Masalah

1094 Words
"Mbak Yuni?!" Hoo, asem memang! Bibirnya tersungging, tersenyum kemenangan. Ternyata dia dan cowoknya yang sudah membuat gara-gara? Awas saja. "Kenapa, Sayang? Nggak pernah liat cewek cantik, ya? Kok, kaget gitu?" Bukan cuma risi, aku merinding mendengar suara manjanya yang dibuat-buat. Kayak Mbak Kunti yang sedang menakut-nakuti orang, tetapi menyamar menjadi cewek cantik. Bulu kudukku langsung tegak. Hiii! Teringat sesuatu, aku maju selangkah. "Tanggung jawab! Hijabku sampai kotor kecipratan air di pinggir jalan tadi waktu kalian lewat." "Halah, lo aja yang jalan nggak pakek mata!" Kini cowoknya yang menjawab, lalu melepas helm yang dikenakan. Hmm, good looking, sih, tetapi sayangnya bad attitude. "Sejak kapan jalan pakek mata? Setahuku jalan ya pakek kaki. Kecuali buat orang yang otaknya udah nggak berfungsi, jalannya pakek mata. Mata batin. Makanya nggak liat cewek semanis ini jalan sambil menghindar lubangan." "Lo ngatain gue nggak ada otak? Dasar, anak kurang ajar!" Mbak Yuni tersulut emosi, aku makin terpancing mempermainkannya. Salah sendiri seenaknya. "Loh, aku cuma ngasih pernyataan, bukan ngatain. Kalo Mbak ngerasa, ya, bagus. Lagian bener, ‘kan?" Cowok itu maju, sejajar dengan Mbak Yuni. "Bilang aja kalo lo mau menghina Yuni, karena lo ngerasa udah paling pinter, paling alim." Kuhela napas, tidak yang perempuan tidak yang laki-laki, sama saja kelakuannya. Kalau jodoh sudah pantas; menjadi pasangan super menyebalkan. "Jadi cewek, kok, sok-sokan," lanjutnya. "Lo itu yang sok-sokan. Nyetir motor kayak nyetir pesawat, dikira itu jalan punya nenek moyang lo? Sini juga manusia, bukan makhluk halus," semburku. Tanpa memberi kesempatan mereka menyanggah, aku berkata lagi. "Pokoknya kalian harus tanggung jawab! Kalo nggak—" "Kalo nggak, apa?!" Cowok itu maju selangkah. "Anak kecil kayak lo bisa apa? Paling cuma nangis." Tawanya berderai, begitu pun Mbak Yuni. Manusia tak ada hati seperti mereka mengapa dibiarkan bahagia, sih? Allah ... sabarkanlah hamba. Sepagi ini harus diuji oleh orang tak tahu diri. Masih cekikikan, sejoli itu pergi begitu saja. Benar-benar batu. Awas saja, tiada asap tanpa api, tak ada dendam tanpa kesalahan berarti. Aku tersenyum sinis, saat menemukan ide untuk membuat mereka jera. Ya, maaf, sini bukan malaikat yang hatinya bersih tanpa dendam. Jadi wajar kalau membalas kejahatan dengan kejahatan pula, bukan? Kalau masih salah lagi, ya, maaf. Aku bukan gadis yang bisa terima saat diinjak harga dirinya. Bagiku, mengatakan aku cewek sok-sokan itu termasuk menginjak harga diri. Coba kalau orang itu ada di posisiku, pasti merasakan hal yang sama. Ya, walaupun tingkat kebaperan setiap orang berbeda, tetapi tak mungkin kalau tak sakit. Kecuali manusia batu seperti mereka. Astagfirullah, maafkan hamba, Ya Rabb. Selesai menjalankan misi, aku segera ke kelas. Pelajaran dimulai lima belas menit lagi, tak ada waktu banyak untuk berleha-leha. Sesampai di tempat duduk, kukeluarkan tisu, lalu mengelap bagian yang kotor. ** Jam kuliah telah usai. Kubereskan buku dan peralatan menulis dengan cekatan. Tak sabar akan misi yang kukerjakan tadi berhasil atau gagal. Kalau tak berhasil, ya, sudah. Menunggu karma saja datang ke mereka. Aku tak tahu jam pulang Mbak Yuni dan cowoknya, tetapi setelah kulihat di parkiran, masih ada motornya. Kuamati dari kejauhan, belum ada tanda-tanda pemiliknya datang. Daripada menunggu yang malah menghabiskan banyak waktu, kuputuskan pulang. Tiba-tiba perut keroncongan, untung bukan dangdutan, bisa-bisa ikut goyang sampai petang. Berjalan beberapa langkah, mataku tak sengaja melihat angkringan di pinggir jalan. Tanpa pikir panjang, aku bergegas ke sana. "Bu, nasi kucing tiga bungkus, ya!" Pemilik angkringan langsung mengambilkan pesanan. Kebetulan, pembeli masih sepi, jadi aku tak perlu mendengar omongan miring 'cewek cantik, kok, jajannya di angkringan'. Haduh, padahal kalau jajan, mah, bebas mau di mana saja. Apalagi mahasiswa seperti aku ini, sudah pasti harus hemat. Kuserahkan sepuluh ribuan padanya dan menerima kembalian yang lumayan bisa untuk membeli es mambo atau biasanya orang menyebut es lilin. Kebetulan tetangga kos ada jualan es, pas banget beli waktu panas-panas begini. Baru menyeberang jalan, suara bel motor mengejutkanku. Kutengok, tak asing dengan helmnya. "Bareng, yok! Panas-panas gini ntar manisnya luntur, loh." Ia mendekat, dibukanya helm yang dipakai. "Bagas!" "Mau nggak aku anter?" tawarnya, lagi. Kutelan ludah susah payah. Ia bagaikan penjual es di siang bolong, datang-datang menawarkan tumpangan yang bikin adem sekaligus deg-degan. Meleleh hati Eneng, Bang. "Apa nggak ngrepotin?" Ia menyodorkan helm satunya. "Kalo repot, mana mungkin aku ada niatan nganter kamu pulang. Lagian, kita searah." Dengan tangan gemetar, kuterima helm itu, bukan terima mas kawin atau mahar seperangkat alat salat. Tunggu, aku baru ingat kalau jalan kita beda. Aku ke jalan serius, entah dia ke mana. "Pasti kamu mau bilang kalo arah jalan kita beda, ya?" ucapnya, sembari tersenyum. Duh, manisnya. Gula masih kalah jauh, euy! "Ya, bedalah. Kan, kamu ke utara sedangkan aku ke selatan," balasku, sambil memakai masker. "Kita searah, kok. Arah yang lebih serius kalo kamu mau," katanya sambil mengerlingkan mata. Panas, rasanya tinggal dikasih minyak tanah langsung terbakar. Hobi sekali menerbangkan jiwa yang sedang terhempas. Aku memasang helm guna menutupi rasa gugup yang makin parah. Bisa-bisanya di bawah terik seperti ini ia masih sempatnya bertanya yang jawabannya membuat jantung berdebar tak beraturan. Untung dinding hati ini tebal, coba kalau tipis, sudah runtuh ditelan kata-katanya yang terlampau berat. “Dasar Mirna! Harusnya pakai masker dulu baru helm, kalau begini, kan, malu.” Aku merutuk dalam hati. Sambil menahan malu, kucopot helm yang sudah terpasang rapi di kepala. Ini semua gara-gara Bagas. Terlalu mengagumkan untuk ukuran cowok sedewasa dia. Saat menengok, kulihat seseorang dari jauh. Bukannya ... Mbak Yuni dan cowoknya? Aku tersenyum puas dalam hati. Mereka sedang menuntun motor, sepertinya sedang mencari bengkel terdekat untuk menembel ban. Terlihat dari bannya yang kempes dan tak bisa dikendarai. Duh, Mbak, Mas, makanya jadi orang jangan songong. Dapatlah karmanya. Ha ha. Sebelum mereka makin dekat, aku segera naik ke motor Bagas dan memintanya tancap gas. Tanpa banyak tanya, ia langsung menurut. Kulihat mereka dari kaca spion, Mbak Yuni sepertinya menggerutu, sedangkan cowoknya menahan kesal dan pasrah. Rasakan, kalian pikir anak kecil tak bisa balas dendam? "Kamu kenapa senyum-senyum sendiri, Mir?" Dengan tenang, kujawab, "Nggak papa, Gas. Beruntung ada kamu, jadi nggak kepanasan, deh." "Oh, iya, kebetulan aku ada jam pagi. Jadi, pas mau pulang, liat kamu, ya udah samperin aja," akunya. Aku mengangguk mengerti. Aku kira sengaja jemput, ternyata cuma kebetulan. Jangan-jangan aku juga salah satu cewek yang kebetulan nyantol sama dia? Terus yang lain kebetulan juga suka dalam diam? Yah, banyak saingan, dong. "Yang kemaren itu tetangga kosmu, Mir?" tanyanya, saat kami tiba di kosku. Aku turun, melepas helm dan menyodorkan padanya. "Iya, kenapa?" "Dia ngeliat aku kok kayak naksir gitu?" Aku mengendikan bahu. Mana aku tahu dia naksir Bagas. Tetapi awas saja kalau sampai Mbak Yuni naksir benaran dan mau merebut dariku. Tak sudi aku bertetanggaan lagi. "Kenapa cuma diam?" tanyanya, lagi, "cemburu?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD