Bab 3

1904 Words
    Hari ini aku benar-benar sangat bahagia. Akhirnya ospek telah usai. Penderitaanku telah berakhir. Selamat datang hidup bebas tanpa senior galak dan sok macam Aric!     Seumur-umur, aku baru melihat orang setega Aric. Bayangkan, dari beratus-ratus anak, hanya aku seorang yang dijadikan target. Bukan hanya menyuruhku untuk membuat surat cinta dan mempermalukanku di depan umum saja, ia juga menyuruhku mencari tanda tangan para anggota BEM. Ya mana aku tahu siapa-siapa saja anggotanya. Alhasil, aku kena hukum lagi olehnya. Ia menyuruhku menyanyi dan menari seperti orang gila di hadapan banyak orang. Menyebalkan bukan.     Tapi syukurlah, ospek telah berlalu. Aku tidak lagi harus bertemu dengan Aric dan menjadi bahan siksaannya lagi. Aku benar-benar tidak akan kuat jika harus melakukan harus melalui ospek satu hari lagi. Fisik dan mentalku sangat capek.     “Winni,” panggilku ketika mendapati Winni tengah berjalan di depanku. Ia berhenti dan menoleh ke arahku.     “Gue kira gara-gara ospek kemarin lo bakalan absen buat datang lagi ke kampus,” ledeknya yang membuatku memutar bola mata bosan.     "Ya nggak sampai bolos juga kali," balasku.     Winni terkekeh. "Kan kali aja," katanya.      “Gue bersyukur banget ospek udah kelar. Gue nggak perlu lagi lihat tampang ngeselinnya Aric dan ocehannya yang bikin telinga gue sakit," ucapku kembali merasakan rasa kesal yang disebabkan oleh Aric selama masa ospek.     Winni tertawa. “Hati-hati Lul, kita satu kampus dengan Aric. Kemungkinan besar lo bakal ketemu dia lagi,” ucapnya di sela tawanya.     “Kalau ketemu emang dia mau ngapain? Mau ngehukum lagi? Ospek kan udah kelar. Nggak ada alasan lagi buat dia ngehukum gue kayak kemarin,” kataku dengan santai.     “Eh, siapa tahu ya, nanti kalau ketemu lo, dia malah minta maaf,” ucap Winni yang membuatku tergelak.     Mana mungkin orang macam Aric minta maaf. Dilihat dari kelakuannya yang sok bos juga semua orang sudah tahu bahwa gengsinya dia tinggi banget. Tidak mungkin dia minta maaf. Lagian merasa bersalah juga aku rasa tidak.     “Sebelum dia minta maaf, bakalan gue maki-maki duluan dia!” kataku kesal yang membuat Winni tertawa.     “Dendam banget kayaknya,” ledeknya.     "Banget lah, Win!" kataku.     Memang dendam. Dia sudah membentak-bentakku di depan umum, menyuruhku untuk bernyanyi dan berjoget, menghukumku ini dan itu. Dia sudah membuatku malu setengah mati. Aku hampir tidak ada muka lagi untuk bertemu dengan orang-orang hanya karena hukuman yang kuterima kemarin.     “Lul, itu Aric jalan ke sini.” Winni menatap arah belakangku yang membuatku ikut menoleh. Dan benar, kini kulihat sosok Aric tengah berjalan menuju ke araku. Aric berjalan seperti dia lah pemilik lorong kelas ini. Wajahnya datar dan tatapannya terlihat mengintimidasi. Dia tak mempedulikan sekitarnya. Bahkan dia tak segan-segan mendorong kasar siapa pun yang menghalangi jalannya.     Aric masih saja menakutkan.     “Umpetin gue!” kataku panik kepada Winni.     “Dih, kenapa jadi panik lo? Katanya mau maki-maki dia.” Winni puas menertawaiku. Aku sendiri sudah kebingungan harus sembunyi di mana. Melihat Aric berjalan bak preman membuat nyaliku tiba-tiba ciut.     Kini Aric sudah semakin mendekati posisiku berdiri. Aku semakin panik. Alhasil, aku hanya menunduk dan berbalik menatap tembok. Aku hanya bisa berharap semoga saja Aric tidak melihatku.     Kudengar Winni masih tergelak melihatku panik sendiri. Andai Winni merasakan sensasi ngeri yang kurasakan, aku jamin dia tak akan berani lagi tertawa.     Takut-takut aku melirik ke arah kananku, di mana Aric berada. Ia semakin mendekat ke arahku. Dan ketika ia melewatiku, kulihat ia menoleh ke arahku. Ia memandangku tanpa minat. Setelahnya, ia kembali memandang ke arah depan dan melanjutkan perjalanannya.     Aku mengembuskan napas lega. Aku selamat.     “Sepertinya Aric udah nggak minat buat bully lo,” ucap Winni menatap ke arah punggung Aric yang semakin menjauh.     Aku mengangguk setuju.     Winni tersenyum lebar dan merangkul pundakku. Kami melanjutkan perjalanan menuju kelas. “Eh, cowok yang kemarin mau lo kasih surat cinta itu siapa?” tanya Winni tiba-tiba dengan tampang penasaran.     Seketika aku mengingat sosok cowok berkacamata, bergigi tonggos dan bertampang tua. Cowok yang seharusnya kuberi surat cinta. “Entahlah, gue juga nggak kenal. Kerjaannya Aric tuh, nyuruh nyamperin orang itu buat ngasih surat cinta,” kataku kembali merasa kesal karena perbuatan Aric yang semena-mena itu.     “Tapi cakep gitu Lul, lumayan tau,” balas Winni semangat.     Cakep? Cakep dari mana?     Oh, jangan-jangan yang dimaksud Winni itu si Azel. Membayangkan wajah Azel kontan membuatku tersenyum kecil. Aku masih tak percaya bahwa aku benar-benar bertemu dengannya kemarin. Tapi karena dandananku yang seperti orang gila, sepertinya Azel tidak mengingatku. Oke, tidak masalah, aku masih bisa bertemu dengannya lagi nanti. Dan kali ini pasti dia mengingatku.     “Yee, malah senyam-senyum sendiri,” ucap Winni seraya menyenggol bahuku.     “Udah ah, ayo ke kelas.” Aku mengaitkan tanganku ke lengan Winni dan menyeretnya untuk pergi menuju kelas kami. ***     Baiklah, sekarang aku tahu bahwa Azel benar-benar kuliah di sini. Dan aku pun sudah bertemu dengannya. Sekarang aku tinggal mencarinya lagi dan memperkenalkan diri sebagai Lula. Dia pasti akan mengingatku. Ya pasti. Tidak mungkin tidak.      Beberapa bulan yang lalu, akhirnya aku berhasil mengetahui keberadaan Azel dari media sosial. Aku pun sudah mencoba menghubunginya lewat sss dan **. Tapi kurasa Azel bukanlah penggila media sosial. Karena kedua media sosial miliknya itu seperti sudah lama tak digunakan.     “Lula digoyang,” teriak seseorang dari arah belakangku. Aku menoleh ke belakang dan kudapati segerombol cowok tengah menggoyangkan pinggulnya dan tertawa seolah mengejekku. Setelah itu, mereka berbondong-bondong pergi dengan suara tawa yang masih dapat kudengar.      Ya, sejak ospek kemarin, tak sedikit anak menggodaku dengan goyangan atau ledekan seputar lagu-lagu dangdut. Ini karena hukuman menyanyi dan menari yang Aric berikan kepadaku kemarin. Dan sekarang, aku jadi badut kampus bahan ketawaan anak-anak. Sungguh menyebalkan bukan? Dan bukan hanya menyebalkan saja, tapi juga memalukan.      Kurasakan ponsel di genggamanku bergetar yang menandakan ada pesan masuk. Segera kubuka pesan itu.     Gue udah di lapangan tempat expo. Ke sini, Lul. Gue tunggu.     -Winni-     Ternyata Winni yang sedari tadi kucari sudah berada di tempat expo. Sebaiknya aku segera ke sana.     “Aku memang salah, seratus persen salah. Aku memang salah, seratus persen salah.”     Aku menoleh ke arah kananku, di mana suara tersebut berasal. Kini kulihat tiga orang cowok tengah menyanyikan lagu dangdut yang kemarin sempat kunyanyikan di acara ospek.     “Lula, nyanyi lagi dong, Lul,” ucap salah satu cowok yang tadi menyanyikan lagu dangdut berjudul Seratus Persen Salah. Dua temannya kini sudah tertawa karena ucapan cowok tadi.     “Lo bertiga berisik tau nggak!” kataku kesal yang malah membuat mereka bertiga tergelak.     “Oh, seram ...,” balas cowok berjambul yang tadi berucap kepadaku.     Aku melotot kesal yang membuat tawa mereka tambah keras. Apa tampang kesalku ini lucu? Kenapa malah tertawa sih?     “Anjir, ada Aric, ayo kabur.” Salah satu cowok itu menunjuk arah belakangku. Dan seketika ketiga cowok tadi sudah lari tunggang langgang meninggalkanku dengan wajah ketakutan. Mereka lari karena melihat Aric?     Aku menoleh ke arah belakangku dan benar kulihat Aric tengah berjalan ke arahku. Tampangnya masih sama, datar dan menakutkan. Sepertinya dia sedang marah. Mungkin sebaiknya aku juga pergi. Kali aja dia sedang mencari mangsa. Dan aku kapok menjadi santapannya. Jangan sampai aku mengalami nasib sial lagi.     “Eh, lo!” teriak seseorang dari arah belakangku. Seketika aku berhenti berjalan dan mematung. Aku kenal suara itu. Itu adalah suara Aric.     Tiba-tiba jantungku berdegup sangat kencang. Kira-kira Aric memanggil siapa? Apa sebaiknya aku lari saja? Tapi jika memang Aric memanggilku dan aku kabur begitu saja, aku yakin jika lain kali aku bertemu dengannya lagi, aku akan langsung mati di tangannya. Astaga, kenapa keberadaan Aric di kampus ini begitu mengganggu dan meresahkanku, sih?     Kurasakan seseorang menyenggol bahuku yang membuatku sedikit limbung. Orang tersebut menoleh ke arahku dan memandangku datar. Setelahnya ia melewatiku dan berhenti tepat di hadapanku, memunggungiku. Dia Aric.     “Tiga manusia tadi mana?” tanya Aric kepada orang di hadapannya. Diam-diam aku mengembuskan napas lega karena ternyata orang yang dipanggil Aric bukanlah aku, melainkan cewek berambut lurus sebahu yang tadi berdiri di hadapanku.     “Lari ke sana,” kata Cewek tersebut menunjuk arah kantin yang berada di belakangnya.     Kudengar Aric mendengus kesal, kemudian ia pergi meninggalkan tempat ini begitu saja.     Aku menatap cewek yang tadi diajak bicara oleh Aric. Cewek itu balik menatapku dengan senyum menenangkan. “Lo aman," ucapnya seolah tahu ketegangan yang kurasakan.     Aku hanya tersenyum kaku mendengar perkataannya. Aku tak tahu jika ekspresi takutku begitu kentara.     “Ngomong-ngomong, gue Fanda,” katanya memperkenalkan diri. Tangannya terulur ke arahku yang langsung kujabat.     “Gue Lula,” balasku.     “Gue tahu. Lo korban kejahilan Aric tahun ini,” katanya tersenyum ringan.     Aku meringis dan mengangguk-anggukkan kepala. “Benar,” ucapku.     Fanda menunjuk dirinya sendiri. “Gue tahun lalu,” ucapnya lagi.     Aku membelalakkan mata tak percaya. “Lo juga dikerjain Aric habis-habisan?” tanyaku cukup kaget.     Fanda terkekeh dan mengangguk. “Ya, ospek tahun lalu gue hampir dihabisi sama Aric," katanya.      Aku menghela napas dengan lelah. “Kita manusia-manusia kurang beruntung ternyata,” kataku.     Kali ini Fanda tertawa. Lalu ia melirik jam yang bertengger di pergelangan tangannya. “Kayaknya gue harus duluan, deh. Ada kelas.”     “Oh, oke.”     “Bye.” Fanda melambai dan berjalan meninggalkanku untuk menuju gedung bertingkar yang berada di belakangku.     Kemudian aku melanjutkan perjalananku menuju tempat expo di mana Winni berada. Hari ini di lapangan kampus sedang diadakan expo pengenalan UKM—Unit Kegiatan Mahasiswa—semacam ekskul bagi anak sekolah.     Sebenarnya aku tak begitu berminat untuk mengikuti salah satu UKM. Aku bukanlah orang yang aktif berorganisasi. Aku adalah satu di antara mereka yang lebih memilih menghabiskan waktu untuk tidur atau main daripada berkutik dengan segala kegiatan kampus atau sekolah.     Suasana lapangan kali ini sangat ramai. Banyak stand berdiri dan mempromosikan UKM yang mereka ikuti. Ada Kias, Debat, Taekwondo, Teater dan masih banyak lagi. Benar-benar tak ada yang menarik perhatianku.     Aku masih berjalan menyusuri jalanan yang dipenuhi mahasiswa baru yang sedang melihat-lihat berbagai stand. Apa tak ada stand makanan atau minuman? Benar-benar membosankan. Dan ngomong-ngomong, Winni ada di mana?     Mataku menyisir tempat ini mencari keberadaan Winni. Namun bukan Winni yang kutemukan, melainkan cowok yang selama ini kucari, Azel. Ya aku melihat Azel tengah berdiri di samping stand UKM Sinematografi.     Dengan senyum mengembang aku berjalan ke arah Azel berada. Mungkin Azel mengikuti UKM tersebut. Jika iya, aku tak keberatan untuk ikut kegiatan itu. Demi Azel.     “Hai Zel,” sapaku ketika aku sudah berada di depan Azel. Jantungku kini berdegup lebih cepat. Rasanya sangat bersemangat sekaligus gugup ketika berhadapan dengan Azel.     Azel melihat ke arahku dan menampakkan ekspresi kaget. Namun setelahnya, ekpresi tersebut berubah menjadi bingung. Apa Azel masih tidak mengingatku?     “Ingat gue, nggak?” tanyaku hati-hati.     Azel masih memandangku dan kali ini ia mengernyitkan dahi. “Ingat,” jawabnya singkat dan terkesan tidak yakin.     “Serius lo ingat gue?” tanyaku lagi untuk memastikan.     “Iya gue ingat. Meskipun penampilan lo udah berbeda, tapi gue masih ingat.” Azel kini tersenyum hangat.     “Gue—”     “Lo cewek ospek yang salah ngasih surat ke gue kan?” potongnya yang membuatku langsung terdiam. “Mau gabung di UKM sinematografi?” tanyanya seraya menyerahkan selembar formulir kepadaku. Ia tersenyum kecil ketika tanganku mengambil formulir tersebut.     “Ya, tentu,” jawabku dengan senyum yang kupaksakan.     “Isi formulirnya terus nanti kumpulin aja di sini,” ucap Azel menunjuk ke arah meja dengan dagunya. Setelahnya, ia sibuk sendiri dengan kamera yang ia pegang.     Sepertinya Azel benar-benar tidak mengingatku. Bagaimana bisa? Aku yakin, diriku tak banyak berubah. Aku masih kecil seperti dulu. Apa mungkin Azel memang tak pernah mengingatku? Jangan-jangan Azel bahkan tak pernah memikirkanku. Jika seperti itu, bagaimana dengan pencarianku?  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD