh wanita itu. Melenggangkan kakinya, Winda menerima kunci mobilnya dari seorang pelayan pria dan pergi dari sana secepat mungkin, ia sama sekali tidak mau mendengarkan ocehan Susi di belakangnya. Whatever.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD