Beruntung dan Apes

1009 Words
"Buat semuanya. Traktirannya, jalan-jalannya, waktunya. Intinya ini malam Minggu paling berkesan." Ia mengangguk, tersenyum dari balik masker. Kurasa sudah terlalu larut, jadi aku pamitan saja sebelum tetangga tahu. Ya, kalau tahu juga tak apa, sih, ini kos bebas jam. Tapi tetap tak enak, walaupun masih mau enak-enakan, jalan, maksudnya. "Mir!" panggilnya saat aku baru lima langkah. Aku menoleh. "Apa?" "Nggak papa," balasnya, menggeleng. Tak kugubris keisengannya. Lalu, melanjutkan langkah yang sempat terpotong. Sudah seperti gaji saja, dipotong gara-gara bolos kerja. Kukeluarkan kunci dari tas, lalu membuka pintu. Sekilas menengok halaman, sudah tak ada Bagas. Kapan perginya? Pintu kututup, segera ke kamar mandi untuk bersih-bersih dan ganti baju. Setelah selesai, kubaringkan tubuh yang letih. Rasa kantuk menyergap, tanpa sadar, semuanya menjadi gelap. o0o Aku terbangun, saat menyadari azan subuh berkumandang. Mengucek mata, kemudian berjalan ke kamar mandi untuk mengambil wudu lantas mendirikan salat. Rasa kantuk semalam membuatku tidur lebih awal dari biasanya. Sampai-sampai banyak chat masuk di w******p. Alhamdulillah, sepagi ini sudah empat orang yang order. Kulayani mereka dengan baik, yang sudah fix langsung kutulis di daftar pembeli dan meneruskan pesanan ke petugas stok barang. Tiba-tiba ada satu pesan nomor tak dikenal. [Hai, Dek. Kamu tetangganya Yuni, ya? Salam kenal.] Alisku bertaut, kok, dapat nomorku? Tetangga Mbak Yuni? Bisa sampai tahu tetangganya segala? Kubalas pesan tersebut. [Ini siapa?] Send. Kulanjutkan kegiatan melayani pembeli. Saat masih menulis di buku, ponsel kembali berdering. [Kamu nggak perlu tau aku. Yang jelas, aku udah mengagumimu sejak lama.] Aku makin penasaran. Mengagumiku sejak lama? Sebelum lahir ke dunia? Wah, ternyata aku cukup mengagumkan. Bukannya senang, aku malah risi. Emang, sih, aku suka cowok misterius. Tapi kalau udah menyangkut nama Mbak Yuni, pasti ada yang nggak beres. Tetangga banyak gaya itu udah buat kecewa. Sejak tinggal di sini, membawa pengaruh besar bagiku. Aku jadi merasa nggak bebas. Mau melakukan apa pun pasti dapat nyinyiran. Padahal, kalau dia mau jungkir balik sekalipun, aku nggak gubris. Pernah, saat orang tuanya berkunjung ke sini, terjadi masalah. Dan tak terlupa sampai sekarang. "Heh! Dasar maling! Balikin sendal mama gue!" teriak Mbak Yuni saat aku baru sampai kos. Aku bingung, setengah dongkol. Apa-apaan ngatain maling. Aku nggak terima, dong. "Siapa yang maling? Kalo punya pikiran, tuh, dipakek. Mana mungkin tetangga baik hati kayak gini dibilang maling." "Eh, udah ya nggak usah ngeles. Bilang aja kalo lo udah ngambil sendal mama, 'kan? Nggak bisa beli ya udah, nggak maling juga kali," tuduhnya berapi-api. "Apa buktinya kalo aku maling?" Ia melengos, lalu menatap sendal sepatu yang kukenakan. "Itu. Buktinya sendal mama gue dipakek sama lo. Udah, ngaku aja. Alesan minta bukti." Aku masih ingat betul, waktu itu mamanya ke sini tak memakai sendal yang sama denganku. Waktu berangkat kuliah pun, aku tak melihat ada sendal yang sama di depan pintu kamarnya. Aku mengambil di rak sepatu milikku, bukan punya tetangga, apalagi miliknya yang kadang cuma ditaruh sembarang sampai wilayah tetangga. Maklum, tak ada pembatas apa pun antar kamar. "Eh, Mbak. Fitnah itu kejam, lho. Emang mau dapet karma karena udah fitnah orang yang sama sekali nggak bersalah?" kataku, membalas tatapannya yang tajam. "Tapi udah jelas-jelas itu bukan punya lo." "Ini punyaku. Jelas-jelas tadi pagi nggak ada sendal ini di depan pintu kamarmu. Aku ngambil di rak sepatu, milikku, bukan milikmu. Nggak usah ngarang cerita, deh, Mbak." Tiba-tiba mamanya datang menghampiri. Dengan napas yang masih tersengal, menatapku tak enak. "Maaf, Mbak Mirna, anak saya memang suka lancang." Mbak Yuni mengernyit. "Mama apa-apaan, sih?" "Kamu yang apa-apaan, Yun. Nuduh orang sembarangan." Aku menyunggingkan bibir. Menatap dua orang itu yang beradu pandang. "Mama tadi baru inget, kalo sendal yang mirip sama punya Mirna itu udah dibalikin ke temen arisan," kata mamanya lagi. Terkejut, tentu. Ternyata dia sendiri yang tak bisa membelikan mamanya sendal. Haduuh, Mbak, malu kalo aku jadi kamu. "Lain kali jangan asal nyinyir kalo belum pasti," tukasku sembari berlalu. Anak dan Ibu itu masih bergeming di tempat. Sampai sekarang, kalau mengingat kejadian itu, hatiku masih dongkol. Bersikap manis cuma pas butuh, kalau lagi tak butuh, seenaknya sendiri. Tak terasa, matahari mulai menampakkan cahayanya. Aku bergegas siap-siap, karena ada kuliah pagi. Belum lagi, harus jalan kaki. Ya, walaupun tak terlalu jauh, tapi kalau santai-santai bisa telat. Apalagi dosennya killer, bisa disantap buat sarapan. Gamis maroon serta hijab hitam menjadi pilihanku kali ini. Dengan bismillah, kukunci pintu. Setelah memastikan sudah mengenakan masker, kuambil sepatu dan memakainya. Lalu, mulai melangkah sambil bersholawat. Entah kenapa, aku masih kepikiran sama dua sahabatku. Sampai detik ini, mereka belum ada tanda-tanda kasih kabar. "Apa ada sesuatu? Atau mereka marah karena nggak kuajak jalan-jalan?" pikirku. "Eh, bukannya kemarin Bagas bilang kalau mereka ngasih waktu buat jalan sama aku?" Ah, entahlah. Yang penting sekarang sampai di kampus dulu. Baru minta penjelasan. Aku terus berjalan, sambil bersholawat. Walaupun tak semerdu Nissa Sabyan, setidaknya enggak fals di telinga sendiri. Terdengar suara motor dari arah belakang, aku terpaksa jalan lebih cepat, karena di sini banyak lubang air bekas hujan semalam. Namun, suara mesin beroda dua itu semakin dekat. Langkah lebih kupercepat, semakin dekat, semakin capek jalan. Dan tanpa aba, sebuah cipratan mengenai hijab lebarku. Sial! Mau protes mana bisa. Eh, wait! Motor itu belok ke arah kampus. Aku berlari sekencang mungkin, berusaha membaca plat motor. Berhasil, sudah tahu sekarang. Jangan ditanya kenapa aku langsung tahu, melihat sekilas, langsung hafal di luar kepala, waktu kepepet saja. Bukan sombong dan berbangga diri, tapi itu kenyataannya. Duh, tapi gimana nasib hijabku? Mana banyak lagi kotorannya. Awas saja kalau sampai ketemu orangnya. Kumintai pertanggungjawaban. Buat ganti hijab baru, bukan minta dinikahi. "Kenapa mukanya murung, Nak?" tanya satpam kampus yang sudah kukenal sejak lama. "Hijabnya juga kotor. Duh, pasti apes di jalan, ya?" Aku hanya bisa meringis. Merutuki nasib pagi ini. "Ya sudah, buruan masuk. Bersih-bersih di toilet, Nak." Aku mengangguk. "Iya, Pak. Permisi." Saat jalan, aku tak sengaja melihat motor yang masih hidup. Eh, bukannya itu yang tadi? Kulihat nomor platnya, sama. Aku segera berlari ke arahnya. "Hei! Tanggung jawab! Nih, hijab saya jadi kotor!" teriakku. Cewek yang membonceng langsung turun, lalu melepaskan helmnya "Mbak Yuni!" Hooo, asem memang! Apa ia tak melihat ada perempuan manis begini yang sedang jalan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD