DUA

1581 Words
"Orang-orang menganggap pertemuan adalah kisah yang manis, tapi aku tidak setuju, sebab pertemuanku denganmu tidak demikian." — Paizal Anwar *** Sepertinya semesta tidak memihak Lia kali ini, hidup dalam dunia yang kejam memang kadang tidak sesuai harapan. Sudah sejak semalam Maria mengingatkan untuk cepat-cepat tidur agar tidak kesiangan, gadis itu tetap saja terlambat sebab benar saja apa kata Ibunya, Lia tertidur seperti beruang hibernasi. Gadis itu belingsatan, rusuh memakai pakaian, bahkan hanya sempat memakan satu potong roti yang tersaji, kemudian lanjut memakai sepatu dengan buru-buru sampai ia sadar ketika menatap ke dalam rumah kalau sekarang sudah pukul tujuh lebih delapan. "Lia berangkat!" pekiknya tergesa dengan menyalami tangan Ibunya. "Hati-hati!" sahut Maria dengan keras-keras karena anaknya lari terbirit-b***t. "Iya!!" Lia bergegas menunggu angkot, berlari sekitar seratus meter dari rumah cukup membuat tubuhnya berkeringat. Tak lama, sebuah angkot tiba dan berhenti di depannya. Gadis itu langsung masuk, dan duduk tepat di belakang kursi sopir. "Kenape, Neng? Telat?" tanya sopir angkot yang kental dengan logat betawi. "I-iya, Mang." Untung saja angkot yang ditumpangi Lia tidak terlalu penuh, mungkin karena anak-anak yang bersekolah sudah berangkat sedari tadi. Di dalam angkot hanya ada tiga penumpang, satu tante-tante berbibir merah, kedua nenek-nenek berbulu mata cetar dan ketiga Lia yang terus dipandangi sinis oleh nenek-nenek cetar tadi. Lia berusaha tidak memedulikan meskipun risi tak dapat dihindarkan. Beberapa menit berlalu. Angkot kini sudah berada di depan gerbang sekolah Lia. "Kiri, Mang!" ujarnya mengetuk atap angkot. "Sekolah di sini, Neng?" tanya sopir angkot dengan menghentikan laju kendaraannya. "Iya. Kenapa?" jawab Lia sembari membayar ongkos. Tidak tahu juga kenapa ia harus bertanya. "Hati-hati! Gurunye sadis." Sopir angkot sedikit berbisik. "Amang alumni sini? Kok tau?" Supir angkot itu menelan ludah. "Udeh sarjana abang di sini, Neng." Lia terdiam dan hanya tersenyum ragu kemudian berlari sekencang mungkin menuju gerbang sekolah yang hampir akan ditutup oleh satpam yang menjaganya. Di hari pertamanya pindah ke sekolah baru, Lia justru mendapat malapetaka yang sangat dia takutkan sejak dulu. TELAT. "Ayo, ayo!! Gerbang mau ditutup!" pekik Pak satpam. "Tunggu, Pak!" seru Lia menahan gerbang yang akan ditutup dengan napas terangah-engah. "Kamu ini! Cantik-cantik, tapi telat!" "Orang cantik juga manusia, Pak." "Eh! Malah ngelawan! Sudah cepat masuk!" Kedua mata satpam itu hampir copot karena terlalu melotot. "Aya-aya wae!" rutuknya yang kental dengan logat sunda (Ada-ada saja). Lia tak menyahut apa-apa, dia hanya menatap kesal wajah Pak satpam yang di seragamnya terjahit nama Sucipto. Bisa dipastikan, Sucipto bukanlah satpam yang bisa diajak kompromi. "Aduh! Gawat," lirih Lia. "Ini udah telat lima menit lagi ...." Gadis berambut kucir kuda itu berlari memasuki lorong, dia melihat beberapa siswa yang berkumpul di lapangan utama dan anehnya bukan melaksanakan upacara, mereka justru mendapat hukuman dari salah seorang guru semok yang tengah berdiri di hadapan mereka. Wajar saja jika siswa tidak melaksanakan upacara, karena cuaca Bandung yang kurang mendukung, gerimis pagi yang turun mulai menderas di SMA Harapan Bangsa, hingga upacara tidak mungkin untuk dilaksanakan. "Kamu!" tiba-tiba guru semok itu menunjuk Lia. Sempat beberapa detik Talia menatap ke belakang, tapi tidak ada orang lain selain dirinya. "Saya?" menunjuk dirinya sendiri. "Iya!" teriak guru tadi sampai membuat beberapa siswa di sana terkekeh sebab melihat perubahan ekspresi Lia yang kikuk. Lama kelaman guru itu sangat mengerikan. Dengan berat hati Lia berjalan mendekat, dengan harapan tidak mendapat hukuman, meskipun telatnya tidaklah sebentar. "Kenapa, ya, Bu?" tanya Lia polos. "Kenapa, kenapa! Baris!" Gadis itu memejam beberapa saat. Yang benar saja, baru pertama masuk sudah harus baris di lapangan yang gerimis. Mana semuanya anak laki-laki dan semuanya tampak nakal, dan herannya terus saja memperhatikan Lia. "Tangan kamu di pinggang!" titah guru semok itu lagi. Lia hanya bisa menurut. "Dan buat yang cowok di belakang kepala!" "Iya, Bu!" jawab kompak semuanya kecuali Lia. Gadis itu kebingungan, dan saat matanya tak sengaja menoleh ke arah lain, ada salah satu anak laki-laki yang tersenyum padanya. Secepat mungkin Lia mengalihkan dan fokus pada perintah Bu semok lagi. "Skot jump lima puluh kali! Dimulai dari sekarang!" "Satu ... dua ... tiga ...." Baru juga beberapa kali, tapi ternyata melelahkan juga. Ditambah seragam yang sudah mulai terlihat basah. "Yang bener!" pekik guru galak itu sampai membuat siapa pun yang mendengarnya ingin segera pergi. "Eh! Kamu! Kenapa lihatin dia terus?!" Semuanya berhenti kala pekikan itu bergelora, ternyata cowok tadi terus saja memperhatikan Lia. Semakin menakutkan saja, apa siswa laki-laki di sini semuanya berotak m***m? Mengerikan sekali, pikirnya. "Maaf, Bu," jawab cowok tinggi dengan pandangan teduh dan kulit bersih itu tanpa putus memandang Lia. "Kamu! Kamu cepat kembali ke kelas!" titah Bu semok menunjuk Lia. "Di sini juga cuma bikin kacau!" Keadaan beruntung seperti inilah yang selalu Lia syukuri. Lagipula tak ada juga yang mau dihukum seperti ini, memalukan saja. Tapi perihal cowok itu, Lia penasaran. Kenapa tatapannya berbeda dari cowok lainnya? "Baik, Bu." Lia mengulas senyum yang pastinya masih dengan rasa takut. Sampai akhirnya kembali ke koridor yang entah di mana letak kelasnya. Buk! "Maaf-maaf," ucap Lia, cemas. Gadis itu menabrak seorang guru pria dengan rambut klimis yang terlihat masih muda dan baru saja keluar dari dalam sebuah ruangan. Di bajunya terdapat name-tag dengan nama, Hilman. "Gak apa-apa. Kamu siswi baru, ya?" tanya Pak Hilman memastikan. "Iya, Pak," jawab Lia terbata, rasa tidak enak masih menyertainya. "Kelas berapa?" "XI IPS-2, Pak." "Kebetulan, saya juga mau ke sana. Mau bareng?" "Boleh ...," jawab Lia mengangguk sopan. Terlihat dari koridor tempat Lia berjalan, guru galak itu masih saja memarahi beberapa siswa laki-laki yang ada di hadapannya dengan perkataan yang terdengar menusuk telinga. Benar apa kata sopir angkot, gurunya s***s-s***s. "Pak, itu siapa?" Lia menunjuk guru galak di tengah lapangan. "Itu Bu Popi, biasanya dipanggil Bu Ovi kalau sama siswa di sini. Kenapa? Galak, ya?" Lia hanya terkekeh bingung. Mau menyangkal juga percuma, perkataan Pak Hilman memang benar. "Makanya, kalo kamu gak mau berhadapan sama Bu Ovi, kamu jangan buat masalah," tuturnya dengan sudut bibir yang terangkat. "Sudah, ayo cepat masuk!" ajaknya dengan memasuki salah satu kelas. Lia mengangguk. "Iya, Pak." Di dalam kelas, Hilman menyapa para siswa selayaknya guru pada muridnya. Sepertinya warga kelas sudah akrab dengannya, sampai-sampai semua siswa mengulas senyum saat pria itu masuk. "Pagi anak-anak." "Pagi, Pak," jawab semuanya serentak. "Kita kedatangan teman baru hari ini." Hilman tersenyum simpul. "Ayo, kenalkan diri kamu." Baru akan memperkenalkan diri saja Lia sudah disambut oleh kumpulan pasang mata yang memandangnya beragam. Bukan apa-apa, pandangan yang mereka layangkan terlihat aneh. Ada yang memandang dengan senyum, bahkan ada yang menatapnya sinis. "Hai semua. Nama aku Talia Meriana. Kalian bisa manggil aku Tata," tuturnya di depan kelas. "Semoga kita bisa menjadi teman yang baik." "Hai Tata!!!" sahut semua siswa. "Geulis euy!" cetus seorang pria bernama Jono memuji Lia dari kursi belakang. (Geulis = cantik) "Biasa aja kali, cantikan juga gue ke mana-mana," timpal gadis berambut hitam kecokelatan dari kursi depan yang sombongnya setengah mampus. "Talia, silakan duduk," ucap Pak Hilman mencoba menengahi suasana yang sudah terasa keruh. Lia menganggukan kepalanya pelan. Kemudian berjalan menuju kursi kosong yang berdekatan dengan Jono. Saat Lia berjalan, gadis angkuh tadi mentap Lia dengan sorot siap menerkam. Duk! "Aw!" Tiba-tiba saja Lia menjerit dengan tubuh tersungkur di lantai dan bahu menggeser salah satu meja. Tampaknya gadis tak berperasaan itu dengan sengaja menyandung kaki Lia hingga terjatuh. "Maksud lo apaan?" Lia mencoba berdiri dengan meredam amarah. Lia memang wanita baik, tetapi dia tidak akan tinggal diam jika seseorang telah melakukan tindakan merugikan padanya, apalagi jika dipermalukan di depan kelas seperti ini. Talia tidak bisa diremehkan. "Berani, ya, lo!" bentak Naumi sangat kencang tepat di depan wajah Lia yang tersulut amarah. Plak! "Kenapa harus takut?!" Lia menampar Naumi dengan keras, hingga membuat gadis itu merasakan sakit menjalar di pipinya. Mungkin apa yang dilakukan Lia terlalu anarkis, bahkan ia sendiri bingung kenapa tangannya bisa serefleks itu. "Kurang ajar!" sergah Naumi tanpa aba-aba menjambak rambut Lia kuat-kuat. Jeritan antara Lia dan Naumi membuat suasana kelas menjadi begitu kacau, sehingga membuat proses belajar tak berjalan dengan baik. Awalnya Hilman yang sedang memeriksa absen mengira itu adalah kesalahpahaman yang sedang diluruskan, tapi ternyata perkelahian yang mengundang keributan. "Cukup!" bentak Pak Hilman. "Lia, Naumi, kalian ikut Bapak. Sekarang!" Naumi memandang Lia penuh benci. "Dasar! Traublemaker!" gerutunya sembari menghela napas dan mencoba merapikan kembali rambutnya. Pak Hilman, Lia dan Naumi berjalan menuju BK. Sebelum sampai di sana, Lia sempat berpapasan dengan seorang cowok yang terus melihatnya ketika dihukum tadi di lapangan. Wajah cowok itu penuh dengan cucuran air gerimis dan keringat, tapi dia masih terlihat cool, matanya melirik wajah Lia. Lagi. "Telat lagi kamu?" tanya Pak Hilman. "Iya, Pak." "Cepat masuk kelas!" "Baik, Pak." *** Di ruangan BK, Bu Popi sudah sangat murka kepada dua siswa yang bisa-bisanya bertengkar sampai masuk ke dalam ruangannya. Kenapa juga Pak Hilman harus membawa kedua siswi itu masuk ke dalam sini? Apalagi untuk Lia, pasti akan sangat rumit. Brak! Bunyi sebuah meja yang digebrak Bu Popi dengan tangan penuh tenaga dan kening yang mengkerut kesal. "Kamu yang tadi ikut dihukum, kan?" bentak Bu Ovi dengan ganas menunjuk wajah Lia. "Nama kamu siapa?" "Talia, Bu." "Kamu murid baru di sekolah ini?" tanyanya. "Jawab!!" Bu Popy menggebrak mejanya lagi. Lia begitu terkejut saat mendengar bentakan itu. "Iya, Bu." Di sisi lain, Naumi hanya terkekeh puas. "Kamu juga Naumi! Kenapa kamu bisa masuk ruangan saya?" "Maaf, Bu. Tapi tadi Lia nampar saya." Naumi meringis, memasang tampang terluka. "Benar begitu Lia?" "I-iya, Bu. Tapi—" "Diam! Ibu tidak menerima alasan kamu! Sekarang juga kamu lari keliling lapangan sepuluh kali sambil teriak 'saya menyesal' sekarang!" seru Bu Ovi dengan menyepelekan. "Dan kamu Naumi, kamu kembali ke kelas." "Lho? Kok gitu? Naumi juga salah, Bu! Dia duluan yang—" "Talia stop!! Mau saya tambahin hukumannya?! Ngejawab aja! Cepat sana!" bentak Bu Ovi, untuk kesekian kalinya. "Baik, Bu," jawab Naumi yang tampak kegirangan. Lia berjalan meninggalkan ruangan BK dengan langkah menyimpan kesal diikuti Naumi dari belakang. Bagaimana bisa, Naumi yang memulai masalah tapi justru Lia yang harus menjalani hukumannya. "Lari sana! Kalo perlu gak usah sekolah di sini lagi!" cobir Naumi di depan ruangan BK dengan alis terangkat sebelah. "Dasar bar-bar." "Mau gue sekolah di mana pun, itu bukan urusan lo!" jawab Lia penuh penekanan kemudian pergi meninggalkan. ~ Talia Meriana ~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD