Bab 4. Kenyataan!

1039 Words
Puas mengingat segalanya kini Zenit kembali ke dunia nyata dan mengumpat saat mengusap bagian inti tubuh Tuan Carlos. Dia terkejut karena dalam keadaan tak sadarpun benda itu masih merespon sentuhan dari seorang wanita. Dia berdiri tegap seolah sedang menantang, dan itu menyakit hati Zenit. “Jika ini bukan rumah orangtuaku, mungkin aku sudah memotong-motong milik anda Tuan Carlos,” ocehnya kesal. “Zenit, apa yang kau lakukan? Kenapa bicara sendiri pada suamimu? Cepat selesaikan segalanya, jangan sampai dia infeksi.” “Bagaimana jika ibuku tahu, bahkan kau adalah pria yang menyakiti hatiku, hah? Lucu sekali memang hidup ini, aku merasa di permainkan oleh dunia. Bertemu denganmu secara kebetulan, bahkan aku menyelamatkan hidupmu, ini lucu sekali!” Carlos membuka matanya perlahan ,dia merasa ada tawon di telinga miliknya, berdengung hingga terasa sangat sakit. “Siapa kau? Kenapa mengoceh tidak jelas seperti itu?! Kita tak saling mengenal, kenapa aku ada di sini?!” “Apa? Tidak saling mengenal bagaimana maksud anda, Tuan? Sudah jelas bahwa-” Zenit sedikit terdiam, apa dia tak ingat lagi padaku karena begitu banyak wanita yang dirinya kencani? Pria sialan ini beraninya menganggap aku sampah. Akan aku tekan luka ini sekuat hatiku. Carlos masih bingung, tapi semua kebingungan itu sirna saat Zenit menekan luka tembak yang membekas di tubuhnya. “Ah, sakit! Sial, kau menyakiti aku.” “Sakit? Buka mata anda lebar-lebar dan lihat bagaimana aku mengobati anda.” Zenit menekan kembali luka itu sampai Calros tidak bisa bernapas dengan benar. “Ayo, teriak lagi!” wanita ini rasanya ingin mengumpat lagi. Ibu dan ayah Zenit yang sejak tadi mendengar suara teriakan pun langsung bergegas. “Apa yang kau lakukan pada suamimu, Zenit! Ya Ampun, kau menekan lukanya dengan alkohol 100% anak gila ini belajar dari mana?!” Ibu memukul Zenit hingga gadis itu kesakitan, “Maafkan anak saya, jangan ceraikan dia karena permasalahan ini, Tuan.” Mendengar hal itu membuat Tuan Carlos terbelalak, dia terkejut. “Dia istriku?!” “Tentu saja, apa karena hal kecil anda ingin menceraikannya?!” Dia terlihat sedang menarik napas, dengan sedikit menatap wajah Zenit, Tuan Carlos menundukkan kepalanya, “maaf, aku tidak bermaksud berteriak padamu, hanya saja luka ini benar-benar menyakitkan. Sekali lagi aku minta maaf, istriku.” Zenit menelan saliva, dia terkejut dengan apa yang di katakan oleh Tuan Carlos, dia mendekat lalu memeriksa pria tersebut. “Anda tidak demam, lalu kenapa bicara omong kosong? Silahkan katakan dengan jelas pada saya, Tuan!” “Bukannya kau istriku? Apa ada yang salah?!” dia bertanya balik hingga membuat Zenit mengacak-acak rambutnya. “Ada apa? Apa kau kecewa padaku?!” Melihat tingkah Zenit yang kacau dan bikin malu, Ayah Zenit menarik tangan anaknya. “Ayah tahu otakmu sangat kecil, tapi jangan buat ayah  malu, Zenit.” Dia berusaha bersikap tenang, Zenit menarik napasnya berkali-kali lalu menghembuskan dengan pelan. Zenit, apa mungkin dia sedang amnesia? Jika tidak apa untungnya dia melakukan ini padamu, Zenit? Wanita ini berkata-kata sendiri. Sebaiknya aku menghubungi pria bernama Daren itu, dia pasti tahu apa yang harus aku lakukan. Zenit rasanya lemas sekali, dia berusaha menghubungi pria bernama Daren itu tapi sama sekali tidak tersambung. Pikirannya melayang-layang, bagaimana kalau sampai Daren mati dan dia terpaksa bekerja untuk Tuan Carlos, Zenit sungguh tak bisa membayangkan merawat pria yang dia benci bertahun-tahun dengan status sebagai istrinya. Apalagi orangtua Zenit sangat protektif untuk urusan rumah tangga, mereka tidak ingin anaknya mempermainkan ikatan pernikahan. “Zenit, siapkan makanan suamimu.” teriak Ibu dari dalam kamar. Zenit kembali melihat ponsel, sebuah senyum kini mengembang di bibirnya. “Ibu, aku harus pergi.” Ibu langsung keluar dan berteriak, “lalu bagaimana dengan suamimu?!” “Aku akan kembali secepatnya!” teriaknya lagi, “Ibu bantu aku urus dia, oke!” Zenit harus bergegas karena dia sudah mendapatkan pekerjaan sebagai pengasuh anak orang kaya. Dia tak bisa melepaskan pekerjaan ini apalagi gaji yang di tawarkan cukup besar. Mereka meminta pengasuh yang bisa menggunakan bahasa isyarat, dan Zenit ahli dalam hal ini. Dengan sangat senang, Zenit menuju Napoli. Seperti mendapatkan durian runtuh pekerjaan ini sangat penting baginya. “Selamat siang Nyonya, Tuan!” Zenit bersiap untuk di tes, tapi pemikirannya ternyata tidak sesuai dengan kenyataan, Zenit di minta untuk langsung bekerja. “Saya sudah siap untuk wawancara.” Nyonya besar berdiri, lalu mengibaskan tangannya, “tidak perlu, aku harus pergi sekarang! Anak-anak sudah mandi jadi minta pelayan untuk mengantar dirimu ke kamar mereka. Aku Olive, dan Tuan besar di sebelah ini namanya Arsenil Stenabi.” Zenit terdiam, dia melirik ke arah Tuan besar yang tampaknya tidak senang. “kalau begitu saya permisi Nyonya.” Setelah dia melangkah, Zenit mendengar pertengkaran antara Nyonya dan Tuan, di merasa iba kepada anak-anak yang memiliki keluarga seperti ini. “Nona Zenit, di sini kamar anak-anak. Mereka ada berempat, anda bis mengandalkan saya jika di perlukan.” “Terimakasih Tuan.” jawab Zenit pada kepala Pelayan, “saya akan segera berlari pada anda jika membutuhkan sesuatu.” pelayan membungkuk, lalu menghilang dari hadapannya. Pelan, Zenit membuka pintu, matanya berbinar saat melihat malaikat kecil yang super lucu, “Hey.” sapa mereka secara bersamaan. Entah perasaan apa ini, tapi Zenit merasa sangat berbunga dan bersemangat. “Hey, panggil saya Nona Zenit, mulai sekarang kita akan bermain bersama.” Mereka semua berteriak senang, dari jauh Arsenil yang menatap ke arah kamar itu pun turut tersenyum lebar. Suara hati pria ini bahkan tak terdengar, karena dia terlalu rapat menutupi dirinya sendiri. Setelah hari pertama bekerja, keesokan harinya dia meminta izin untuk mengambil pakaian dan bergegas karena jarak dari Napoli ke Pitigliano cukup jauh. “Tuan Arsenil, saya permisi dan berikan saya waktu 2 hari untuk kembali.” “Baiklah Zenit, saya bisa mengerti!” Jawabnya. Melakukan berjam-jam perjalanan tidaklah mudah bagi Zenit, tapi dia cukup khawatir dengan keberadaan Tuan Carlos di rumah orangtuanya. “Zenit, kenapa kembali?!” Dia terlihat bingung. “Suamimu sudah pergi bersama orang-orangnya, mereka bilang akan membawa suamimu ke rumah sakit.” Zenit tidak ingin membuat orangtuanya bingung, toh mereka juga tidak akan bertemu kembali. “Kau juga akan kembali ke Napoli?!” “Iya, aku hanya mengambil barang yang tertinggal. Ini uang untuk ibu dan ayah, mereka memberikan separuh gajiku bulan ini. Keluarga mereka memang sangat kaya.” “Syukurlah kalau begitu, Ibu dan Ayah senang mendengarnya.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD