3. M.O.S Perfect

2328 Words
3.M.O.S Perfect Dhe, Kakak punya oleh-oleh ... -Pesan 16.40 Kamu masih ngambek ... Maafin Kakak -Pesan 17.00 Kakak bakal nungguin kamu sepulang sekolah besok ...  -Pesan 20.05 Dhe, bales sih,  -Pesan 20.20 Gak asik deh. Kakak sendiri dicuekin ... -Pesan 20.21 Dhea memejamkan matanya. Menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya pelan, mencoba kembali mengisi oksigen ke dalam paru-parunya yang tiba-tiba sesak. Membaca pesan itu selalu mampu membuat dia merasa begitu kelelahan dan berantakan. Sebesar apa pun dia berusaha tidak mengacuhkan pesan dari laki-laki itu, tetap saja pada akhirnya dia akan membuka dan membacanya. Membuat dia kembali mengingat perasaan di dadanya. Mengingat lukanya. Mengingat semua hal indah yang pernah terlewat dalam potongan kisahnya. Tak berniat untuk membalas, Dhea memasukkan ponselnya ke dalam tas sekolah. Dia tidak ingin dibuat kacau sepagi ini, meski sejak pesan itu dibaca olehnya, dirinya sudah kacau. Yang bisa dilakukannya hanyalah mengalihkan semua pikiran kacaunya dengan hal yang lebih menyenangkan. Tersenyum masam, Dhea keluar kamar. Dia sudah rapi dengan seragam sekolahnya, hanya satu hal yang belum terpenuhi. Pita warna-warni di atas kepalanya. "Kak, bantuin pasang pita sih?" Dhea berseru riang. Seolah kekacauan yang sempat singgah dalam dadanya hanyalah angin lalu. Sebagian tubuhnya menyembul di balik pintu kamar sang kakak, yang sudah terbuka setengah. Tangan kanannya menggenggam helaian pita warna-warni. Dika hanya mendengkus, dia juga sama, sudah rapi dengan seragam identitas sekolahnya. Mematut dirinya di depan cermin besar. Persis seperti seorang wanita yang senang ngaca. "Wani piro?" sahut Dika, tanpa mengalihkan tatapannya dari sosok perfect di depannya. Pantulan dirinya sendiri. Rambut hitam cepaknya diolesi gel rambut dan sudah disisir rapi. Dia mengangkat lengannya, mengendus ketiak, dan merengut karena belum menyemprot parfum. Maka yang dia lakukan kemudian adalah menggenggam botol parfum dan menyemprotnya ke seluruh tubuh. "Aku udah bikinin nasi goreng tahu," Dhea cengengesan memasuki kamar sang kakak, tanpa dipersilakan. Dika mendengkus, "Sori, penawarannya nggak mempan." Ish, Dhea memanyunkan bibirnya. Terkadang memang sang kakak tidak mau sedikit pun membantunya. Kalau dia bisa sendiri tentu tidak akan meminta bantuan sang kakak. "Bunda lagi sibuk Kak, masa iya aku minta Ayah yang bantuin." ucapnya, memasang wajah memohon, dan berkedip-kedip di depan sang kakak. Jurus ampuh untuk melelehkan hati Dika. Menghela napas, akhirnya Dika mengangguki. Dia menggerakkan dagunya menyuruh Dhea untuk duduk di atas ranjangnya yang masih berantakan. Sesaat dia menyungging seringaian tipis, melirik sebentar jam tangannya. Masih jam 06.15. "Sini aku bantuin, tapi beresin kamar ya." Briliant, Terpaksa Dhea mengangguk, toh cuma merapikan ranjang Dika. Yah, meski berantakannya super. Dika adalah tipikal laki-laki yang kalau tidur muter-muter menuh-menuhin ranjang. Seprai yang terbuka, guling yang jatuh ke lantai, dan selimut yang sudah tak lagi berbentuk, digulung-gulung, berantakan pokoknya. Dika mengulum senyum, mendekati sang adik. "Kenapa dipasang dari rumah, nanti berantakan." "Nggak pa-pa, kalau pakai di sekolah rempong," ujar Dhea. Menyodorkan helaian pita warna-warni di tangannya yang sudah dipotong rapi. "Tiap ikat, satu-satu Kak." "Hemm ..." Dika berdehem menyahuti, tanpa disuruh dua kali dia mulai memasangkan satu persatu pita warna-warni di rambut sang adik. Meski sedikit keki. Diam-diam Dhea mengulum senyum, kakak laki-lakinya memang the best. Meski sedikit keki, tapi Dika terlihat terampil dalam mengikatnya. Dhea yang melihat pantulan rambutnya yang diikat pita melirik penuh arti karena Dika tampak berbakat. Bentuk ikat pitanya tidak berantakan. Dan tidak sampai 5 menit, 12 helai pita warna-warni sudah terpasang rapi di rambut Dhea. "Makasih Kak. Kakak ganteng deh," Dhea mengedip, nyengir lima jari. Dia berdiri di depan kaca, mematut dirinya, miring kanan, miring kiri, bak model catwalk. Lalu mendesah bangga, betapa cantiknya tampilannya pagi ini. Meski tidak bisa dibandingkan dengan model-model sampul majalah, namun Dhea cukup percaya diri wajahnya bakalan menjual, dipoles dikit aja, pasti lalat-lalat akan terpeleset kalau mampir di pipinya. Dika mencebik karena pujian adiknya. "Udah, beresin. Aku turun dulu." titah Dika. Tanpa menunggu jawaban sang adik, dia sudah mengambil ranselnya dan keluar kamar. Melihat Dika keluar kamar, Dhea memberengutkan bibirnya. Tapi meski begitu, tangannya tetap saja bekerja membereskan ranjang sang kakak. Melipat selimut, menata bantal dan memperbaiki seprai yang ampun, dari dalam kasur kok bisa lepas. "Kak Dika tidur atau main bola sih," desahnya. "Besok-besok bilang Bunda deh, biar seprainya di kasih peniti biar nggak lepas," imbuhnya, lalu tersenyum sendiri memikirkan ucapannya. *** "Ingat. Kalau dia macam-macam, ancam balik," pesan Dika. Ketika Dhea turun dari boncengan motor dan berdiri di sisinya, sedang melepas helm. "Hm," Dhea memutar bola mata malas, tidak perlu ditanya lagi dia yang dimaksud Dika siapa. Dika tersenyum geli, sebelah tangannya terulur mengusak poni sang adik. Dhea memanyunkan bibirnya sebal, sebelah tangannya merapihkan kembali rambut acak-acakannya. "Jangan diberantakin lagi. Ih," sungut Dhea. Terkekeh pelan, Dika menggelengkan kepalanya. Dia selalu suka tingkah adik satu-satunya yang kekanakan. Dan dia takkan pernah bosan untuk mengganggu sang adik. Baginya Dhea tetaplah adik kecilnya. Mengabaikan kekehan Dika, Dhea menyerahkan helm putih kesayangannya yang segera Dika terima. Namun, tangan kanannya tetap menggantung di udara, menunggu sambutan jabat dari sang kakak. Sunggingan manis terpeta di wajah Dika ketika dia menjabat tangan Dhea. Kebiasaan Dhea adalah mencium tangannya, menempelkan sekilas di sebelah pipi. "Makasih Kak, aku masuk dulu." Dhea melenggang pergi, mengabaikan tatapan sinis dan tidak suka dari beberapa cewek di sekolahnya. Baginya hal seperti itu sudah biasa, dia tak peduli dibilang keganjenan, sok cantik. Nggak pantes. Dan apalah lainnya. Sejak zaman dia masih pakai seragam merah putih sampai saat ini pun, semua orang tidak pernah percaya jika Dika itu kakaknya. Mereka tidak suka jika Dika diakui sebagai kakak dan lebih tidak suka lagi ketika mereka mengira Dika sebagai gebetan apalagi pacar. Dika bagai pangeran kerajaan sedangkan Dhea hanyalah seorang upik abu. Kata mereka. Memang benar, Dika itu tinggi tegap, kulit putih, hidung mancung dan tampan. Berbeda dengan dia yang hidung nggak mancung nggak pesek juga, kulit kuning langsat khas orang jawa, tinggi pas-pasan. Meski begitu Dhea tidak pernah merendah karena hal seperti itu, dia tetaplah menjadi Dhea yang ceria dan percaya diri. Dengan keluarga luar biasa yang selalu mendukungnya. Dan lagi, Dhea juga selalu menanamkan kepercayaan diri bahwa dia cantik, imut, chubby, manis, bukankah cantik itu relatif. Dhea selalu menjadi dirinya, mencintai dirinya sendiri. Karena itu kunci agar bisa mengembangkan diri. "Pagi Maya," sapa Dhea sesampainya dia di bangkunya dan mendapati teman sebangkunya sudah lebih dulu datang. Maya mengulum senyum. Wajahnya terlihat berbinar dan ceria. "Pagi Dhea, duduk gih." Dhea mengernyit. Matanya menelisik wajah gadis berkuncir dua dengan satu bagian masing-masing terbagi lima kepang. Pita warna-warni tak lupa menghiasi rambut hitam panjangnya. Tanpa banyak tanya lagi, Dhea mendudukkan tubuhnya. Menunggu hal penting yang mungkin menyebabkan wajah Maya pagi ini secerah matahari. "Lo tahu, Kak Sammy pagi-pagi udah ke sini tadi," ucap Maya dengan semangat menggebu. "Dia ganteng banget Dhe, mirip aktor-aktor tampan Hollywood." lanjutnya tanpa sedikit pun mengurangi semangatnya. Malas menanggapi, Dhea hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Matanya sibuk mengamati perlengkapan MOS yang baru dikeluarkannya dari dalam tas. Gelang rafia, name tag kertas asturo bentuk buah apel lengkap dengan kalung rafianya, juga topi caping dari karton dan sekotak s**u Moo. Juga minuman yang wajib dibawa tiap hari. Air putih yang kayak ada manis-manisnya tapi bukan s**u. Nah, bingungkan. Bukan s**u tapi suruh manis. Air gula kali ya. "Kata Sandra, Kak Sammy udah di luar kelas sejak pagi. Sandra sendiri dia datang dari jam setengah tujuh kurang lima belas menit." jelas Maya. Tidak menyadari sedikit pun bahwa lawan bicaranya sudah jengah dan ogah-ogahan mendengarkan ceritanya tentang Sammy. "Dia juga sempat masuk kelas, cuma sebentar sih, trus keluar dan pergi. Dia sempet tanya sama siapa tuh. Lupa. Nanyain lo katanya," Kali ini Dhea membulatkan matanya, menatap horor pada Maya di sebelahnya. Bahkan mulutnya sampai ternganga. "Gue ..." Dhea berkedip tak percaya. Dia mungkin salah dengar. Tapi jika itu benar, felling nya mengatakan harinya takkan jauh berbeda dari kemarin. Maya mengangguk semangat. "Iya lo. Gue aja heran. Emang lo pernah kenal Kak Sammy sebelumnya," Dhea menggeleng cepat. Jangankan kenal. Melihat wajah cowok itu saja merupakan hal tidak baik baginya. Dhea selalu merasa diperhatikan, ditatap dengan tatapan tajam, dan ekspresi seolah-olah Sammy membencinya. Mencoba mengintimidasi dirinya. "Hm, Gue kira lo kenal. Karena cewek sekelas pada ngiri pas denger nama lo disebut dia," "Enggak lah, gue--" Tringgg! Tringgg! Bel masuk berbunyi memotong ucapan Dhea. Semua anak yang berada di luar kelas segera masuk dan menempati kursinya masing-masing. Tapi ada satu hal yang membuat ganjil semua anak dan membuat semua manusia berjenis perempuan di dalam kelas ternganga. Tak terkecuali Dhea. Dia tidak berkedip menatap sosok tampan di depan kelas. Belum ada dua menit setelah bel berbunyi cowok itu sudah memasuki kelas terlebih dahulu. Sammy tampil begitu maskulin, seragamnya melekat sempurna di tubuh tegapnya tampak licin tanpa kerutan, rambutnya dibuat sedikit acak-acakan namun mengkilap karena gel dan dasi yang dipakai longgar namun tidak terlihat berantakan. Sepatu kets-nya juga tampak bersih tanpa sedikit pun noda tanah yang menempel. Penampilan cowok itu semakin tampak keren ketika jam hitam dengan merk mahal melingkar apik di pergelangan tangan kirinya. Sammy adalah gambaran pangeran yang sesungguhnya. Tampak berwibawa, bijaksana, memukau dan juga cerdas di satu waktu. Jadi, pantas cowok itu digilai banyak gadis SMA Permata Bangsa. Cukup lama Dhea ikut terpana, namun senyum tipis dari Sammy membuatnya kembali tersadar. Cepat-cepat Dhea mengerjapkan mata dan mengalihkan tatapannya. Hampir saja dia menjadi seperti semua teman perempuannya. Terhanyut pada pesona seorang Sammy. "Selamat pagi," sapa Sammy penuh dengan kharisma dan kewibawaan. "Hari ini, saya yang menjadi kakak pembimbing kelas ini dan dua kakak lain, jadi adik-adik mohon kerja samanya dan mematuhi semua ketentuan yang kami buat," lanjutnya. Kali ini dengan penekanan dan ketegasan. Meneguk ludah susah payah, Dhea mencoba untuk tidak terpengaruh pada kata-kata Sammy. Dia merasa, ucapan itu hanya ditujukan untuknya apalagi sedari tadi tatapan cowok itu tak lepas darinya. "Kalian mengerti...?!" "Mengerti Kak!" kompak semua anak. Sammy mengangguk, dia mengedarkan pandangannya ke sekitar. "Kalian sudah membawa semua yang diperintahkan kemarin?" tanyanya. "Sudah Kak," Tanpa menunggu perintah dua kali, semua anak mengeluarkan perlengkapannya dan diletakkan di atas meja. Semua benda yang diperintahkan untuk dipakai sudah melekat di masing-masing tubuh pemiliknya. Sammy memerintahkan dua kakak pembimbing lain yang datang bersamanya untuk memeriksa. Mereka Juli dan Anna, keduanya beranjak dari tempatnya, melangkah mendekati meja-meja mengecek perlengkapan setiap siswa. Selama itu, tidak ada satu anak pun yang menjadi bahan omelan dan mendapat hukuman. Hingga mereka tiba di tempat duduk Dhea. Meja paling depan dekat pintu. Maya lolos dari pengamatan, gadis itu membawa lengkap semua barang yang diperintahkan. Dan kini tibalah Dhea yang dieksekusi terakhir. Harap-harap cemas, Dhea menatap wajah Sammy yang tertunduk ke arahnya. Dia berpikir tidak ada yang tertinggal, semuanya lengkap. Tapi kenapa mereka tak kunjung beranjak dari tempatnya. "Bukannya kemarin bagi anak perempuan rambutnya harus diikat sepuluh dengan pita?" tanya seorang kakak pembimbing cewek yang kemarin mengenalkan dirinya. Anna. "Eh ..." Dhea mengerjap. Dia menggigit bibir bawahnya. Dia salah. Kenapa? Dia sudah mengikat rambutnya. Dan menurut perhitungannya, pita yang di pakainya justru lebih dari 10. Maya teman sebangkunya mengikuti arah pandangan dua cewek itu dan detik berikutnya dia ternganga. Dia baru menyadari cara ikat rambut Dhea yang paling berbeda dari yang lainnya. Dhea membagi rambutnya menjadi dua bagian tapi keduanya dikepang susun tidak seperti teman lain yang diikat masing-masing lima kepang. Ke mana saja dia sejak tadi? Ah, mungkin terlalu terpesona dan bersemangat menceritakan tentang Sammy sampai tidak memperhatikan penampilan temannya. "Masih belum tahu kesalahannya apa?!" kali ini Juli membuka suara. Dia mengangkat sebelah alisnya sinis. Dhea hanya mendesah dalam hati. Pertanyaan sama seperti yang kemarin. Haruskah dia menyerah seperti kemarin atau memperjuangkan yang tidak tahu apa. Tak tahu harus berbuat apa, Dhea menggelengkan kepalanya. Menunduk dalam, menatap rumbai-rumbai rafia yang terpasang apik di pergelangan tangannya. "Kamu bener-bener niat bikin masalah ya. Mengabaikan perintah gitu aja." geram Juli. Dia adalah tipe cewek yang sumbu kesabarannya hanya sejengkal tangan bayi tujuh bulan, kecil dan pendek sekali. Bahkan sedikit aneh jika cewek itu yang dipasangkan dengan Sammy yang terkenal goodboy dan Anna yang kalem dan pengertian. Juli dilihat dari sisi mana pun tampak centil, ganjen, sok cantik, bahkan sekolah pun wajahnya dipoles make up. Ceriwis, dan kelihatan menyebalkan sekali sikap dan bicaranya. Dhea mendongak menatap dua mata sinis yang sedang memandangnya. Dia melemparkan tatapan tak kalah sinis. Dalam hatinya dia sudah melemparkan sumpah serapahnya. Seenaknya saja cewek di depannya mengatakan hal yang tidak benar padanya. Dhea tidak berniat membuat masalah dan dia tidak abai pada perintah. Sekilas, Dhea melirik ke arah Sammy yang kini sudah bersandar di kusen pintu. Dua tangannya bersedekap di depan d**a. Tidak peduli dengan apa pun yang mungkin Dhea perbuat. "Enaknya, ini anak diapain Na, gunting sekalian apa rambutnya." Juli kembali berucap meminta pendapat Anna yang sejak tadi masih bungkam. Dhea menggeram. Dua tangannya terkepal di atas meja. Hampir saja dia menggebrak meja dan melontarkan ucapan kasar pada cewek di depannya. Andai saja dia tak teringat kata-kata bunda tadi pagi, yang menyuruhnya untuk jadi anak baik dan tidak membuat masalah di sekolah. Seperti yang selalu dia buat semasa sekolah menengah pertama. Sekuat tenaga Dhea meredakan amarah yang sudah di ubun-ubun. "Tapi nggak deh, terlalu mainstream," kata Juli kemudian mengetuk-ngetuk dagunya berpikir. "Hmm ... kita kasih tanda aja di wajahnya," Dhea tetap bungkam, rahangnya terkatup rapat, dengan sepasang mata tak lepas menatap Juli di depannya. Bukan Dhea tidak bisa melawan tapi dia hanya tak ingin menambah masalah di sekolah yang baru beberapa hari dia tempati. Senyum merendahkan Juli kembali terukir di bibirnya, sebelah tangannya kini menggenggam spidol hitam yang baru diambil di saku bajunya. "Anak baru jangan belagu, sini aku tandain jidat kamu," Maya teman sebangku Dhea tak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya tak menduga kakak pembimbing MOS kali ini akan berbuat kelewatan seperti itu. Dia juga kebingungan dengan sikap Sammy yang masih terlihat tak peduli, padahal sebelumnya dia mendengar bahwa sikap Sammy selama ini baik. Menjauhi k*******n dan tindak pembullyan. Yah di luar hukumannya pada Dhea kemarin. Tapi yang lebih membuatnya kebingungan adalah Dhea. Teman sebangkunya itu adalah tipe yang tidak mudah pasrah dengan perlakuan orang lain. Seringaian licik semakin tersungging di bibir Juli, sebelah tangannya yang lain menarik paksa poni tergerai Dhea. Dhea meringis kala rambutnya ditarik paksa. Rasanya jambakkan itu dilakukan dengan penuh kekuatan. Berkali-kali dia mengumpat dan menggumam dalam hati, suatu saat dia akan membalas perlakuan kakak kelas semena-menanya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD