Bab 2

2432 Words
    Hari kedua ospek. Doakan aku.     Dengan malas aku memasuki lapangan yang sudah ramai. Tapi tenang, kali ini aku tidak terlambat. Mana berani aku terlambat lagi. Bisa-bisa aku tambah sengsara dikerjai oleh para senior. Terutama senior bernama Aric. Aku benar-benar kapok. Tidak lagi-lagi pokoknya.      “Lul, sini,” teriak Winni yang ternyata sudah duduk manis di pinggiran lapangan bersama anak-anak yang lain.     Kemudian aku menghampiri mereka dan ikut duduk di sana. Kali ini, tidak ada barisan seperti kemarin. Semua peserta ospek duduk manis di lapangan. Aku harap, hari ini tak semenyebalkan kemarin.     Kemarin, setelah mengetahui bahwa aku pingsan lagi, Aric langsung menggendongku. Dia menggendongku tanpa bersuara sama sekali yang membuatku tenang, tapi juga membuat perasaanku tidak enak. Rasanya sangat aneh.     Saat di gendongan Aric, aku merasa bahwa waktu berjalan sangat lambat. Rasanya lama sekali. Seperti saat kita menunggu jam pulang sekolah, kurang lima menit pun lamanya seperti dua hari. Sangat lama. Entah perasaanku saja atau memang Aric menggendongku keliling kampus pun aku tidak tahu. Yang aku tahu hanya memejamkan mata, jangan sampai terbuka. Karena aku merasa harus terus berpura-pura pingsan sampai Aric menurunkan tubuhku ke kasur klinik dan meninggalkanku di sana.      Sampai pada akhirnya, tubuhku merasakan empuknya kasur. Di saat itulah gendongan Aric berakhir. Aku bersyukur, aku sudah berada di klinik. Memang tak seharusnya aku meninggalkan tempat itu. Namun, aku merasa ada yang aneh pada tempat tersebut. Klinik terasa lebih berisik dari sebelumnya. Bahkan aku mendengar banyak orang berbicara mempertanyakan seseorang yang tadi habis digendong Aric—yang kurasa mereka membicarakan diriku. Aku pun mendengar suara tawa dari beberapa orang. Bahkan aku merasakan ada flash kamera mengenai wajahku. Dan kurasa memang ada yang salah.     Perlahan kubuka mataku, kutatap langit-langit yang terlihat sangat tinggi. Kini aku melihat sekelilingku yang penuh dengan orang-orang yang tengah memandangiku sambil tertawa. Di sekitar sini pun kulihat banyak perlengkapan olah raga seperti bola basket, raket, net, bahkan yang kutiduri bukah kasur—seperti dugaanku sebelumnya—melainkan matras. Akhirnya aku menyadari bahwa aku bukan berada di klinik melainkan di ruang olahraga—entah aula.     Itu adalah hal yang sangat memalukan. Aku tak akan pernah melupakan perasaan mengerikan itu.     Saat itu kulihat Aric hanya duduk di bangku yang berada di dekat matras dan tersenyum mengejek ke arahku. Tampangnya sangat menyebalkan. Andai aku punya keberanian, pasti sudah kulempar raket wajah wajah menyebalkannya itu. Karena bisa-bisanya dia tidak membawaku ke klinik melainkan ke tempat seperti itu.      “Yang bernama Lula harap maju ke depan!” teriak seseorang dari arah tengah lapangan. Segera aku menoleh ke arah tersebut dan mengernyit bingung.     “Lula mana, Lula? Maju ke depan!” teriakan kembali terdengar dari mulut seorang cewek yang kutahu bernama Pinka.     Kini tiba-tiba jantungku berdegup sangat cepat. Perasaanku mulai tidak enak. Apa Lula yang mereka maksud itu aku? Tapi kenapa namaku dipanggil? Aku ada salah apa? Sejauh yang kutahu, aku belum melakukan apa-apa hari ini. Masak aku sudah akan kena sial lagi?     “Lul, nama lo dipanggil,” bisik Winni di sebelahku. Aku mengangguk kaku menjawab ucapannya.     “Yang namanya Lula gue doang. ya?” bisikku balik.     “Kayaknya,” balas Winni memandangku prihatin. “Lul, maju deh, sebelum para senior tambah ngamuk.” Winni menyenggolku yang membuatku mengangguk pasrah.     Perlahan aku mulai berdiri dari posisiku duduk. Kini beberapa pasang mata tengah memandang ke arahku. Kulihat raut bingung dan penasaran di wajah mereka. Tanpa sengaja pandanganku mengarah pada sesosok cowok yang tengah berjalan santai ke arah lapangan. Oh tidak, itu Aric!     Dengan segera aku kembali duduk dan langsung menunduk. Aku tidak mau bertemu dengan Aric lagi. Bisa-bisa nasibku apes seperti kemarin.     “Ngapain lo duduk lagi? Pada dilihatin sama senior tuh, Lul,” bisik Winni terdengar bingung yang membuatku menoleh ke arahnya.     “Ada Aric, nanti gue dikerjain kayak kemarin. Nggak mau gue.” Mataku melirik ke arah Aric yang tengah berbincang dengan senior yang tadi memanggil namaku. Rasanya aku benar-benar ingin drop out dari kampus gara-gara ospek sialan ini.     “Malah duduk lagi, sini maju!” Teriakan tersebut membuatku terlonjak kaget. Kini aku menoleh ke arah kananku yang ternyata sudah ada si senior jutek, Pinka.     “I ... iya, Kak,” ucapku gugup. Ragu-ragu aku berdiri dari posisiku duduk. Mataku kini melirik ke arah Aric yang ternyata tengah memandang ke arahku dengan senyum mengejek. Ini pasti kerjaan Aric.     Pinka menggiringku untuk berjalan menuju tengah lapangan di mana para senior berada. Beberapa dari mereka terlihat tak peduli, beberapa lagi terlihat prihatin. Astaga, aku rasa hari ini aku akan sial kembali.     “Dengar semua,” ucap Aric dengan suara lantang kepada para peserta ospek yang lain. “Saya punya pengumuman penting untuk kelian semua. Mohon diperhatikan.”     Semua mulut yang tadi tengah berbicara kini mendadak bungkam. Perhatian mereka sepenuhnya mengarah kepada Aric seorang. Aku sendiri hanya bisa berdiri kaku di sebelah Pinka tanpa tahu mau diapakan. Sepertinya saat ini aku hanya bisa pasrah dan menerima nasib apa pun yang diberikan Tuhan kepadaku. Aku hanya bisa berdoa dan berharap nasib apa pun itu semoga tidak begitu merepotkan dan menyebalkan.      “Apa kalian tahu mengapa teman kalian berada di sini?” tanya Aric seraya menunjuk ke arahku. “Kalian ingatkan, kemarin dia pingsan di tengah lapangan?”     Mendengar ucapan Aric tersebut membuatku menunduk dalam. Mendadak aku jadi malu sendiri berpura-pura pingsan di tengah lapangan sepeti kemarin.. Kenapa Aric pendendam sekali, sih? Kenapa harus diungkit-ungkit masalah kepingsananku kemarin?     “Nah, berhubung kami adalah senior yang baik hati, kami akan memberi kado istimewa untuk teman kalian ini.” Mendengar ucapannya tersebut kontan membuatku menoleh ke arah Aric yang ternyata tengah tersenyum mengejek ke arahku.     Aric mau ngapain lagi? Mana mungkin aku dikasih kado! Yang benar saja!     “Bawa sini kado buat dia,” perintah Aric kepada dua orang yang berada di belakangnya. Kedua orang tersebut kemudian meninggalkan lapangan dan berjalan ke arah belakang.     “Wah, ada yang dapat kado, nih.” Pinka tersenyum ke arahku yang malah membuatku merinding. Asli, saat ini yang sangat kuinginkan adalah duduk manis bersama peserta ospek yang lain, bukan berdiri di tengah lapangan jadi bahan tontonan banyak orang seperti ini.      Tak lama kemudian, kedua orang yang tadi disuruh Aric kembali dengan membawa tandu. Tandu tersebut kemudian di letakkan tepat di hadapanku. Ada apa dengan tandu ini? Dan kenapa juga mereka membawa tandu ke sini?     “Nah, ini adalah tandu khusus buat Lula. Jadi, biar kalau dia pingsan lagi, kita nggak perlu repot-repot gendong dia,” ucap Aric kepada kami semua. “Kita tinggal letakkan tubuh Lula di atas tandu ini dan gotong tandunya bareng-bareng. Tentu, yang gotong kalian semua. Kalau dia sakit, harusnya kalian yang repot, bukan kami. Karena dia adalah teman kalian, mengerti!” teriak Aric yang membuatku semakin menunduk. “Lula, mau nyoba tandunya?” tanya Aric kepadaku.     “Nggak, Kak,” jawabku lirih.     “Yakin nggak mau nyobain dulu? Kali aja kurang nyaman. Nanti kami bisa carikan tandu yang lain kalau semisal tandunya kurang enak ditiduri,” ucapnya lagi penuh dengan sindiran.     “Enggak kok, Kak. Nggak akan pingsan lagi, janji.” Aku tersenyum kaku ke arah Aric yang membuatnya tersenyum miring.     "Bagus kalau begitu," katanya terdengar cukup puas dengan jawabanku. “Oke, kalau begitu kita lanjutkan hukuman kamu yang kemarin, ya?” Kini Aric sudah tersenyum lebar ke arahku yang mendadak membuatku merinding.     Tuh kan, mati aku! *** Hai, boleh kenalan? Aku Lula. Ah. Basi banget. Hai kamu yang tak kutahu siapa, aku menyukaimu. Sungguh aneh rasanya tatkala jantungku berdegup hebat ketika melihatmu. Rasanya seperti jatuh cinta. Tapi apa mungkin cinta dapat datang secepat ini? Entah cinta atau bukan, yang pasti, hanya melihatmu saja aku sudah senang. Aku suka memandangmu ketika tersenyum. Karena senyummu dapat membuatku ikut tersenyum. Dan rasanya menyenangkan. Aku benar-benar menyukainya. Aku menyukaimu karena senyummu yang manis. Juga karena kamu membutku bahagia. Dan karena membuat jantungku menggila. Bahkan membuatku selalu terbayang. Mungkin karena semua itu aku menyukaimu, atau mungkin karena hal-hal yang lain. Yang kutahu, aku menyukaimu.     Baiklah. Begini sudah cukup, kurasa.     Segera aku melipat kertas bertulisan kalimat tersebut dan memasukannya ke dalam amplop berwarna merah muda. Kemudian aku berdiri dan berjalan ke arah Aric berada.     “Ini,” ucapku seraya menyerahkan amplop berisikan surat pengakuan cinta tersebut kepadanya.      “Siapa yang nyuruh buat ngasih ke gue?” tanyanya dengan nada dingin.     “Kakak kan yang nyuruh buat surat cinta ini,” jawabku bingung sendiri. Rasanya sangat menggelikan memanggilnya 'kakak'.     “Iya, gue nyuruh buat, tapi gue nggak bilang kalau itu buat gue!” katanya galak.     “Terus?” tanyaku tambah bingung.     Kalau bukan buat dia lalu buat siapa? Yang kutahu, Aric menyuruhku untuk menuliskan surat cinta sebagai hukuman. Aku kira ini untuknya. Bahkan aku berpikir orang macam apa yang minta dibuatin surat cinta? Kan gila.     “Buat dia,” ucap Aric seraya menunjuk seorang cowok berkacamata tebal dan bergigi tonggos. Cowok yang ditunjuk Aric itu terlihat sangat culun. Bukan hanya culun, cowok itu juga terlihat jauh lebih tua dariku.     “Itu dosen?” tanyaku tidak percaya. Aric gila, masa menyuruhku memberikan surat cinta kepada seorang dosen!     “Dia mahasiswa. Mukanya aja yang tua kayak bapak-bapak.” Aric melipat tangannya di d**a dan memandangku datar.     Aku menatap Aric tak percaya. Kenapa aku harus memberikan surat cinta kepada cowok itu? Kenal saja tidak.     “Dengar semua,” ucap Aric kepada para peserta ospek yang lain. Aric kini berjalan menuju ke tengah lapangan. Kemudian ia memberiku isyarat untuk mengikutinya. Dengan pasrah aku mengekor di belakangnya.     “Kalian tahu, teman kalian ini sekarang sedang jatuh cinta,” kata Aric seraya menarik tanganku agar berdiri di sebelahnya. “Dan hari ini, dia akan memberikan surat cinta kepada pujaan hatinya. Kalian semua akan menjadi saksi pernyataan cintanya,”tambahnya dengan suara riang yang begitu menyebalkan.     Apa-apaan itu! Siapa yang sedang jatuh cinta? Aric gila!     “Sekarang, berikan surat cinta itu kepada pujaan hati lo,” ucap Aric kepadaku.     “Apaan pujaan hati. Nggak mau,” sahutku menggelengkan kepala. Aric memandangku dengan tatapan datarnya yang penuh intimidasi. Seketika sekujur badanku merinding tak jelas. Hawanya mendadak ngeri. “Iya, deh,” kataku kembali seraya mengangguk takut. Seketika Aric tersenyum puas dengan ucapanku.     Ya Tuhan, dari sekian banyaknya peserta ospek, kenapa harus aku yang menjadi korbannya Aric? Kenapa aku yang harus kena sial? Kenapa aku yang harus jadi tumbal?     “Berikan semangat untuk teman kalian,” ucap Pinka yang membuat semua orang bertepuk tangan dan bersorak menyemangatiku.     “Lula semangat!” teriak anak-anak yang lain beserta tepukan tangan yang sangat riuh.     Aku melirik ke arah Aric yang ikut bertepuk tangan dan memberiku semangat. Dasar cowok menyebalkan! Tak tahu belas kasih! Dasar pendendam! Tukang bully!     Ragu-ragu aku melirik ke arah cowok berkacamata, bergigi tonggos dan berwajah tua yang tadi ditunjuk Aric. Cowok itu tengah duduk di taman bersama beberapa orang mahasiswa yang sibuk memandang ke arah lapangan di mana para peserta ospek berada.     Apa yang harus aku lakukan? Masa aku harus memberikan surat tadi kepada cowok itu? Kenapa Aric tidak memberiku cowok yang agak mendingan sedikit, sih? Atau yang ganteng banget sekalian, deh. Kan siapa tahu kayak di cerita novel-novel yang endingnya bikin aku jadian sama si cowok ganteng. Tapi ini? Kalau tiba-tiba endingnya aku jadian sama cowok itu, bisa-bisa dikira aku pacaran sama Bapak sendiri.     “Ayo Lula semangat!” Aric menepuk punggungku dan melotot ke arahku seolah mengatakan untuk segera pergi ke sana dan memberikan surat cinta yang tadi kutulis kepada si cowok itu.     Aku hanya memandangnya, menampakkan wajah memelas. Berharap Aric mengurungkan niatnya untuk lebih mempermalukanku lagi.     “Cepat ke sana,” bisik Aric seraya mendorongku agar berjalan menuju ke arah si cowok itu. Wajah memelasku sepetinya tak berhasil. Kini sorakan semakin riuh terdengar ketika kakiku tak sengaja melangkah gara-gara terdorong oleh Aric.     “Lula! Lula! Lula!” Dan semua anak menyorakan namaku memberiku semangat.     Dengan pasrah aku berjalan ke arah cowok tadi berada. Kulihat segerombolan orang yang duduk di taman tersebut tengah berbisik-bisik dan memandangku bingung, tak terkecuali cowok itu.     Tanpa sengaja kuremas amplop yang kupegang karena saking gugupnya. Baru dua hari berada di kampus ini namaku sudah terkenal karena hal-hal memalukan seperti ini. Aku tak bisa membayangkan bagaimana perjalanan kuliahku setelah ini.     Kini aku hanya berjarak sekitar dua meter dari cowok itu. Kulihat dia tengah memandangku bingung seraya membenarkan posisi kacamatanya. Tanpa sengaja aku menoleh ke arah kananku, di mana ada beberapa mahasiswa yang tengah memotret diriku. Ya Tuhan, dandananku udah persis seperti orang gila kehilangan anak begini pakai difoto segala. Benar-benar aib!     Tiba-tiba pandanganku terfokus kepada seorang cowok yang tengah memegang kameranya dan memotret arah lapangan berada. Seketika aku berhenti melangkah. Jantungku kini berdegup kencang, sangat kencang. Rasanya aku tak percaya dengan apa yang aku lihat. Aku menemukannya. Itu Azel. Ya, aku sangat yakin itu Azel.     Perlahan aku berjalan menuju ke arah Azel berada. Semakin dekat jarakku dengan Azel, detakan jantungku semakin menggila. Aku tak pecaya aku menemukan Azel secepat ini.     “Hai,” sapaku ketika berada di sebelahnya. Ia yang masih sibuk memotret kontan menoleh ke arahku dan memandangku bingung.     Aku tersenyum lebar memandangnya. Rasanya lega, sangat lega. Akhirnya aku dapat bertemu dengan Azel setelah sekian lama berpisah.     Sosok Azel tampak berbeda dari terakhir kali aku melihatnya. Sekarang Azel terlihat sangat tampan sekaligus manis. Tubuhnya pun tampak tinggi dan tegap. Aku yakin banyak sekali cewek yang mengidolakannya. Secara, dia terlihat sangat keren. Jauh berbeda dari Azel kecil yang kukenal dulu.     “Iya?” tanyanya terdengar bingung.     Apa Azel tidak mengenaliku? Apa dia sudah tidak ingat kepadaku? Tidak mungkin Azel melupakanku begitu saja. Aku yakin dia mengingatku. Oh, ini pasti karena dandananku yang seperti orang gila makanya dia tidak mengenaliku. Iya, pasti karena itu.     Aku mengulurkan tanganku ke arahnya. Tanpa sadar tanganku yang memegang amploplah yang terulur. Kontan ia memandang ke arah amplopku dengan tatapan bertanya-tanya.     “Apa ini?” tanyanya seraya mengambil amplop tersebut dari tanganku.     Ya Tuhan, amplop itu bukan untuk Azel, tapi untuk cowok yang duduk di taman tadi. Astaga, mati aku di tangan Aric. Harusnya kan aku memberikan amplop itu kepada cowok tadi.     “Gue bukan nyuruh ngasih ke dia,” seru suara di belakangku. Kini kudapati Aric sudah berada di sampingku dan mengambil paksa surat yang dipegang Azel.     “Maaf, Zel. Kesalahan teknis,” ucap Aric kepada Azel seraya menepuk pundaknya.     “Oke,” jawab Azel singkat seraya tersenyum memaklumi.     “Maklum anak baru, beneran butuh diospek, nih,” sindir Aric seraya melirik ke arahku.     “Ya udah, lanjutin ospek lo. Gue ada kelas. Duluan ya.” Azel menepuk pundak Aric dan pamit dari hadapannya. Ia hanya melirikku tanpa berkata apa-apa. Bahkan ia tak tersenyum sama sekali.     Apa Azel benar-benar melupakanku? Bagaimana bisa?     “Dasar cewek, ngincernya yang ganteng dan tajir!” sindir Aric memandangku galak.     Aku memandang Aric sengit. Bisa-bisanya dia berkata seperti itu! Aric sudah merusak momen pertamaku bertemu dengan Azel! Aric menyebalkan!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD