Gelay

1019 Words
"Mirna! Tuh, ditungguin cowok lo!" teriak seseorang dari luar. Ha? Wait! Bagas udah sampai? Kok, cepat? Diriku yang lelet atau dia yang ngebut? "Iya, Mbak!" sahutku dari dalam dan segera keluar. Setelah mengunci pintu, kupakai sepatu tali model terbaru. Sepatu lama telah usang, udah sepantasnya dibuang, Sayang. Berlari kecil ke tepi jalan yang cuma di depan kos, mata ini bertemu satu titik tempat. Tampak punggung cowok yang duduk di motor matic-nya. Entah kenapa jantungku tiba-tiba disco ngajak goyang tik tok. Elah, Mirna, Mirna. Nggak sekalian bawa speaker biar keras volumenya? Aku menghampirinya, dengan d**a yang masih berdegup kencang. Semacam angin p****g beliung yang siap mengobrak-abrik hati orang-orang. Eh, Bagas aja, kebanyakan bisa repot aku. "Mirna!" Eh, Bagas, kenapa ada acara nengok sebelum aku sapa, sih. Kan, jadi tambah grogi. Belum nyapa udah disapa duluan. Nasib cewek cantik. "Ba-gas! Udah la-ma?" Tuh, kan, gugup. Dia sih terlalu ganteng. Yang ditanya cuma senyum, aku tambah salah tingkah, dong. Mau ikut senyum dikira ge er, mau diam dikira patung. Alhasil, aku berdiri di sampingnya. "Tumben ngajak jalan?" Dia cuma ngangguk, sambil ehem-ehem. Senyumannya itu, lho, bikin d**a menabuh genderang. Genderang rasa yang nggak tahu ke mana arahnya. "Aku sengaja cuma ngajak kamu, biar kita bisa berduaan." Jadi, selama ini dia sudi ngajak aku jalan? Kirain nggak ada satu makhluk bernama manusia bagian dari kaum Adam yang mau sama gadis semanis Mirna ini. Tahunya, idola sendiri yang suka. "Tadi dikasih tau sama sahabatmu itu, kalo mereka ngasih kesempatan buat jalan sama kamu. Nggak keberatan, 'kan?" Ya Tuhan ... mungkin dia pangeran yang ada di mimpiku semalam. "Em, enggak, kok. Nggak keberatan sama sekali. Malah jadi enteng," kataku sambil memperlihatkan deretan gigi. Sebenarnya juga gugup. "Enteng?" Haduh, Mirna! Untung nggak keceplosan mau bilang kalau jadi enteng di dompet. Bisa-bisa dicap cewek matre. E, tapi nggak apa-apa di cap matre, asal jangan pelakor. Ngeri, euy. "Em, maksudnya enteng kalo jalan sama kamu. Sama sekali nggak keberatan." Bagas mengangguk. Jadi, kapan jalannya? Kenapa nggak disuruh naik, sih? "Mir," panggilnya sambil memandang mataku, dari kaca spion. Aku sengaja diam, cuma menoleh dan gantian memandang wajahnya. Dari kaca spion juga. "Kamu nyebelin!" Sontak, dahiku mengernyit. Lalu, meliriknya sinis. Apa-apaan ngatain anak orang nyebelin? "Kamu itu nyebelin!" katanya, lagi. "Udah buat aku gemeteran." Deg! Gemeteran? Berarti ... dia ada rasa sama aku? Kalau gitu, aku akan coba nyaman sama dia. Haduh, lagian siapa, sih, yang nggak nyaman sama orang ganteng? Apalagi romantis kayak Bagas. Ia menoleh, kali ini langsung kontak mata. "Gemeteran nahan laper." Tawanya menyembur, memperlihatkan langit-langit mulutnya. Padahal, asal kamu tahu, Gas, pipiku udah panas hampir kebakar. Tahunya cuma prank. Astaghfirullah .... "Sorry, sorry. Ya udah, yuk, naik." Aku masih cemberut. Salah siapa ngerjain anak orang. Naik dengan perasaan dongkol. Duduk berjauhan. Benar, kan? Kalau dekat nanti jatuhnya dosa. Mesin dihidupkan, dan mulai jalan pelan. Membelah jalanan kota yang padat anak muda. Kok, tahu kalau bukan orang tua? Ya, karena kelihatan. "Kita mau ke mana?" tanyaku, datar. Ia memelankan lajunya. "Makan burger, ya?" "Aku nggak bisa makan burger." Hening. Ia tampak berpikir, sambil terus menyetir. Aku nggak keberatan cuma dianggurin, yang penting udah jalan-jalan. Soal makanan, kalau udah sama cowok bawaannya kenyang. Apa lagi sama cowok keren berhidung mancung kayak Bagas, wah, aku merasa dia jadi pangeran dan aku jadi rakyat biasa. Nggak seimbang. Tapi, ya sudahlah. Toh, dia mau kok jalan sama rakyat biasa yang manis ini. "Makan pizza, mau?" tawarnya, melirikku dari kaca spion. "Nggak mau, ah. Gelay," balasku sambil menggeleng, menirukan gaya bicara sesevokalis yang lagi viral itu. Sontak, tawanya menyembur lagi. Kubuang muka, ke pinggir jalan yang dipadati pedagang kaki lima. Sebegitu bahagiakah dia sama aku? Atau menertawakanku yang lucu ini? Padahal bukan pelawak, tapi kenapa ketawa? "Terus kamu maunya apa?" tanyanya lembut. Selembut kain sutra. Aku tersenyum. Meliriknya dari kaca spion. "Aku maunya kamu." "Apa?" Eh, kan, mulut ini lancang. Untung nggak dengar. Segera kuralat jawaban. "Aku maunya yang kamu mau aja." Ia mengangguk. Lalu melajukan kendaraan dengan kecepatan sedikit tinggi. Hawa dingin menyelimuti, menusuk sampai kulit. Kurapatkan tangan, memeluk diri sendiri. Mau meluk Bagas, tapi belum mahram. Eh, bukan mahram. Beberapa menit kemudian, ia menyuruhku turun di pinggir jalan. Setelah memarkirkan mesin roda duanya, ia mengajakku masuk ke sebuah warung, yang bertuliskan 'Bakso dan Mie Ayamnya Anak Muda'. Berarti orang tua nggak diperbolehkan, dong? Aku mengikuti dari belakang, lalu duduk di depannya. Memesan semangkuk bakso dan es teh tawar, karena dia udah manis, takutnya diabetes. Bagas juga pesan menu yang sama, tapi tehnya manis, karena baginya aku terlalu tawar buat jadi pendamping. Tapi kalau jodoh, bisa apa? "Eh, Mirna! Jajan di sini, toh?" Suara itu ...? Ah, pasti Mbak Yuni. Setelah kutengok, ternyata benar. Kenapa, sih, harus ketemu dia di sini? Bikin nggak mood. Aku hanya mengangguk dan senyum yang dipaksakan. Wanita itu memandangku dari bawah sampai atas, juga berpindah ke Bagas. Lumayan lama memandang wajahnya, jangan-jangan naksir. Duh, aku harus mengamankannya dari godaan nenek sihir itu. "Ehem!" Sontak, Bagas dan Mbak Yuni menoleh ke arahku. "Mbak Yuni mau jajan juga?" Ia gugup, lalu menatapku sinis. "Ya, eng-nggaklah. Tadi nggak sengaja liat lo di sini." Aku mengangguk, lalu fokus ke layar ponsel. "Cowoknya keren. Tapi sayang, seleranya jajan di pinggir jalan. Gue, dong, jajan di restoran mahal," cibirnya, membuatku sontak mendelik. Ia menutup mulutnya dengan telapak tangan. Sengaja banget, sih, malu-maluin orang. "Di restoran mana cukup uang seratus ribu?" Ia terdiam, sedangkan Bagas memandangku heran. Tak menanggapi omongan Mbak Yuni, lelaki itu kembali menatap layar ponsel. Rasakan kau, Nenek Sihir! Makanya jangan kebanyakan gaya jadi orang. Ia melenggang, setelah menghentakkan kaki. Aku tersenyum puas. Memandangnya sampai luar. Pesanan siap, kami menyantapnya dengan nikmat. Sampai suapan terakhir, dan hanya menyisakan mangkuk kosong. Selera kita sama, ternyata. Awalnya aku menolak ditraktir, tetapi karena ia memaksa, Di iyain saja. Masa ditolak? Tujuan utamanya, kan, emang nyari gratisan. Masalah jatuhnya di bayar sama cowok ganteng, itu kan rezeki yang tak disangka-sangka. Sekitar pukul 20.00, kami memutuskan pulang. Bukan memutuskan hubungan, jadian saja belum. Ia mengantarku sampai halaman, karena kebetulan halaman kos luas dan langsung berhadapan sama kamar. "Makasih, Gas," ucapku turun dari motor. Ia menerima helm dariku. "Buat apa?" Dipandang seperti itu, hatiku langsung berdesir.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD