Eps 2

1065 Words
“Pangeran Eldesyon Erka!” “Saya.” “Saya nikah dan kawinkan anak saya yang bernama Ayuna binti Sarto dengan maskawin emas 10 gram dibayar tunai.” “Saya terima nikah dan kawinnya Ayuna binti Sarto dengan maskawin tersebut dibayar tunai.” “Bagaimana para saksi? SAH?” Pertanyaan pak penghulu pada beberapa orang yang berada diruang ICU. “SAH!!” “Alkhamdulilah......” Pak ustad memimpin doa, semua yang ada di ruangan menengadahkan tangan. Lalu mengusap kedua tangan di wajah saat doa selesai. Dengan takzim Yuna mencium punggung tangan Pangeran. Tanpa membalas apapun, pangeran Cuma melengos. Melakukan semua dengan terpaksa, daripada harus mendekam dipenjara, lebih baik menuruti permintaan papanya. “Nak Pangeran,” panggilan dari Pak Sarto yang terdengar sangat lirih. Pangeran menoleh, mendekati pak Sarto tanpa berniat menjawab panggilan itu. “Bapak tau kamu anak yang baik dan sangat berbakti. Bapak percayakan Yuna, anak bapak satu-satunya padamu. Tolong jaga dia, sayangi dia seperti Bapak dan Ibuk menyayanginya. Jangan membuatnya menangis, nak. Karna dia adalah harta kami yang sangat berharga. Jika kamu tak menyukainya, maka lepaskan dia dengan baik-baik, ingatkan jika dia melakukan kesalahan. Jangan mengasarinya. Bapak percaya sama kamu.” Tak hentinya air mata membasahi pipi Yuna. Menggenggam tangan bapak dengan sangat erat. “Umur bapak nggak lama nak, jadi tolong, jaga Yuna. Ja....ga dia.” Kata-katanya sudah kabur, tak lagi terdengar. Yuna berhambur memeluk bapaknya. Isak tangisnya tumpah seketika. “Yuna mohon pak, bertahanlah. Jangan pergi pak, Yuna nggak punya siapa-siapa. Siapa yang akan memuji Yuna saat Yuna mendapat piala pak? Siapa yang akan nyiapin seragam sekolah Yuna? Yuna nggak mau sendirian pak. Yuna nggak bisa....hiks..hiks...hiks....jangan pergi, Yuna mohon....bertahanlah sampai Yuna bisa bahagiain bapak.” Tangisan pilu Yuna mampu menggoyahkan ego dan hati yang membatu. Pangeran meraih tangan pak Sarto. Lelaki yang sudah sah menjadi bapak mertuanya. “Saya berjanji dengan segenap jiwa dan raga. Saya akan menjaga dan menyayangi Ayuna seperti bapak menyayanginya. Saya janji pak.” Setetes air membasahi pipi putih pangeran. Pak Seno ikut menangis mendengar anaknya bicara sungguh-sungguh untuk pertama kalinya. Bu Dina sudah terisak sedari tadi. Pak Dukuh, pak RT, tetangga terdekat dan pak ustad juga ikut larut dalam kesedihan. “Alkhamdulilah.....” ucapan yang hampir tak terdengar dari mulut pak Sarto. “Saya bisa pergi dengan tenang.” Mengelus kepala Yuna yang masih nempel didadanya. “Jadilah istri yang baik nak. Layani suamimu dengan sepenuh hati. Seperti Ibuk melayani bapak.” Yuna mengangguk dalam pelukannya. Hening! Tak lagi ada suara apapun, Yuna diam, menghentikan isak tangisnya. Semakin mepet ke d**a bapak. Suara detak jantung itu tak lagi terdengar. Lalu mengangkat wajah, mata sayunya sudah tertutup rapat, bibir bapak juga tertutup, ada sedikit senyum di bibir itu. “Pak, bangun Pak.” Menggoncang bahu bapak. Tak ada reaksi apapun. Tangis Yuna makin deras. Menatap wajah semua orang yang ada dikamar itu, termasuk dokter yang memang sedari tadi ada di ruangan. “Bapak saya kenapa Dok?” Dokter hanya diam, pelan menggelengkan kepala. “Bapak! Pak! Yuna mohon Pak, bangun. Demi Yuna! Yuna sayang Bapak. Hiks hiks....Bapak....” ~~ Pemakaman dan semuanya sudah diurus oleh pak Seno serta pak Dukuh dikampung Yuna. Perpindahan Yuna ke Jakarta pun diurus sekalian. “Maaf Pa, aku nggak mau pindah ke Jakarta. Aku masih pengen disini. Aku mau nyelesaiin sekolahku disini.” Tolaknya dengan lembut. Pangeran terlihat cuek, duduk main game di ponselnya. Menyandarkan tubuh ke tembok kusam rumah peninggalan kedua orangtua Yuna. “Nak, papa tau ini sangat berat. Nggak mudah menjalaninya, tapi kamu mendengar sendiri kan? Kemarin bapak kamu yang menginginkan kami untuk merawatmu. Kamu nggak perlu takut. Kami akan memperlakukan kamu sama seperti anak kandung papa.” Jelas pak Seno panjang lebar. Bu Dina ikutan duduk ditepi ranjang lapuk milik Yuna. “Yuna sayang, mama pasti akan menyayangimu sepenuh hati. Kalau kamu kangen pengen pulang ke Jogja, kita bisa kesini kapanpun kamu mau.” Bujuknya. Yuna menunduk, mengusap ingus dan air mata. Bukan soal kenyamanan, tapi sungguh dia tak lagi memiliki semangat untuk melanjutkan hidup. Dunianya runtuh seketika. Selama ini Yuna hanya memikirkan prestasi, karna dia tau, hanya melalui itu kedua orangtuanya akan bahagia. Bahagia saat melihat Yuna pulang membawa piala, sertifikat apapun itu. Jadi, untuk apa dia melanjutkan hidup lagi? Hatinya sudah membeku. “Yuna masih sedih, ma. Maaf.” Isak tangis itu kembali terdengar. Bu Dina meraih tubuh mungil itu kedalam pelukan. “Ada mama, sayang. Mama memang tidak akan mampu menggantikan Bapak dan Ibumu, tapi kami akan selalu menyayangi dan menjagamu. Seperti mereka juga.” Yuna masih terdiam, hanya tetap menangis dalam pelukan mama mertua. “Tanangkan dulu hati dan pikiranmu Na, papa akan urus perpindahan sekolahmu besok.” Sungguh kali ini Yuna nggak peduli sama sekolah. Semua terasa tak lagi penting. Setelah merasa tenang, bu Dina merenggangkan pelukan. Mulai sibuk mengusap pipi masing-masing. Lalu menatap wajah manis Yuna yang beberapa hari ini terlihat sangat kusut. “Sayang, kamu istirahat ya. Mama balik ke hotel dulu. Pangeran ada disini nemenin kamu. Kalo butuh apapun, bilang aja sama dia.” Dina mengelus lengan Yuna. “Iya ma,” jawabnya lemah. “Nanti jam lima, mama sama papa kesini. Kita makan bareng diluar. Agar kamu juga nggak terlalu bersedih.” Lanjut Dina. “Iya, ma,” jawaban yang sama. Yuna membaringkan tubuh diranjang tua yang hanya berlapis kasur lantai tipis. Memejamkan mata yang terasa perih karna lelah menangis. Dina membiarkan Yuna tidur, keluar dari kamar menghampiri putranya. “Ran, temani istrimu disini. Kalau dia butuh sesuatu, carikan. Atau hubungi papa.” “Iya, ma,” jawaban yang sama lagi. Bahkan Pangeran menjawab tanpa menoleh ke mamanya. Tetap fokus memainkan permainan di ponsel. “Ya udah, mama mau balik ke hotel nyusul papa. Kamu jangan tinggalin Yuna ya.” “Iissh, iya, iya mama cantik. Udah sana pergi. Gangguin aja deh.” “Hiissh!” Mama berjalan keluar rumah, meninggalkan rumah tua itu. Seperginya mama, Pangeran tetap diam di tempat. Fokus main sama ponsel. Sekitar 1 jam, dia penasaran sama Yuna yang ada dikamar. Mematikan ponselnya, berjalan pelan menyibak gorden yang menjadi penutup kamar Yuna. Terlihat guratan kesedihan dan lelah di wajah Yuna yang terlelap. Pangeran berdiri menyandarkan tubuhnya dibibir pintu. Menatap wajah manis itu sambil menyilakan kedua tangan didepan d**a. 'Ya Allah, besar banget dosa gue. Membunuh dua orang sekaligus. Gila kalo sampai gue nyakiti anaknya, apa lagi gue udah janji bakalan jagain dia. Lalu, bagaimana sama Intan? Aasshh pusing gue!' Mengacak rambut dengan sangat frustasi. Kembali lagi ke ruang tengah, duduk dikursi lapuk itu. Menatap foto Intan di ponselnya. Intan, kakak kelas yang dia pacari selama enam bulan ini. Bahkan mereka menjadi best couple ditahun ini. 'Gimana nasibnya kalau semua murid tau dia telah menikahi gadis kampung? Nggak lebih cantik dari Intan, bahkan si Intan lebih dari segala-galanya. s**t!'
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD