Part 25

1854 Words
********* Mobil Aston Martin Rapide warna abu abu milik Danen membuat siapa saja yang melihatnya tergoda untuk melihat ke arah mobil mewah tersebut. Tak hanya mobil yang menjadi pusat perhatian. Pemilik mobil Aston Martin itu pun juga membuat beberapa perempuan yang melihatnya terperangah kagum akan wajah dan badan yang dimiliki sang pria. Melihat visual dari pria berusia tiga puluh tahun dengan badan tegap yang berotot dengan tinggi seratus delapan puluh cm itu, mulut mereka dibuat terperangah akan kesempurnaan itu. Danen memasuki gedung Kendrick Group dengan langkah ringannya. Tidak ada yang tak tahu siapa Danen sehingga membuat beberapa orang bertanya tanya. Untuk apa seorang Gunadhya mendatangi gedung Kendrick Group yang sudah menjadi rahasia umum permusuhan di antara keduanya. Danen memasuki gedung dengan langkah ringannya. Kaki jenjangnya berhenti di depan lift yang akan mengantarkannya pada lantai ruangan sang CEO berada. Satu menit kemudian lift terbuka. Saat akan memasuki lift, seseorang mendahului langkah kaki Danen untuk memasuki ruangan balok tersebut. Seorang laki laki setinggi dirinya dengan kacamata hitam yang bertengger di hidung mancungnya, berdiri tepat di samping Danen. Saat akan menekan tombol lantai, Danen terdiam. Lantai tujuan mereka sama. Danen memundurkan langkah kakinya sehingga berada tepat di belakang pria tersebut. 'Punggung yang tak asing.' Danen merasa ada ikatan dengan punggung pria di depannya. Berusaha menggali ingatanya. Namun seketika terpaku ketika pria di depannya bersuara. " Masih di dalam lift, Bos, Sebentar lagi saya akan sampai. Baik." "......." "Anda selalu bisa mengandalkan saya, Tuan.." "Anda selalu bisa mengandalkan saya Tuan." Seketika Danen seperti di lempar pada ingatanya empat belas tahun yang lalu. Danendra terdiam kaku di balik pohon besar yang menyembunyikan tubuh remajanya. Dengan kedua tangan berlumur darah membekap mulut, tubuhnya meringkuk seperti bola. Air mata mengalir wajahnya, dalam tangisan bisunya. Menghalangi kedua matanya menatap kedua tubuh yang terbaring tak berdaya di tanah. Setiap detik berlalu sangat panjang. Menyaksikan kedua orang tuanya meregang nyawa di hadapannya. Darah terus mengalir dari d**a keduanya, dengan sorot lemah, menyuruhnya untuk segera berlari. Liburan akhir tahun yang Danendra kira akan menjadi hal paling membahagiakan di hidupnya, berubah menjadi malapetaka. Menjadi akhir dari kehidupannya. Pemuda berusia enam belas tahun itu hanya mampu mengeluarkan air mata ketika kedua orang tuanya terbunuh di depan mata kepalanya sendiri. Siapa mereka? Kenapa mereka melakukan ini kepada orang tuanya yang baik? Danen mengangkat pandangannya. Dari balik dedaunan, semua pertanyaan dalam kepala Danen terjawab. Salah satu pria berpakaian serba hitam itu memiringkan wajahnya. Danen hampir tak bisa menahan pekik keterkejutannya ketika menemukan salah satu di antara mereka adalah wajah yang begitu familiar. Yaitu Chandra, kaki tangan kepercayaan ayahnya lah yang berdiri di samping kepala ayahnya yang sudah tak bergerak dengan mata terpejam. Kedua tangan Danen terkepal kuat, bersumpah ia harus hidup. Demi membalas semua yang menimpa kedua orang tuanya. Chandra dan beberapa anak buahnya telah meninggalkan Gunadhya dan Alma, dengan keadaan yang mengenaskan di tanah berumput di halaman belakang. Saat Danen yakin bahwa tak ada orang lagi di sekitar bangunan villa dan suara mesin mobil yang perlahan hilang ditelan kegelapan. Danen melompat berdiri menghampiri kedua orang tuanya. “Ayah? Ibu?” Pemuda itu bersimpuh di antara kedua orang tuanya yang saling bergandengan tangan dengan lemah. Menggoyang-goyang tubuh keduanya dengan pilu. Berusaha membuat keduanya kembali membuka mata. Tapi usahanya tetap tak membuahkan hasil. Kedua tubuh itu masih terbujur kaku dengan wajah pucat dan mata terpejam. Untuk selamanya. Danen menangis tersedu. Menggeleng-geleng tanpa daya. Kemudian, di antara sedu tangisnya, tiba-tiba suara mesin mobil terdengar mendekat. Semakin dekat dan Danen mengangkat wajahnya. Suara itu berasal dari halaman depan villanya. Siapa? Danen kembali menatap kedua orang tuanya. Suara mesin sudah dimatikan, menyusul suara langkah kaki di tanah berumput membelah di antara udara malam yang sunyi. “Apa kau yakin Gunadhya dan Alma sudah dibereskan?” Danen mendengar suara seorang pria. “Aku harus melihatnya.” Orang itu pasti datang untuk membunuhnya. Bukan untuk menyelamatkan mereka. Tidak, ia harus hidup. Sekali lagi Danen menatap wajah kedua orang tuanya. Menanam wajah keduanya di dalam hati. Dengan derai air mata yang semakin membanjir, Danen mencium kening kedua orang tuanya. Kemudian berdiri dan berlari menghilang di balik pepohonan di sekitar bangunan villa kedua orang tuanya tepat ketika pria itu sampai di dekat jenazah kedua orang tuanya. " Anda selalu bisa mengandalkan saya, Tuan," Danen melihat tubuh se tinggi sekitar seratus delapan puluh cm yang membelakanginya. Ingin berhenti, Namun badanya mengatakan untuk terus berlari menyelamatkan dirinya. ' Ia harus selamat untuk bisa membalas dendam kematian kedua orang tuanya.' Harus. Dan semangat itu yang membawa Danen bisa berlari sekuat tenaga. Suara dentingan lift menyadarkan Danen dari lamunannya. Pria tersebut berjalan untuk keluar dari lift sedangkan Danen masih terpaku di tempatnya. ' Apa dia suruhan Augra?' Jadi selama ini Augra terlibat dalam pembunuhan kedua orang tuanya. Ini bukan pertama kalinya Chandra dan Augra bekerja sama. Kematian kedua orang tuanya juga perbuatan b***t keduanya. Danen mengepalkan kedua tangan nya dengan keras. Hingga kepalan tangannya memerah karena kekuatan yang Danen tahan pada tangannya. Mata hazelnya menggelap dan menarik nafas dengan kasar untuk mengontrol emosinya. Ia tak boleh lepas kendali. Semua rencananya harus terkendali dengan aman. Danen pun memutuskan untuk menemui Augra lain kali. Alhasil pria itu menekan tombol lantai dasar dengan kasar. Danen seharusnya curiga dengan kedekatan Chandra dan Augra. Seharusnya ia bisa menebak bahwa musuh Ayahnya itu ikut andil dalam pembunuhan kedua orang tuanya. Kenapa hal ini sampai terlewat begitu saja. Mulai sekarang ia harus lebih teliti lagi. Fakta yang ia dapatkan hari ini membuatnya semakin ingin menghancurkan Augra. Danen tak akan bisa diam. Ia akan menghancurkan Augra sama seperti ia akan menghancurkan Chandra. Dan ia pastikan semua itu akan terwujud di tahun ini. **** " Syukurlah kau sudah sembuh Max, tinggal Felix. Semoga ia juga bisa cepat sembuh sepertimu. Aku sudah merindukan gerak aktifnya." Danen terus membelai bulu Max yang halus dengan tangan kanannya. Membuat kucing besar itu terbuai dan memejamkan matanya. Selama tiga hari akhirnya Max bisa bergerak aktif lagi dan itu sebuah kabar baik untuk Danen. Setelah pulang dari Kendrick Group dan mendengar kabar Max yang sudah membaik membuatnya mengurungkan niat untuk melampiaskan amarahnya pada senjata-senjata kesayangannya. Karena ia memutuskan untuk pergi menemui anaknya yang telah pulih. Dan disinilah Danen sekarang. Berada dalam kandang Max dengan memulai sesi curhatnya dengan tangan yang tidak berhenti memberikan usapan pada badan Max. " Augra, si b******k itu ternyata juga ikut andil dalam pembunuhan ayah dan ibu. Max." Tangan Danen tak terlepas dari badan besar di sampingnya dengan pandangan yang menerawang jauh ke depan. " Dan aku tak akan membiarkan mereka tenang. Dulu aku memang hanya seorang anak berusia enam belas tahun yang tidak bisa apa-apa. Memangnya apa yang bisa dilakukan anak berusia enam belas tahun ketika melihat kedua orang tuanya terbunuh secara mengenaskan. Hanya menangis dan bersembunyi." Rasa bersalah karena tak bisa melakukan apapun saat melihat orang tuanya terbunuh membuah Danen tersiksa hingga sekarang. Bahkan rasa bersalah itu bertambah saat ia harus berpura pura tak mengetahui kejadian itu sampai sekarang. Dulu ia adalah Danen kecil yang masih berusia enam belas tahun yang lemah. Dan sekarang ia bukan lagi Danen kecil yang lemah. Ia bisa saja menghancurkan kedua orang itu sekaligus. Namun Danen tak ingin kehilangan momen kehancuran . Ia belum mendapatkan bukti yang signifikan. Danen tak ingin ceroboh. " Wah… akur sekali Ayah dan Anak ini. Kenapa kalian terlihat seperti keluarga yang bahagia dan harmonis." Kalimat itu membuat sesi curhat Danen bersama Max terhenti. Alex datang dengan cengiran andalannya. Menghampiri tempat Danen dan Max yang sedang terduduk di atas rumput di kandang Max. Danen mendengus kesal mendapat gangguan dari Alex. " Apa kau sungguh tercipta hanya untuk mengganggu kehidupan orang lain, Alex?" " Oh, tentu saja tidak. Justru aku tercipta di dunia ini untuk melengkapi kehidupan harmonis Papa dan Mama ku, Danen. Apa kau tidak mengerti jika seorang anak lahir untuk melengkapi kehidupan orang tuanya. Dan itulah tujuanku tercipta." " Yang kutahu kau ini hanya perusak suasana keluarga harmonisku dengan para anak-anak ku." "Ck ck ck, kalau begitu kau harus segera menikah agar keluargamu harmonismu terlengkapi. Ingat, umur mu ini sudah sangat tua, Danen." "Berkacalah, Alex. Apa kau juga tidak mengingat sudah umur berapa kau hingga berani-beraninya berkata seperti itu padaku. Lagi pula mau aku menikah atau tidak, itu jelas bukan urusanmu." "Aku ini masih muda, Danen. Jangan samakan aku dengan kau karena kita sudah jelas-jelas berbeda." "Ya, aku kaya dan kau miskin. Aku tampan dan kau jelek." "Heii!! Sialan sekali bibirmu itu, Danen!!" "Kau lebih sialan, Alex. Memangnya apa yang kukatakan benar bukan. Lagi pula sejak kapan aku menyama-nyamakan antara kau dan aku, huh? Asal kau tahu, otakku tidak sedangkal itu, Alex." "Sialan kau, Danen. Kenapa bibirmu itu sangat pedas. Apa kau menaruh cabe di bibirmu itu, huh?" Danen mendengus, lalu mengusap perut Max dengan lembut, " Max, apa kau tidak lapar? Aku memiliki hidangan baru untukmu dan itu sangat lezat untuk menjadi makan malammu." Max menjawabnya dengan auman yang keras. Alex membulatkan mata mendengar penuturan Danen serta auman Max yang terdengar sangat menakutkan di kedua telinganya. Ia memundurkan langkah dengan perlahan, " Hentikan bualanmu itu, Danen. Aku sungguh hanya bercanda. Sungguh, kau tidak perlu memikirkannya." Ujarnya dengan mengangkat kedua tangan ke udara, lengkap dengan wajah ketakutannya. Danen berdecih, "Tidak ada kata bercanda bagiku, Alex." "Aku bersumpah, Danen." Danen mendekatkan wajahnya pada Max, " Lihatlah pria itu, Max. Aku sungguh sudah dibuat kesal dengan manusia benalu itu. Kau boleh memakannya sekarang, Max. Kejar dia!!" Titahnya. Max dengan segera berdiri dan menatap Alex dengan aumannya. " Sialan kau, Danen!!!" Teriak Alex sebelum berlari terbirit-b***t keluar dari kandang Max dengan ketakutan. **** " Ada apa dengan wajahmu itu, Alex?" Tanya Bram dengan kening berkerut. " Tidak ada apa-apa." Balas Alex ketus. " Kau tahu, Bram. Hampir saja tadi Max mendapatkan makan malam yang lezat. Tapi sayang, makanan nya tadi langsung berlari begitu Max akan melihat?. Bram tertawa mendengarnya, sekarang ia tahu apa mengakibatkan tertekuk nya wajah Alex sedari tadi. " Diam kau, sialan!!" Teriak Alex kesal. Wajahnya memerah. Danen mengedikkan bahu acuh dan kembali melahap makanan malamnya dengan keheningan yang memenuhi seluruh ruangan makan. Alex masih menatap Danen dengan wajah penuh dendam pada sahabat sekaligus atasannyaa tersebut. Sedangkan Aludra hanya kebingungan melihat kelakuan kedua pria dewasa di depannya. Namun hanya bisa menggeleng melihatnya. Sedangkan Bram hanya bisa tertawa mendengarnya. Danen selalu menutup pembicaraan tidak berarti mereka dengan Max. Dan itu selalu berhasil dengan u*****n Alex yang menutup pembicaraan mereka. " Kenapa harus Max, sialan." " Karena dia sangat senang mendapatkan makanan lezat sepertimu." " Aku bukan makanan hewan, Danen." " Ya, memang. Tapi apa aku salah jika Max menginginkan mu?" " Ya, sangat salah, bodoh. Aku ini manusia…" " Max bisa memakan manusia, Alex. Apa kau tidak ingat dengan pria tua sialan satu tahun yang lalu? Pria tua pengkhianat yang sudah menjadi sarapan pagi Max." Seketika wajah Alex membeku mendengarnya. Bagaimana bisa ia melupakan hal sialan itu. Danen benar-benar memberikan santapan pagi yang sangat menggugah selera Max sebagai seekor singa jantan. " Ternyata kau masih mengingatnya." Tawa Danen melihat wajah membeku Alex. "Sialan." Umpatnya, lau berdiri dengan kasar dan pergi meninggalkan ruang makan. Benar-benar kehilangan selera makan ketika ingatan satu tahun lalu memenuhi otaknya karena mengingat hal menyedihkan yang selalu membuat nya mual. " Dasar manusia lemah." Gumam Bram setelah meredakan tawanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD