Bab 3. Serangan

1073 Words
Malam itu saat mereka selesai bercinta, sebuah ledakan besar terjadi hingga semua bagian Mansion hancur berantakan. Carlos yang merupakan ketua kelompok mafia tersebut dengan penuh percaya diri keluar dari senjata laras panjang miliknya dengan tubuh polos. Dia tidak takut mati, dan dia juga lupa tidak menggunakan sehelai benangpun. “Tuan Carlos,” teriak Zenit, gadis itu berlari ke arahnya dengan membawakan celana. Tapi Carlos yang terkejut melihat Zenit semakin kesal karena gadis itu berlari di tengah serangan dengan tubuh tanpa sehelai benangpun. “Tuan, pakaian celana anda.” teriak Zenit yang membuka celana itu lebar-lebar dan memakaikan pada Carlo seperti anak kecil karena sibuk menembak. “Tuan, kaki kirinya, cepat Tuan.” Carlos yang tak peduli langsung mendorong tubuh Zenit dan terus menembak, “lihat dirimu, kau bahkan tak mengenakan sehelai benangpun. Sebelum menolong orang lain periksa dulu dirimu sendiri, sial!” umpat Carlos kesal. Zenit pun menatap tubuhnya dari atas sampai ke bawah, dia terpekik dan segera berlari masuk ke dalam Mansion. Namun bertepatan dengan itu suara orang-orang terpekik karena Carlos tertembak menghentikan langkahnya. “Tuan Carlos,” teriak Zenit yang langsung kembali berlari ke arahnya dengan tubuh polos. Dia menangis, menggoyangkan tubuh Carlos dengan tersedu, “jangan mati, Tuan!” teriaknya. “Aku sudah bilang kembali dan kenakan pakaianmu, kau nakal sekali Zenit.” Carlos melirik ke semua anak buahnya dan mereka memalingkan wajah karena tak ingin melihat tubuh Zenit yang tak menggunakan sehelai benangpun. “Kembalilah ke dalam, kenakan pakaianmu dan berkumpul di ruang bawah tanah, akan ada yang membuka ruang bawah tanah setelah peristiwa ini selesai.” Zenit menangis, “tidak bisa, saya tidak akan meninggalkan anda.” “Kau hanya merepotkan diriku, jadi aku mohon mengertilah. Bukankah kau ingin selalu berada di sisiku?! maka masuk ke dalam agar aku tetap bisa hidup.” perintah Carlos yang tidak tahu menggunakan cara apalagi untuk bicara pada Zenit. “Pergilah sekarang.” Zenit menangis tersedu, untunglah rambut panjang miliknya menutupi bagian depan dan belakang Zenit hingga dia terlihat tidak terlalu polos tanpa sehelai benang. Setelah Zenit menggunakan pakaiannya pun dia berlari ke ruang bawah tanah dimana pelayan dan pekerja berlindung di sana. “Zenit, ini sudah berapa lama?! kenapa tidak ada yang membukakan pintu untuk kita? Bukankah mereka bilang akan ada yang membukakan pintu.” Dia mengangguk, “kita tidak boleh membantah, aku takut penyerang Mansion masih ada di luar. Setidaknya kita harus menjaga amanah Tuan Carlos, dia sudah sangat baik dengan kita. Berada di sini juga demi kebaikan kita, jadi bersabarlah.” Pak Tua Goen berkata, “Apa yang di katakan Zenit benar, Tuan Carlos melakukan ini demi kebaikan kita jadi tunggu saja sampai ada yang membukakan pintu.” Entah berapa lama, mereka tidak tahu. Mungkin ini sudah beberapa hari sejak mereka terkurung. Saat tubuh mereka mulai melemah pintu ruang bawah tanah terbuka dan semua orang yang ada di sana termasuk Zenit keluar melihat matahari. “Tuan Merlin, ini sudah berapa hari?!” Zenit sangat penasaran, “Apa semua baik-baik saja?!” Dia menghela, “ini adalah hari kedua dan akhirnya kami berhasil melumpuhkan mereka. Maaf atas ketidaknyamanan ini, aku pun datang untuk memberikan kalian gaji sampai enam bulan ke depan. Tuan Carlos berharap enam bulan ke depan kalian semua sudah mendapatkan pekerjaan.” Pekerja dengan jumlah tak kurang dari 50 orang itu sangat bersyukur bisa bertemu dan bekerja dengan Tuan Carlos. Mereka di anggap seperti manusia, tak seperti majikan lain yang kebanyakan selalu menganggap diri mereka sampah. “Jadi kami tak bekerja di sini lagi?!” tanya Pak Tuan Geon. “Kami juga tak bisa memberi salam pada Tuan Carlos?!” Merlin menggeleng. “Tuan Carlos sudah terbang ke Meksiko karena luka parah yang dia alami, aku mohon kalian berdoa untuk kebaikan dirinya. Salam hangat untuk keluarga kalian semua dan kami sudah menyiapkan akomodasi untuk kalian pulang ke rumah masing-masing. Tuan Carlos pun memintaku untuk melebihkan uang agar kalian bisa membelikan oleh-oleh untuk keluarga. Selamat jalan, dan salam damai untuk kita semua.” Semua pelayan sampai tukang kebun menangis tersedu, Tuan Carlos sangat baik mereka tak bisa mengungkapkan dengan kata-kata. Hanya Zenit yang termenung seperti orang bodoh, padahal dia sudah menerima janji dari Tuan Carlos yang akan memanggilnya lagi kelak. “Zenit, kau kenapa?!” Tanya Pak Tua Geon.” Dia menggeleng, “Tuan Carlos, dia sangat mengerti kita.” hanya itu yang gadis itu ucapkan. Setelah kejadian itu, Zenit yang berharap Carlos kembali masih tinggal di Roma untuk beberapa saat. Dia bekerja dari toko ke toko sampai sebuah kenyataan membuat Zenit tak bisa berkata apa-apa. Antara senang dan sedih, suka dan duka, dia sungguh tidak bisa menjelaskannya. Hingga lima bulan setelah kejadian penyerangan itu, Zenit melihat Carlos yang melintas. Gadis itu lari dengan sangat cepat mengejar mobilnya, tapi tak bisa sama sekali terkejar. “Apa kalian tahu rombongan apa itu?!” “Sedang ada acara di gedung Peron, semua mafia berkumpul di sana. Hari ini jalanan di beli oleh mereka, kami sangat bersuka cita,” jawab salah satu penjual di sana. “Apa kau mendapatkan uang yang mereka lemparkan tadi?!” Zenit menggeleng. Memang di Roma sering sekali mengadakan perkumpulan para Mafia. Dan mafia di sini tidak sepenuhnya jahat, mereka kadang membagikan uang untuk orang-orang di jalan. Mafia mereka di gunakan untuk jual beli senjata tajam dan penyelundupan barang terlarang. Zenit yang sudah tahu lokasi pun segera menyusul, dia menggunakan pakaian seadanya hingga tak boleh masuk. Tapi Zenit bertemu dengan Tuan Merlin, dia berteriak. “Tuan Marlin, Tuan Merlin.” teriaknya lagi dengan suara yang cukup kuat. “Tuan Merlin di sini.” teriaknya lagi. Karena tak banyak yang memanggilnya dengan nama lengkap seperti itu Merlin pun mencari sumber suara dan melihat ke arah Zenit, dia mendekat dan bertanya pada gadis itu. “Ada apa Zenit?! kenapa kau masih di sini?!” Merlin heran melihat Zenit yang sangat kacau, rambut panjang sampai batas pinggang terurai, pakaian kebesaran dan sendal kayu. Sungguh Zenit terlihat menyedihkan. “Tuan Merlin, katakan pada Tuan Carlos aku menunggu di luar sini ya. Aku akan menunggunya sampai jam berapa pun, kami harus bicara karena ini sangat penting. Tuan Merlin, aku percaya padamu.” Merlin meneguk saliva, dia hanya mengangguk karena tidak mungkin Tuan Carlos mau menemui Zenit. Tapi jika tidak berbohong pada Zenit dia akan terus memaksa, “Baiklah Zenit, tunggulah di tempat yang teduh.” “Baiklah Tuan Merlin, terimakasih.” teriaknya. Tuan Merlin pun menghilang di tengah keramaian, dan Zenit menunggu sampai dia percaya bahwa Tuan Carlos sama sekali tak menginginkan dirinya.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD