Part 31

2349 Words
*** Hampir beberapa hari ini Danen memiliki kebiasan baru yang membuatnya seperti orang lemah. Lebih tepatnya berpura-pura lemah di hadapan Aludra. Ia selalu menunggu Aludra untuk mengganti perban pada tangannya. Danen tahu ia mampu untuk mengganti perbannya sendiri, sangat mampu malah. Hanya saja jika ada yang melayaninya kenapa tidak? Tanpa perduli Alex selalu mengejeknya seperti yang sekarang pria itu lakukan. "Kenapa tidak sekalian tangan kananmu patah saja, Danen? Kau sangat merepotkan Aludra. Atau jangan-jangan ini hanya akal busukmu saja agar mendapat perhatian darinya." Ujar pria itu. Dengan menikmati keripik kentang di pangkuannya. Memicingkan mata melihat Danen yang sedang duduk di seberangnya dengan Aludra yang duduk di sampingnya. Danen menulikan telinganya. Ia sudah tidak peduli lagi jika Alex mencaci makinya. Yang terpenting hatinya puas karena mendapat perlakuan baik dari Aludra. "Jangan mau diperbudak dengan Si tua itu, Aludra. Lihat saja dia, sudah berumur tiga puluh tahun tapi tak sekalipun pernah berkencan. Dia itu bos bre…….uhuk uhuk uhuk." 'Go ca' Dengan cepat Alex meraih segelas jus sawi di atas meja dan meneguknya dengan cepat. Danen mengangkat satu alisnya dengan santai. Seketika Bram tertawa terbahak di samping Alex dan Aludra hanya tersenyum tipis dengan tangan yang masih setia membalut tangan Danen yang terluka. Membalutnya dengan kain perban yang baru. "Dan karma selalu datang pada anak buah yang tak tahu diri." Tandas Danen. Danen berdiri dari duduknya ketika Aludra sudah selesai dengan kegiatannya. Ia mengangkat tangannya yang terperban. "Terima kasih." "Ya, sudah menjadi tanggung jawabku." Danen mengangkat satu alisnya dengan wajah menghadap Alex. "Sialan kau, Danen." "Ingatkan aku untuk mengajak Max ke mansion, Aludra." "Kau tak akan melakukannya." Alex meneguk jus sawi miliknya, menyandarkan bahu pada sandaran sofa dengan menaikkan kaki di atas sofa dan bersila. "Kita lihat saja nanti." Ucap Danen acuh tak acuh. "Jangan macam macam kau, Danen." "Ini rumahku Alex. Jika kau lupa. Aku bisa memasukkan Max kapanpun aku mau ke dalam sini. Lagi pula, tempat ini terlalu luas untuk hanya ditempati dengan kita. Jadi apa salahnya aku memasukkan Max kedalam sini." Alex berdecak sebal dan memakan keripik kentangnya dengan membabi buta membuat suara yang begitu berisik. Mendengar hal itu Bram mengambil bantal sofa dan melemparkannya tepat di wajah pria tengik itu. Aludra berdiri dari duduknya dengan tawa renyahnya. Tangannya menggenggam kotak P3K. "Aku harus pergi." Danen hanya merespon dengan anggukan kepala. Danen kembali duduk di sofa single nya ketika punggung Aludra sudah tak terlihat oleh matanya. "Aku malas meladeni kemanjaanmu, Alex. Lakukan itu pada kekasih kekasihmu di luar sana. Sekarang laporkan tentang plat plat mobil itu." Tegas Danen. "Plat plat itu palsu semua, Danen." "Tebakan yang benar," Gumam Danen. "Ya. Tapi tenang saja. Aku sempat menyabotase CCTV di sekitar sana. Dan menemukannya setengah jam sesudah kau pergi. Ada satu mobil kontainer lewat di sana dan mengangkut semua kerusuhan itu. Mobil kontainer yang sama yang telah mengangkut kerusuhan di depan mansion satu bulan lalu." "Pelaku yang sama," Imbuh Bram. Danen dan alex mengangguk secara serempak. "Dan soal tender di pulau Lombok, Qatar Crop tidak jadi mencabut Kendrick Group dan Wijaya properti untuk mengerjakan tender itu. Entah apa yang mereka janjikan pada pihak Qatar Crop. Dan soal surat tanah itu. Aku merasa ada keganjilan dan aku akan memeriksanya lagi." Danen menyandarkan bahunya dengan tangan kiri yang terkepal kuat di atas pahanya. Mulut beracun Chandra pasti bisa dengan mudah mempengaruhi siapapun. Tak terkecuali pihak Qatar Crop. Pria itu pasti mengatakan sesuatu yang sangat buruk pada Qatar Crop "Coba kau lihat ini," Bram menyerahkan tablet pada Danen. Terlihat rekaman seseorang yang keluar dari mobil yang berhenti di depan sebuah mobil kontainer. Dengan tempat yang sama saat Danen di serang bersama Aludra beberapa hari yang lalu. Orang dalam video tersebut terlihat keluar dari mobil tersebut dengan berjalan pincangnya. Serta topi dan kacamata hitam yang menghiasi wajahnya. 'Hasil dari tikaman Danen.' Dan topi yang dikenakannya sama persis dengan topi orang yang mengetuai penyekapan istri dan anak Dante. Pria tersebut melepas kacamata miliknya sehingga terlihat wajahnya.Pria itu juga terlihat marah dengan beberapa anak buahnya yang selamat. Pria itu pun memukuli mereka sehingga hanya darah yang terlihat dari wajah anak buahnya tersebut. Setelah merasa puas pria tersebut menyuruh beberapa anak buahnya untuk memasukan semua barang bukti beserta orang orang yang sudah tak sadarkan diri ke dalam kontainer tersebut. Dan mereka pun meninggalkan tempat kejadian. "Apa hanya video dari CCTV ini yang kau dapatkan?" Danen meletakan tablet tersebut dengan kasar di atas meja. Ia menghela nafasnya dengan kasar. Alex berdecak. Tak suka. "Lawan mu bukan orang bodoh, Danen. Tidak kah kau mengerti. Bahkan belum ada lima menit dari kepergiannya, dia sudah mengutus beberapa orang untuk menghapus jejaknya. Aku mendapatkan video ini karena salah satu dari mereka melewatkan satu mobil yang memiliki dashcam. Pemilik mobil ini selamat karena pergi berselang beberapa detik dari kepergian mereka. Dan kau hanya berkata. Hanya. Wah…. Kau benar benar bos kurang ajar. Meskipun kami ini hanya bawahanmu, tapi bisakah kau sekali-kali berbuat baik dan memberi kita semangat?" Alex menyilangkan tangannya. Dengan tatapan berapi api ke arah Danen. Sedangkan sang pelaku hanya memutar bola matanya dan melihat malas ke arah Alex. "Sayangnya kau hanya bersemangat jika menyangkut seorang perempuan, Alex. Aku sangat tahu apa yang ada di otak kotormu itu." Alex memicingkan mata sambil mendengus, "Sialan, kau." "Sekali lagi kau memperlihatkan ekspresi wajah itu. Aku tak segan segan membawa Max kesini." Seketika Alex merubah mimik mukanya. Pria itu menegakkan punggungnya dan berdehem sejenak. "Bram, kumpulkan informasi sebanyak banyaknya tentang orang itu!" "Baik." "Dan Alex aku minta kau memeriksa semua CCTV di mansion. Semua letak CCTV akan aku berikan kepadamu nanti. Aku tak ingin kecolongan lagi seperti kejadian racun pada makanan hewan hewanku." Danen berdiri dan berjalan menuju ruangan kerjanya. **** Danen menghentikan langkahnya saat samar-samar suara penuh kecemasan milik Aludra terdengar dari dalam ruang tamu. Ia berdiri di depan pintu utama dan memasang telinganya baik-baik. Sepertinya Aludra mendapat kabar buruk, karena ia sempat mendengar suara tangisan dari dalam. "Kenapa dokter baru bilang sekarang?" "....." "Baiklah, saya kesana sekarang." Danen memundurkan langkahnya, lalu berpura-pura akan melangkah masuk ketika Aludra membuka pintu utama mansionnya. Kening Aludra langsung bertabrakan dengan d**a bidangnya ketika perempuan itu berjalan terburu-buru untuk keluar. Danen hanya melemparkan tatapan datarnya pada perempuan itu. Dan benar dugaannya, perempuan itu menangis. Mata hazelnya dapat melihat dengan jelas air mata yang turun membasahi pipi merah Aludra. Namun Aludra dengan cepat menghapus air mata perempuan itu. "Tidak bisakah kau berjalan dengan hati-hati?" "Maaf, aku harus cepat-cepat pergi." Danen bergeser untuk menghadang langkah Aludra, "Kenapa kau menangis?" "A… aku tidak menangis, Danen. Ini hanya terkena debu." Aludra mengusap matanya, menghapus air matanya yang tiba-tiba turun. "Kau tidak bisa berbohong, Aludra. Aku tidak sebodoh itu." Aludra terbungkam dengan kata-kata Danen. Perempuan itu menundukkan kepala dalam-dalam. "Katakan, apa yang terjadi denganmu." "Aku tidak berbohong," ujar Aludra lirih dengan kepalanya yang masih setia menunduk. Danen menarik dagu Aludra dan langsung memicingkan mata menatap mata basah perempuan itu. Lalu dengan perlahan, ia mengusap mata basah itu. "Matamu tidak bisa berbohong, Aludra. Jadi sekarang katakan apa yang terjadi." Aludra masih konsisten menatap Danen dengan keraguan. "Aludra?" Danen memegang kedua bahu Aludra. Namun perempuan itu hanya menggelengkan kepalanya dengan lemah. "A … aku harus pergi sekarang Danen. Aku mohon." Aludra terus menatap mata Danen dengan pandangan memohon. Membuat Danen menghela nafasnya secara kasar. Melepaskan tangannya dari bahu Aludra. "Pergilah. Namun dengan syarat diantar supir." Tegas Danen yang di balas dengan anggukan lemah Aludra. Mata hazel Danen terus mengikuti langkah Aludra yang menghilang di pintu mansion. "Mulai mengkhawatirkannya?" Danen menoleh ke arah belakang, sumber dari suara tersebut. Dan terlihat Bram di sana. Bersandar pada pilar mansion. "Apa yang kau bicarakan, Bram? Aku hanya menanyakan keperluan pegawai ku yang izin saat jam bekerja apa salah?" "Benarkah?" "Dan kalaupun tidak, apa itu akan menjadi urusanmu?" Bram hanya mengedikkan bahu, lalu menggelengkan kepalanya mendengar jawaban Danen. Danen berjalan menuju ruangan kerjanya dan di ikuti Bram di belakangnya. Danen tahu jika beberapa kali pikirannya selalu menuju pada Aludra. Apa lagi sejak kejadian satu minggu yang lalu. Tak jarang ketika melihat Aludra pikirannya melayang ke hal yang tak seharusnya ada berada di pikirannya. Dan itu selalu mengganggunya. Namun akal pikirannya selalu mengingatkan tujuan awal ia mendekati Aludra. Danen membuka map yang sudah ada di atas mejanya. "Data yang kau inginkan." Beberapa foto dan sebuah dokumen, "Arga?" Tanya Danen ketika melihat sebuah nama yang tercantum pada dokumen tersebut. "Aku merasa tidak asing dengan pria ini Bram. Bukan… bukan karena saat di bali Bram. Namun …. apa dia menetap di sini Bram?" "Iya. Tuan. Dan lagi Arga adalah otak dari orang orang yang menyerang Anda saat di Bali." "Apa dia memiliki hubungan dengan Chandra?" "Hanya beberapa kali bertemu di sebuah hotel mewah dan mereka bertemu secara privat. Hanya sebatas itu yang bisa saya infokan." Danen mengangguk, "Terus awasi mereka. Jika mereka memiliki rencana pertemuan selanjutnya, kau tahu apa yang harus kau lakukan." "Ya, tentu saja." Balas Bram. "Dan apakah ia juga pernah bertemu Augra?" , "Tidak Tuan, Aku yakin Augra juga tidak mengetahui apapun tentang Arga." Ucap Bram dengan percaya diri. "Bram." Panggil Danen saat ia teringat dengan sesuatu. "Ya, Tuan." "Bisakah kau mencari tahu sesuatu untukku?" Seketika Bram menyunggingkan senyumnya. Ia tahu apa yang akan diminta Danen, "Apa itu ada hubungannya dengan Aludra?" Danen menggeram marah sambil memicingkan matanya pada Bram, "Apa maksudmu, Bram?" "Tidak ada, aku hanya bertanya." "Dan kenapa harus tentang Aludra?" "Baiklah, apa yang ingin kau cari?" Balas Bram kemudian dengan mengangkat kedua tangannya ke udara. Danen berdehem sejenak, "Cari tahu lokasi Aludra saat ini." "Jika kau ingin tertawa lakukan saja Bram. Namun jangan salahkan aku jika besok sesuatu terjadi padamu ." Ucap Danen tajam ketika melihat Bram yang menyunggingkan senyum. Seolah mengejeknya. Peringatan Danen pada Bram ternyata hanya dianggap menjadi angin lalu oleh pria itu. Membuat Danen melemparkan tatapan tajamnya pada Bram. "Aku tadi melihat dia menangis, jadi aku hanya ingin memastikan bahwa pegawai ku baik-baik saja." Dalih Danen. "Ah… maaf, aku tidak sengaja, Danen." "Keluar kau." "Sungguh aku hanya bercanda, Danen. Katakan saja apa yang kau inginkan." "Tidak, pergi kau sekarang." "Danen…." "Pergi, Bram!!!" Menyerah, Bram pun akhirnya keluar dari ruangan Danen dengan tawanya. Membuat Danen mendengus kesal dan meraih handphone nya dengan kasar. "Dimana kau?!" Teriaknya saat panggilannya terjawab pada deringan pertama. "......." "Apa yang dia lakukan di rumah sakit?" "......." "Kalau begitu, cari dia di dalam dan laporkan apa saja yang dia lakukan disana. Jangan sampai Aludra tahu kau mengawasinya. Dan jangan pulang sebelum semua urusan Aludra terselesaikan. Apa kau mengerti?" "......." "Satu lagi." "......." "Jangan sampai Bram dan Alex tahu aku menyuruhmu melakukan ini semua." **** "Apa yang kau lihat?" Tanya Danen ketika Bram dan Alex tidak berhenti melemparkan tatapan jahil padanya. "Bram, bisakah kau mencari keberadaan Aludra saat ini? Aku mengkhawatirkannya sedari tadi. Kenapa perempuan itu belum juga pulang." Danen memicingkan matanya dengan tajam, "Apa yang kau katakan, huh?" "Apa? Aku hanya mengkhawatirkan rekan kerjaku. Aku tadi melihat dia menangis jadi aku hanya memastikan bahwa rekan kerjaku baik-baik saja." Danen mengalihkan pandangannya pada Bram yang sedang menahan tawanya, "Apa kau…." "Tidak, Danen. Sungguh, aku tidak memberitahukan apapun padanya. Alex memang menguping pembicaraan kita." Seketika mata Alex membola mendengar penuturan Bram yang kelewat santai, "Aku hanya tidak sengaja mendengarnya, Bram. Enak saja kau bilang aku menguping pembicaraan kalian." Bram hanya mengedikkan bahunya acuh, "Yang kutahu memang seperti itu." "Dan itu bukanlah hal yang sebenarnya terjadi…." "Memangnya apa yang sebenarnya terjadi?" "Aku ingin memberitahumu sesuatu, tapi saat aku akan membuka pintu ruang kerjamu tiba-tiba saja aku tidak sengaja mendengar pembicaraan kalian." "Jadi sampai mana kalian tahu?" Tanya Danen tajam saat ia mulai menyadari sesuatu. Bram dan Alex tahu jika ia menyuruh seseorang yang lain untuk mengetahui keberadaan Aludra. Hening, tidak ada jawaban apapun yang keluar dari bibir keduanya. Membuat Danen mendesah dengan keras dan berdiri dengan kasar. "Mau kemana kau, Danen?" Tanya Alex. "Mengajak teman baru, aku sudah sangat kehilangan akal menghadapi kalian semua." "Hentikan, Danen. Jangan berani-berani nya kau membawanya kemari." "Ini mansionku, jadi aku tidak memerlukan izin siapapun untuk berbuat apapun semauku." "Jangan gila kau, Danen." Marah Alex. Darah seolah hilang dari wajah pria itu. Yang mau tak mau membuat Danen menatapnya dengan jenaka. "Ada apa dengan wajahmu itu, Alex. Kau tidak takut dengan aku, tapi kenapa kau sangat takut hanya untuk bertemu dengan anakku?" "Karena dia berbeda denganmu, sialan." "Apa bedanya?" "Tentu saja kau manusia dan dia tidak. Jangan membuatku mual, Danen. Hentikan kegilaanmu." "Seharusnya aku yang berkata seperti itu. Aku sudah memperingatkanmu dari awal agar tidak menggangguku tapi kenapa kau tidak pernah berhenti melakukannya." "Aku hanya bercanda, bodoh." "Apa kau bilang?!" Danen melangkahkan kakinya lebar-lebar ke arah Alex. Namun saat hendak mencapai pria itu, tiba-tiba perhatiannya teralihkan saat melihat Aludra yang berjalan tanpa daya memasuki mansion. Tepat di pukul dua belas malam. "Aludra," Panggil Danen. "......." Tidak ada jawaban apapun dari Aludra yang membuat Danen menghampiri perempuan itu. Seketika matanya menajam melihat tatapan kosong Aludra. Danen mengulurkan tangan untuk memegang bahu Aludra, mengguncangnya dengan pelan. "Aludra!" "......." Masih tidak ada jawaban apapun yang keluar dari bibir Aludra, namun air mata perempuan itu lah yang menjawab. Membuat Danen mengguncang bahu Aludra dengan sedikit kasar untuk menyadarkan perempuan itu. Sedangkan Bram dan Alex yang melihat itu pun hanya terdiam. "Aludra!!!" Teriak Danen kencang dan berhasil. Aludra tersadar dari lamunannya. Namun yang terjadi selanjutnya membuat Danen mengerutkan keningnya dalam. Aludra memeluknya sambil terisak dengan pilu. Entah apa yang terjadi dengan Aludra, ia pun tidak tahu. Yang ia tahu sesuatu buruk telah menimpa perempuan itu. Danen yang awalnya terdiam bingung pun akhirnya membalas pelukan Aludra. Ia mengusap punggung perempuan itu dengan pelan. Berusaha menenangkan Aludra meskipun ia pun tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sepertinya ia harus bertanya pada sopir yang mengantar Aludra. Danen melayangkan isyaratnya pada Bram yang langsung ditangkap dengan baik oleh pria itu. Bram langsung berjalan meninggalkan ruang keluarga untuk melaksanakan perintah Danen. Sedangkan Alex menatap tidak percaya pada Danen yang mendapat pelukan secara tiba-tiba dari Aludra. Mata Alex sama sekali tidak berhenti melemparkan tatapan menggodanya pada Danen yang juga menatapnya dengan tajam. Jika tidak ada Aludra dalam pelukannya, mungkin ia sekarang sudah bersama Max di dalam ruangan ini dan mengerjai Alex habis-habisan. Lihat saja pria itu nanti. "Ssttt, tenanglah, Aludra." Ujar Danen dengan tangan yang tidak berhenti mengusap punggung bergetar Aludra.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD