2. M.O.S Perfect

1421 Words
2. M.O.S Perfect Dhea menyandarkan punggungnya di sandaran kursi halte depan sekolah. Sudah lebih dari 20 menit dia menunggu, namun yang ditunggu tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Semua siswa SMA Permata Bangsa sudah keluar dari sekolah menuju rumah masing-masing mungkin, menyisakan dia dan sepasang kekasih tak jauh darinya. Berada tepat di depan gerbang sekolah yang sudah tertutup rapat. "Cih, siapa pun dipake!" Dhea mencibir. Bukan karena iri tapi lebih karena rasa tidak sukanya pada perempuan di sana. Perempuan bermuka dua berwajah ular yang sok kecantikan. "Kasian banget tu cowok, mau-maunya dikibulin," gumamnya lirih dengan senyum meremehkan di bibir. Dhea bukan tipe orang yang akan mencampuri urusan orang lain, atau berkomentar apa pun tentang kehidupan orang lain. Tapi lain cerita jika menyangkut cewek di depan sana. Akan selalu ada sebab dan akibatnya bukan. Hingga dia sampai sebenci itu. "Hei, kusut amat muka?" Dhea mendongak, menatap kesal pada cowok di depannya. Hampir saja dia menjamur karena menunggu kedatangan sang kakak terlalu lama. "Lama amat sih." ketus Dhea, wajahnya tertekuk jengkel. Dika hanya menyeringai, adik satu-satunya itu memang seringkali manja, dan suka merajuk. "Kan, adekku sayang yang nyuruh kakak tercinta jemputnya lama," Dika berucap kemudian tersenyum geli karena ucapannya sendiri. Dhea mencebikkan bibirnya. "Iuhh banget, manggil aku kek gitu." Tanpa sempat dicegah lagi, Dika terkekeh pelan, dua tangannya terulur meraih pipi berisi milik adiknya lalu menariknya bersamaan. "Jangan ngambek dong, gue nganterin temen ke bengkel dulu tadi." "Ih, lepasin. Sakit tau Kak." Dhea melepaskan dua tangan kakaknya dari pipi, kemudian dia mengusap pipinya yang terasa panas. "Hahaa ... sorry-sorry, jadi kenapa itu muka kusut." Dika masih penasaran dengan wajah kusut sang adik, tidak biasanya Dhea memasang wajah seperti itu, meski dia sendiri telat menjemput. Masih dengan dua tangan yang mengusap dua belah pipinya, Dhea hanya menjawab singkat. Acuh tak acuh. "Tau ah ...." Dika menyerah, kalau Dhea lagi mode kusut dan malas bicara seperti itu, hanya akan membuang-buang waktunya saja. Ditanya berapa kali pun jawabannya tidak ada yang memuaskan. Sesaat Dika mengedarkan pandangannya ke area depan sekolah adiknya. Dan matanya memicing menangkap sosok tidak jauh darinya. Di depan gerbang barat sekolah. Bukan gerbang utama, karena gerbang utama sendiri berada tepat di seberang halte yang tengah di tempatinya. "Dia ngapain lo lagi Dek?" tanya Dika tanpa sedikit pun mengalihkan tatapannya dari sepasang kekasih itu. Dia sama seperti Dhea. Membenci perempuan ular itu. Sedikit terkejut dengan apa yang diucapkan kakaknya, Dhea mengikuti arah pandang Dika. "Ogah banget aku berurusan sama orang kayak gitu." Dika menatap adiknya, dua alisnya terangkat tinggi meminta kepastian. Namun rasanya sama, nihil yang dia dapatkan. Mengembuskan napas, Dhea menarik tangan kakaknya, membawanya ke depan motor sport hitam yang di parkir tepat di sebelah kiri halte. "Kita pulang Kak, temenin aku nyari kelengkapan buat besok," Dika mengangguk. "Oke, tapi kalo dia macam-macam bilang ke Kakak ya." tegasnya. Dia tidak mau dan tidak bisa lagi membiarkan adiknya sendiri. Tapi harus bagaimana, dia saja bersekolah di tempat yang berbeda. Dhea mengulum senyum, memiliki kakak seperti Dika membuatnya merasa aman. Meski tidak setiap waktu sang kakak berada didekatnya. "Hahaa ... Iya, iya," sahut Dhea. "Aku sendiri juga bisa," lanjutnya dalam hati. Dhea sebenarnya bukan kesal karena cewek itu, lebih karena hari keduanya masuk SMA dikacaukan oleh kakak kelas, yang seenak jidatnya memberi hukuman. Seharian dia terus saja diawasi cowok itu. Membuat dia risih dan harus selalu menjaga sikap. Tapi, emang dasar hari sialnya Dhea mungkin. Setiap jam istirahat pun dia menemukan sang kakak kelas yang diketahuinya bernama Sammy itu, nongkrong di depan kelasnya. Membuat Dhea enggan untuk keluar kelas, membiarkan perutnya kosong tak terisi. Mungkin hanya kebetulan, karena lokasi kelasnya yang strategis, berhadapan dengan gedung kelas 11, di sisi kanan ada gedung kelas 12, lapangan di bagian tengah dan taman kecil yang mengelilingi. Juga ada koperasi tidak jauh dari kelasnya dan ruang sekretariat OSIS. Yang pasti menjadi markas cowok itu. Kenapa dia tahu? Mudah saja, ada banyak informan yang bisa memberikan informasi meski Dhea sendiri tidak menginginkannya. Misalnya, Maya, teman sebangkunya itu, yang tadinya ketakutan dengan wujud Sammy, dalam waktu singkat sudah menjadi fans fanatik cowok itu. Begitu juga dengan hampir semua cewek di sekolah. Kak Sammy itu tampan, baik, bijaksana, keren, penuh kharisma, berwibawa, suaranya itu bak air di padang tandus, mengobati dahaga dan apalah apalah lainnya. Cih, bagi Dhea, Sammy itu musuh dalam selimut. Sikap goodboy-nya hanya alasan untuk menutupi ke badboy-annya saja. "Dek, ayo naik. Bengong mulu." Dika menegur. Tersentak kaget. Dhea beberapa kali mengedipkan mata, kemudian menatap sang kakak yang sudah nangkring di atas kuda besi kesayangan. Dika tampak mengernyit dengan sorot mata penuh tanya. "Mikirin apa sih?" tanya Dika, greget melihat sang adik yang terbengong-bengong. "Bukan apa-apa," singkat Dhea, dia memakai helm yang sedari tadi sudah di tangannya lalu naik motor berpegangan pada bahu sang kakak. "Udah Kak, nanti mampir ke toko peralatan sekolah dulu ya," ujarnya lagi. Menepuk sebelah bahu Dika, memberitahu bahwa dia sudah duduk dengan benar. Dika hanya mengangguk dan mengulum senyum di balik helm fullface-nya sembari memutar kunci kontak. Setelahnya dia segera melajukan motor hitamnya. Meninggalkan sekolah yang sudah lenggang. Meninggalkan sepasang kekasih yang masih betah di tempatnya. Dan meninggalkan seseorang lain yang sedari tadi pun tak lepas memandangn dia dan Dhea dari kejauhan. Sepasang mata hitam kelamnya memicing membuat siapapun akan terpaku dengan kedalaman dan kekelaman itu. *** Dhea melemparkan sembarang belanjaannya ke atas meja belajar. Melepas tas punggungnya dan sweater-nya. Lalu menggantungnya pada tempatnya semula. Sesaat dia meregangkan tubuhnya, sebelum akhirnya merebahkan diri di atas kasur empuk kamarnya. Harinya baru dimulai tapi dia terasa sangat lelah. Sepulang sekolah sampai sesorean ini, dia dan Dika berkeliling komplek mencari perlengkapan untuk MOS besok. Pita warna-warni, tali rafia warna ungu, koran dengan tulisan sedap -yang sialnya belum juga ketemu, tas dari karung goni, kaos kaki sepak bola warna putih, kertas asturo warna orange, dan apalah-apalah lainnya. Ish, kakak kelasnya memang niat banget membuat anak-anak baru rempong. Untung semua barang itu tidak untuk langsung di bawa besok. Setiap harinya sudah dikelompokkan, benda apa saja yang harus dibawa. Bertahap. Sejenis itulah. Tapi yang namanya Dhea, dia tidak ingin menunda. Sekalian saja mencari semuanya langsung. Syukur langsung nemu sehari itu, jika belum untuk besok lagi. Yang terpenting bahan perlengkapan untuk hari besok sudah beres semua, tinggal merangkainya. Ting .... Dhea mengerjap, baru saja dia mengistirahatkan tubuhnya sudah ada yang mengganggunya lagi. Tidak berniat membuka pesan singkat itu, Dhea kembali memejamkan mata dengan sebelah tangannya terangkat menutupi mata. Sayangnya sulit sekali bagi Dhea untuk terlelap. Dia justru kembali teringat sosok Sammy yang sedang tersenyum penuh kemenangan tadi siang. Juga tatapan matanya yang terkadang memiliki sesuatu di baliknya namun sulit dibaca oleh Dhea. Tidak perlu ditanya lagi, Dhea sudah teramat jengkel pada cowok itu, mempermalukannya di depan kelas, memperhatikannya seolah dia tersangka kejahatan. Membuat semua teman ceweknya kasak-kusuk di belakangnya, mengungkapkan kekaguman mereka pada sosok Sammy. Si Perfect goodboy. Menyerah dengan usahanya untuk terlelap, Dhea membuka mata. Memandang langit-langit kamarnya yang dihiasi cahaya jingga yang temaram. Sesaat dia mengulum senyum, siluet senja yang terbingkai di langit kamarnya mencipta gradasi warna yang indah. Dia takkan pernah bosan untuk mengagumi sang senja. Di mana pun. "Dek, udah mandi belom. Buatin kakak nasi goreng dong." Mengembuskan napas, Dhea memiringkan tubuhnya, menatap pintu kamarnya yang sudah terbuka lebar. Menampilkan sosok Dika yang menyembul di sana. "Kakak laper, bikinin ya," Dika memelas, menampilkan wajah polosnya dan mengusap-usap perut. Dhea mendengkus, kakaknya tidak pernah kenal waktu untuk menyuruhnya. "Bukannya tadi udah makan." serunya tidak sedikitpun berniat untuk beranjak dari posisi rebahannya. Dia dan Dika sebelum pulang memang mampir dulu ke warung bakso. "Laper lagi, bikinin nasi goreng. Ntar kakak bantuin bikin perlengkapan MOS, gimana?" Dika menaik turunkan dua alisnya. Ah, sang kakak memberi penawaran. Benar-benar memanfaatkan keadaan. Simbiosis mutualisme. Boleh juga. Berpura-pura berpikir, Dhea mengetuk-ngetuk dagunya dengan jari telunjuk. Sebenarnya tanpa di minta pun dia sudah berniat membuat makanan. Nanti nantian tapinya. Karena dia sendiri sama, masih kelaparan. Semangkok bakso, setelah seharian tidak memakan apa pun belum cukup memenuhi asupan gizinya. "Hmm, oke deh. Tapi aku mandi dulu." Senyum Dika mengembang, "Oke sip. Ditunggu," ujarnya. Setelah itu dia keluar kamar Dhea dan kembali ke kamarnya sendiri. Kamarnya dan Dhea hanya terbatas ruang santai di tengah-tengahnya. Usia yang hanya terpaut dua tahun membuat kakak beradik itu terlihat lebih seperti sahabat. Begitu dekat seperti tidak ada rentang usia diantara mereka. Apalagi karena kedua orang tua masing-masing sibuk. Membuat mereka berdua lebih sering menghabiskan waktu berdua di rumah. Menunggu Bundanya balik dari toko, dan ayahnya pulang ngantor. Di samping juga untuk melatih Dhea dan Dika mandiri di rumah. Misalnya seperti tadi. Membuat makanan sendiri, ketika makanan di rumah sudah habis tak tersisa. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD