Bab 2: Flashback Setahun Yang Lalu

1167 Words
“Mas Wahyu! Jangan tinggalkan aku!” Pekik jerit Nadia terdengar melengking. Membuat seisi ruangan ini menjadi ikut pilu. Aku sebagai sahabat terdekatnya, hanya bisa memeluk wanita yang mengenakan gamis hitam dan selendang warna senada sebagai penutup kepalanya. Nadia begitu hancur dengan kematian sang suami yang sangat mendadak. Tak ada tanda-tanda atau firasat sedikit pun. Bahkan, dua hari sebelum kepergian Wahyu, kami sempat tamasya bersama-sama di pantai yang jaraknya sekitar satu jam perjalanan dari rumah. Aku, Mas Hendra, dan Carissa naik mobil pribadi, sedang Nadia, Wahyu, dan Alexa, anak mereka yang seusia dengan anakku, menyewa sebuah mobil LCGC. Kami sudah menawarkan untuk naik mobil Mas Hendra saja, tetapi Nadia menolak mentah-mentah dan tahu-tahu sudah sewa mobil segala. Masih melekat di ingatanku betapa sehat wal afiatnya Wahyu. Pria 29 tahun itu terlihat baik-baik saja. Dia masih kuat mengangkat kardus-kardus berisi air mineral, buah-buahan, dan bahan makanan untuk kami makan di pantai. Tak ada keluhan yang keluar dari mulutnya tentang sakit atau tak enak badan. Aku tahu benar, Wahyu memang seorang pekerja keras dan memiliki fisik yang kuat. Sejak lulus SMA, dia tak melanjutkan kuliah. Kursus otomotif enam bulan, kemudian bekerja sebagai montir di sebuah bengkel resmi kendaraan bermotor. Belasan tahun dia berkutat dengan mesin dan oli hingga tangan serta kuku-kukunya tak ayal kerap berwarna hitam. Nadia memang pernah mengeluhkan sang suami yang tidak sesukses Mas Hendra. Meskipun begitu, kutahu pasti bahwa pasangan suami istri itu sangat saling mencintai dan jarang sekali bertengkar. Harmonis, begitulah kata yang tepat untuk menggambarkan hubungan mereka. Betapa tidak, tak sekali pun terdengar di kupingku bahwa mereka bertengkar. Bahkan, Wahyu selalu mengantar jemput Nadia ke mall tempatnya bekerja sebagai beauty advisor sebuah produk kecantikan terkenal. Beda sekali dengan Mas Hendra yang super sibuk. Manager HRD perusahaan finance tersebut berangkat sangat pagi dan pulang ketika matahari terbenam. Mana sempat untuk mengantar-jemput diriku yang bekerja sebagai call center perusahaan telekomunikasi milik BUMN. Pernah terbesit sedikit iri kala melihat rumah tangga Wahyu-Nadia. Tak punya harta yang sangat berlimpah ruah seperti kami, tetapi mereka punya banyak waktu untuk bersama-sama. Weekend masih sempat jalan-jalan. Beda dengan kami. Kalau Mas Hendra ada pekerjaan mendadak, dia bisa saja berangkat ke kantor meski hari Sabtu atau Minggu. Bukan hal baru bagiku. Untuk main bersama Carissa atau piknik saja aku harus merengek dulu. Namun, saat melihat isak tangis Nadia di depan tubuh kaku Wahyu yang telah dibalut dengan kafan, sirna sudah rasa iri tersebut. Di balik rumah tangganya yang adem ayem, ternyata ada sebuah takdir yang begitu miris untuk dijalani. Harus menjadi janda di usia 29 tahun dan harus menghidupi balita berumur 4 tahun pasti sebuah cobaan yang begitu berat. Aku saja tak bisa membayangkan bagaimana pilunya menjalani takdir seperti Nadia. Mas Hendra, walaupun kamu sering cuek dan sibuk di kantor, tetaplah hidup, Mas. Aku takut jika kamu pergi lebih dahulu seperti apa yang terjadi pada Wahyu. Aku tidak ingin menjadi seorang janda, karena itu pastilah hal yang sangat berat. Ah, aku rasanya begitu takut sekarang. *** Wahyu telah dikuburkan. Kini, rumah sederhana milik Nadia telah sepi. Hanya ada orangtua Wahyu, adik ipar Nadia bersama istri dan dua anaknya yang masih kecil-kecil, Nadia, Alexa, dan diriku. Hari ini aku sengaja mengambil izin untuk tidak masuk kantor demi menemani sahabatku tercinta. Sejak Subuh aku sudah standby di sini, tepatnya ketika Nadia menelepon bahwa Wahyu tidak sadarkan diri dalam tidur. Carissa kupasrahkan kepada Mas Hendra untuk dia antar ke daycare. Mas Hendra yang biasanya cemberut kalau disuruh mengurus anak sendirian, hari ini tumben-tumbennya dengan tidak keberatan menjalankan tugas. Mas Hendra malah berpesan agar aku membantu Nadia selama masa berkabungnya ini. Alhamdulillah, aku sangat bersyukur memiliki suami yang begitu baik sekaligus pengertian, meskipun terkadang sikapnya sering dingin plus acuh tak acuh. “Nad, kamu makan, ya?” bujukku kepada Nadia dengan suara yang lembut. Wanita yang tengah memangku anak semata wayangnya tersebut hanya menggeleng lemah. Matanya masih sembab dan menatap nanar. Kasihan sekali temanku. Wajah cantiknya yang selalu terpoles make up, kini menjadi pucat tak bercahaya. “Nad, kamu dari pagi belum makan, lho,” kataku lagi. Perempuan itu masih menggelengkan kepala. Dia memeluk erat anaknya yang sedang memainkan boneka panda, sambil menangis sesegukan. “Mas Wahyu …,” panggilnya lemah. “Nadia! Jangan menangis terus. Bukan hanya kamu yang kehilangan di sini! Kami juga sama. Tangisanmu hanya akan membuat Alexa sedih. Coba kamu istighfar. Doakan yang terbaik untuk suamimu!” Betapa kagetnya aku mendengarkan gertakan dari ibu mertua Nadia yang kebetulan juga duduk di ruang keluarga bersama kami. Perempuan paruh baya dengan gamis berwarna cokelat tua dan hijab warna senada tersebut menatap tajam ke arah kami. Tak ada sedikit pun air mata yang melinang di sana. Seakan dia tak merasa kehilangan. Wajar, karena ibu itu adalah ibu tiri dari Wahyu. Aku kenal benar dengannya. Namanya Bu Laras. Galak dan tidak pernah akur dengan Wahyu maupun Nadia. “Sudah, Bu. Jangan begitu kepada anak mantu kita. Dia sedang berduka,” ucap lelaki tua yang memakai baju koko putih dan celana hitam tersebut. Itu adalah ayah dari Wahyu. “Ah, Bapak! Selalu saja ngebelain. Udahlah! Ayo, kita pulang! Bosan aku di sini hanya untuk lihat orang cengeng.” Bu Laras langsung menyambar tas tangan berwarna merahnya, lalu bangkit dari karpet yang semula dia duduki. Wanita itu buru-buru berjalan melewati kami begitu saja tanpa kata permisi. Dia pergi dengan diikuti oleh anaknya yang bernama Ridwan, adik tiri dari Wahyu. Ridwan bersama anak-anak dan istrinya juga pergi tanpa pamit. Sangat tidak sopan, pikirku. “Nadia, Bapak pulang ya, Nduk. Jangan sedih berlarut-larut. Jaga Alexa baik-baik,” kata Pak Bidin, bapak mertua Nadia. Pria bermata sendu dengan wajah tirus dan badan yang kurus tersebut menggenggam tangan sang menantu. Dia juga mengusap-usap kepala Alexa dengan penuh kelembutan. “Makasih, Pak,” jawab Nadia lesu. Perempuan itu langsung kurangkul. Kuusap-usap pundaknya, demi melegakan beban yang tengah dia tanggung. Pak Bidin pun berlalu dan meninggalkan rumah anaknya begitu saja. Aku benar-benar tak habis pikir dengan keluarga besar Wahyu. Walaupun dia memiliki ibu dan saudara tiri, bukankah di tengah suasana duka seperti ini harusnya mereka turut berbela sungkawa? Di mana hati Bu Laras dan Ridwan? Astaghfirullah! Benar-benar manusia tak punya nurani! “Riri … jangan tinggalkan aku ….” Nadia menangis di hadapanku. Bibirnya sangat gemetar ketika mengucapkan kalimat tadi. Aku yang ikut meneteskan air mata, langsung mengangguk. Kutatap wanita itu dalam-dalam sambil mengusap air mata di pipi mulusnya. “Iya, Nad. Aku nggak akan ninggalin kamu. Aku janji,” kataku mantap. “Aku … udah nggak punya siapa-siapa lagi, Ri.” Kupeluk tubuh Nadia erat-erat. Mengingat dia adalah seorang yatim piatu sejak kecil dan hanya diurus oleh sang nenek yang kini telah wafat, aku jadi bertambah sedih dengan nasib yang menimpa Nadia. Perempuan cantik ini harus bergulat dnegan kerasnya kehidupan. Ya Allah, tolong kuatkan dan mampukan aku untuk menolong saudaraku ini. Aku sangat sayang kepada Nadia. “Aku nggak sanggup tidur di sini, Ri …,” lirihnya lemah. “Kamu tinggal di rumahku, Nad. Rumahku terbuka lebar untuk kamu dan Alexa. Bertahanlah di sana sampai kamu sanggup untuk kembali ke sini lagi.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD