Eps 3

1137 Words
Pukul 04.00pm Yuna mengerjapkan mata pelan, terasa sangat perih saat terbuka. Kembali merem dan memijat kepala, terasa sedikit berdenyut. Ya Tuhan, kuatkah aku menjalani kehidupan ini? Bisakah aku tetap hidup tanpa Bapak dan Ibuk? Batinnya dalam hati. Kembali setetes air menetes dari ujung mata. Rasa perih dihati masih saja terasa. Menekan d**a berkali-kali, berharap kepedihan itu segera memudar. Beranjak dari atas ranjang, merapikan rambut yang berantakan. Lalu berjalan, membuka gorden. Pemandangan pertama didepan mata adalah melihat lelaki tampan yang tidur ngrungkel diatas kursi lapuk samping pintu. Lelaki tampan bernama Pangeran, hidung mancung, kulit putih bersih, rambutnya sedikit panjang dan terlihat sangat maco dengan warna rambut sedikit coklat itu. Bibir bawah sedikit tebal, berwarna merah muda sedikit hitam, mungkin itulah efek rokok. Yuna menyungging, perasaan benci yang membuncah dalam d**a membuat Pangeran terlihat lebih mirip malaikat izroil. Pangeran yang datang dari dunia kegelapan yang berperan sebagai malaikat pencabut nyawa. Yuna berlalu ke belakang, membersihkan diri sejenak di kamar mandi sempit dan sudah berlumut, tapi airnya tetap bersih dan jernih. Usai mandi, Yuna merebus air diatas kompor yang hanya satu tunggu itu. Mengambil sebungkus mie instan kuah peninggalan ibuk. Cukup lima menit, semangkuk mie instan itu telah tersaji diatas meja. Aroma sedap dari kuah mie itu menggelitik hidung Pangeran. Merasa terusik, ia mengerjap pelan, mendengar suara gemercik air dari belakang. Pelan Pangeran melangkah, memeriksa suasana belakang rumah Yuna. Berdiri terpaku tepat ditengah pembatas ruang tamu dan dapur. Yuna tengah menangis dengan tangan yang sibuk mengaduk mie dalam mangkuk. Lalu mengusap kasar kedua pipinya. “Buk, biasanya satu mangkuk mie ini kita makan buat bertiga, dikasih telur satu sama daun bayam. Aku selalu minta paling banyak. Telurnya juga minta yang paling utuh.” Terdengar guguannya, mengusap ingus yang keluar. “Ini banyak banget Buk, tapi rasanya nggak enak. Lebih enak bikinan ibuk, makannya juga lebih enak buat bertiga. Hiks...hiks...hiks” menjatuhkan sendok yang sedari tadi ia mainkan didalam mangkuk. Lalu menutup wajah dengan kedua tangan. Menangis tergugu tanpa sadar jika suaminya sedang berdiri menyimak. Mendengar ocehan Yuna dan tangisan itu, hati Pangeran kembali luluh. Sifat dingin, keras kepala bahkan tak pernah mempedulikan orang lain mendadak hilang. Menghembuskan nafasnya kasar. Berjalan mendekati Yuna, lalu ikutan duduk disamping Yuna. Ngambil sendok didepannya. “Sekarang makannya sama gue ya,” ucapnya lembut. Yuna yang masih larut dalam tangis itu sedikit terkejut. Bahkan menjingkat saking kagetnya. Mengusap mata yang mengabur karna penuh oleh air mata. Ia menatap Pangeran yang sudah duduk disampingnya, mulutnya manyun karna sibuk meniup mie diatas sendok. Lalu memasukkan kedalam mulut. Menatap Yuna yang hanya diam memperhatikannya makan. “Ayo makan. Mumpung masih anget. Ntar nggak enak kalo udah dingin.” Tanpa menjawab, Yuna segera berdiri, berlalu meninggalkan lelaki jelmaan malaikat izroil itu. Pangeran menatap kepergian Yuna dengan rasa bersalahnya. Ia tau Yuna saat ini sangat membencinya, tapi mau gimana lagi, bahkan ia sudah terikat janji dengan orang mati. Yuna duduk termenung diteras depan. Matanya memang awas melihat jalan didepan rumah, tapi pikirannya masih pada kenangan masalalu saat bersama kedua orangtua. Kembali matanya mengembun, lalu menunduk. Menangis lagi. Ah, entahlah, dia beneran nggak bisa berhenti nangis. Ternyata Pangeran menyusulnya, berdiri di bibir pintu. Memperhatikan Yuna yang masih saja menangis. Bingung mau ngapain, biasanya kalo Intan lagi sedih, dikasih pelukan bakalan lebih tenang, atau diajakin nge mall gitu moodnya jadi balik bagus lagi. Nah, kalo yang ini, nggak mungkin juga kan dia akan memeluk Yuna. Makan bareng aja nggak mau, apalagi peluk. “Hey,” panggilnya lemah. Kembali Yuna menjingkat kaget, lalu menatap suaminya. “Eemm...lo mau main game? Gue habis download permainan baru lho. Atau lo mau permainan yang lain, kita bisa download lagi.” Mengeluarkan iphone bertipe yang harganya nggak bisa Yuna bayangin. Melengos tak lagi menatap Pangeran. “Aku nggak butuh itu.” Balasnya ketus. Pangeran kembali memasukkan ponsel kedalam saku celana. Mengacak rambutnya, bingung menghadapi wanita didepannya ini. Cukup lama mereka berdua hanya saling diam. “Maafin gue. Gue nggak sengaja lakuin itu. Maaf,” ungkapnya penuh penyesalan. Yuna tetap diam tak menanggapi. “Gue bakalan jagain elo kek bokap lo jagain elo. Gue janji, bakalan sayangi elo kek ibuk lo sayangi elo.” Yuna mengeratkan giginya. Mendengar ungkapan tanggung jawab Pangeran, hatinya malah terasa sangat sakit. Mendongak, menatap Pangeran yang masih berdiri dibelakangnya. “Aku nggak butuh apapun dari kamu! Aku Cuma butuh kedua orangtuaku kembali. Karna mereka adalah kebahagiaanku. Mereka yang aku butuhkan, bukan kamu!!” terlihat kebencian dari sorot mata Yuna. “Mereka udah meninggal. Nggak mungkin bisa gue bikin hidup lagi. Bedalah sama lilin, yang kalo mati bisa dihidupin lagi.” Jawab Pangeran santai. “Cckkk!” desis Yuna dengan sangat kesal. “Dasar, Izroil!” “Apa?!” Bukannya tak dengar, tapi dia tau Yuna sedang mengatainya. “Lo lagi puji gue?” Yuna mendekik, menatap Pangeran dengan tatapan aneh. Bukannya marah, tapi malah nyengir kesenengen. Beneran orang sinting! Selain Pangeran yang datang dari dunia gelap, dia juga gila! Yuna mengalihkan pandangan, mencebik dengan sangat malas. “Wong edyann!” umpatnya dengan kesal. “Eh, apalagi itu?” tetep aja Pangeran nyengenges, terlihat makin tampan dan menggemaskan. “Gendeng! Pekok! Sinting! Nggak genep!” suara Yuna makin meninggi, mengungkapkan semua kekesalannya. “Harusnya kamu yang mati! Bukan Bapak dan Ibukku! Apa gunanya kamu buat aku! Jelas-jelas aku nggak butuhin kamu! Kenapa Tuhan malah hadirin manusia jahat kek kamu! Aku benci sama kamu! Kamu pembunuh!” Sesaat terasa sangat plong didadanya, karna berhasil mengungkapkan unek-unek yang membuncah. Pangeran paham itu, sengaja membiarakan Yuna seperti itu. Tetap diam menatap gadis itu ngoceh menjelekkannya. Bahkan tau jika Yuna sama sekali tak menyukai kehadirannya dirumah ini. “Hiks....hiks...” Usai memaki, kembali bulir-bulir bening itu membasahi pipi. Yuna tergugu dengan kedua tangan yang menutupi wajahnya. Pangeran menyodorkan segelas air putih. “Nih, minum dulu. Lo beberapa hari ini nangis mulu. Harus di imbangi, banyakin minum. Kalo dikumpulin, udah pasti air mata lo satu tangki tuh, bisa dihidrasi kan. Kalo besok air mata nya kering gimana?” Tanpa menoleh, Yuna meraih gelas itu. Meminumnya hingga tandas. Ah, bahkan dari pagi dia nggak sempat untuk sekedar minum. Apalagi makan, waktunya hanya buat mikirin semua kenangan yang udah berlalu. Memang akan lebih baik jika dia pindah dari Jogja. Kembali menyerahkan gelas kosong ke Pangeran. “Wooaahh, ppcckk ppcckk ppcckk ternyata beneran kehausan ya.” Geleng-geleng kepala sambil menatap gelas kosong. Membawanya masuk kedalam. Kembali keluar dengan menenteng hoddie. “Jalan-jalan ke pinggir pantai, yuk,” ajaknya. Yuna diam tak bergeming. “Ogah!” jawabnya lirih. “Ya udah deh gue jalan sendiri aja.” Duduk dilantai, memakai sepatunya. “Moga aja ntar nggak nyasar, nggak ketemu pencopet, nggak ketemu penculik dan hafal jalan balik kesini.” Ngomong sendiri. Lalu berjalan keluar rumah sambil bersenandung lirih, sesekali melirik kearah Yuna. Sangat berharap gadis itu menyusul langkahnya. Yuna menatap punggung lelaki tampan jelmaan izroil itu dengan cukup khawatir. Gimana kalo dia beneran nyasar? Gimana kalo para pencopet dan orang-orang jahat deketin dia. Dari tampilannya, udah kelihatan jelas jika dia bocah kota yang banyak uang. Bisa di sandera dan diculik kaya’ di film-film itu. Yuna segera beranjak, mengunci pintu dan berlari mengejar Pangeran.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD