4. M.O.S Perfect

1690 Words
4. M.O.S Perfect Tidak ada niatan untuk mencegah tindakan semena-mena sang kakak kelas, semua anak di kelas 10 B hanya menatap miris dan kasihan pada teman seperjuangan mereka. Beberapa centi sebelum spidol yang Juli genggam itu menyentuh dahi Dhea, gadis itu mengalihkan tatapannya. Melirik dinding bercat krem bersih di sebelahnya. Bibirnya masih terkatup rapat, namun di dalam hati dia tak henti mengumpat dan menyumpah serapahi kakak kelas kurang ajarnya itu. Hingga tiba-tiba saja .... Prakk...!!! Semua orang terkejut dan terpana dalam waktu bersamaan. Sammy. Cowok penuh karisma yang sejak tadi terlihat tidak peduli itu pada akhirnya menggerakkan tangannya. Dia menampik cepat spidol hitam dalam genggaman Juli sebelum menyentuh dahi Dhea. Melemparkannya hingga terjatuh di lantai dan menabrak dinding kelas bagian depan. Mata hitam kelamnya menyorot penuh makna pada gadis yang masih ternganga memandangnya. Seolah kejadian yang baru saja terjadi hanyalah imajinasi bagi Dhea. "Biar ini anak gue yang urus. Lo nggak usah nyentuh apalagi ngotorin tangan lo." tegas Sammy. Dia mengalihkan pandangannya, menatap tajam pada Juli yang masih menatapnya tak percaya. Detik berikutnya, Sammy kembali menggulirkan tatapannya pada Dhea. Kemudian menyungging senyum tipis. Mungkin tidak bisa dikatakan senyuman tapi lebih pada seringaian. Tersadar akan hal yang mengancamnya kemudian, Dhea hanya bisa menelan ludahnya susah payah. Berusaha membasahi kerongkongannya yang kering sedari tadi. Harinya baru dimulai. Dia akan menjadi bulan-bulanan Sammy atau menjadi salah satu pengikut laki-laki itu. Entah, Dhea harus bersyukur karena Sammy membantunya atau tidak. *** Bel istirahat sudah berbunyi sejak beberapa menit yang lalu, hampir semua penghuni kelas sudah mengosongkan bangkunya. Tertinggal Dhea dan beberapa anak lain yang enggan beranjak dari duduknya, lebih memilih menghabiskan waktu istirahatnya hanya di dalam kelas. Dhea melipat kedua tangannya di atas meja, membenamkan wajah di antaranya. Kedua matanya terpejam, meresapi setiap detik waktu tenangnya. Namun, belum ada 5 menit dia terpejam, sebuah ketukan keras di mejanya membuat dia terlonjak kaget. Secepat kilat dia menegakkan tubuh dan mendongak, menatap garang pada si pengganggu di depannya. Sammy tersenyum miring penuh kemenangan. Tidak sia-sia usahanya untuk mengagetkan Dhea, karena reaksi yang diterimanya sempurna seperti yang dia harapkan. Menghela napas, Dhea mengerjapkan mata. Tatapannya berubah tidak segarang tadi. Sadar jika menatap Sammy seperti tadi, hanya akan dibalas dengan tatapan yang lebih menyebalkan. Mana mempan dia kalau berusaha mengintimidasi Sammy. "Beliin gue jus sama gorengan. Dua porsi," ucap Sammy, dia meletakkan uang 50 ribuan ke atas meja Dhea. Mengernyit tak paham, Dhea menatap Sammy penuh pertanyaan. Mulutnya terbuka kemudian tertutup kembali tanpa suara sedikit pun. "Buruan, itu hukuman lo dari gue." Tidak mengucapkan apa pun, Dhea menyambar lembaran warna biru itu dengan geram kemudian melesat keluar kelas, dia paham betul beberapa anak perempuan yang tinggal di dalam kelas sejak kedatangan Sammy memberi atensi lebih padanya dan Sammy. Tak butuh waktu lama, Dhea tiba di area kantin. Kerumunan dan antrian yang mengular menjadi pemandangan yang menyambutnya setibanya dia di sana. Tersenyum tipis, Dhea mengambil jalan pintas yang tidak banyak diketahui orang. Dia membalikkan tubuhnya, melewati pinggiran bangunan kantin dan menelusup masuk lewat pintu belakang. Yang langsung disuguhkan dengan dapur kantin. Dengan penuh rasa bangga karena ide briliant-nya, Dhea menerobos kepulan asap penggorengan. Dia berhenti tepat di sebelah ibu-ibu kantin yang sedang sibuk membolak-balik gorengannya. "Maaf Bu, saya beli jus sama gorengan dua porsi ya," ucapnya lantang. Ibu-ibu kantin bertubuh gempal itu sedikit berjengit kaget. Dia menoleh menatap Dhea di sebelahnya. "Pesannya di depan Neng, Ibu lagi sibuk." sahutnya. Bukan Dhea namanya jika tidak bisa bersikap baik. "Saya bantuin ibu goreng, ibu ambilin pesanan saya ya." ucapnya sembari memasang wajah memohon. "Emang bisa Neng," Dhea mengangguk cepat. "Bisa Bu," Sang ibu kantin tampak berpikir sejenak. Sebelum akhirnya menganggukkan kepala. "Hmm, jus apa Neng?" tanyanya. Membulatkan matanya, Dhea merutuki kebodohannya yang pergi begitu saja tanpa menanyakan lebih rinci pesanan Sammy. "Emm, apa aja deh buat Kak Sammy Bu," "Ohh, buat Nak Sammy toh, ya sudah tunggu di sini Neng, Ibu ambilin." Setelah mengatakan itu, sang ibu kantin berlalu. Meninggalkan Dhea yang diliputi kebingungan dan tanda tanya besar. Apa Sammy sepopuler itu sampai ibu kantin saja paham? Ahh, sebodo. Mau dia populer atau kuper bukan urusan gue. Dhea bermonolog di dalam hati, sembari menunggu ibu kantin dan menunggu makanan dalam penggorengan di depannya matang. Memang kalau rezeki tidak ke mana. Tak harus mengantri panjang dan berdesakkan, Dhea sudah mendapatkan apa yang diinginkannya. Senyum penuh kemenangan terukir di bibirnya. Dia melenggang di koridor dengan dua tentengan tas plastik dimasing-masing tangannya, mengabaikan tatapan penuh selidik dari orang-orang yang di lewatinya. Hingga dua mata hazelnya menangkap sosok Sammy dari kejauhan. Cowok itu tengah ber-ungkang kaki di kursi koridor depan kelasnya. Gayanya yang sok cool dengan headset terpasang di telinga membuat Dhea jengah dan semakin geram. Sesampainya di dekat Sammy, dia meletakkan kasar bungkusan makanan yang sejak tadi dibawanya. Tepat di sebelah cowok itu duduk. Sedikit berjengit, Sammy menatap Dhea dengan sebelah alis terangkat. Dia melepas headset di dua telinganya. Lalu tanpa menunggu apa pun. Dhea segera beranjak dari tempatnya, hingga suara cowok menyebalkan itu terdengar. "Kenapa lo diem aja?" ungkap Sammy. "Haa ...?!" Dhea mengerjap. Kemudian membalikkan tubuhnya dan menundukkan kepala menatap Sammy tidak mengerti. Sammy berdecak kesal, dia bangkit dari duduknya dan berdiri sejajar dengan Dhea. Matanya memandang remeh pada gadis di depannya. Kemudian jari telunjuk kanannya dia angkat dan arahkan tepat di depan dahi Dhea. Dengan sekali gerakan dia dorong kepala gadis itu. "Lo itu bodoh, apa emang nggak punya otak." cibirnya. Dhea melotot, dia tidak terima jika dirinya dikatai seperti itu bahkan oleh orang yang tidak mengenalnya. "Maksud Kakak apa sih?" sergahnya. Dia kembali tersulut emosi. Dia sungguh tidak mengerti pada ucapan dan sikap sang kakak kelas. Tidak terbaca. "Cih, apa lo emang sebego itu! Kalau gue suruh lo buat nyebur ke laut, lo nurut gitu aja!" Sammy kembali mencibir, kekesalan jelas terpeta diraut wajah tampannya. Mengetatkan rahangnya, Dhea semakin tak mengerti dengan arah pembicaraan Sammy. Wajahnya memerah menahan emosi. "Terserah Kakak mau bilang apa!" katanya tegas. Tak ingin memperpanjang perdebatan tak berarah itu, dia segera berlalu. Menjauh dari Sammy dengan langkah cepatnya kembali ke kelas. Sementara itu, sepeninggal Dhea, Sammy menjatuhkan tubuhnya, kembali duduk di kursi tadi. Dia sempat ingin mencegah Dhea namun diurungkan. Melihat kekesalan di wajah gadis itu hanya membuat dirinya semakin tak bisa mengontrol emosi. Jika itu terjadi, bisa saja kata-kata yang lebih kasar dari tadi keluar dengan mudah dari lidah tajamnya. Tapi, dia tidak suka Dhea dikerjai Juli seperti pagi tadi. Hanya dia yang boleh, tidak dengan orang lain. *** Dhea menggulirkan tatapannya ke sekeliling. Kali ini dia dan semua teman sekelasnya sedang diajak berkeliling sekolah. Ada empat kakak pembimbing yang kali ini mengawal, dua di depan, dua di belakang rombongan. Menjelaskan ruang-ruang yang dilewati. Mulai dari Lab. Bahasa, Lab. Komputer, Perpustakaan, dan semua Lab IPA. Semua anak berdecak kagum ketika melewati lapangan basket. Kenapa? Soalnya semua dinding pembatas lapangan dihiasi dengan Grafiti yang indah-indah. Coretan tangan yang penuh makna di dalamnya. "Tiap tahun ada event yang melombakan grafity dari tiap kelas. Tepat setelah ulangan semester satu." jelas Ridho yang mengerti akan keterpanaan dari junior-juniornya. Serempak semuanya mengangguk dan ber-oh ria. "Karena sudah di sini, sekalian kita latihan PBB," kata Ridho antusias. Dan kali ini semua junior kompak menoleh menatap kakak kelasnya. PBB. Panas terik seperti itu. "Ayo, masuk. Pas banget lapangannya lagi nggak dipake." Tanpa membantah, semua anak mulai memasuki lapangan. Meski tak sedikit yang mengeluh panas walaunpun baru beberapa menit berada di sana. "Satu regu berisi tujuh orang. Kita bagi empat kelompok. Karena satu kelas ada 30. Jadi ada dua kelompok yang 8 orang." intruksi Anna. Dengan pembagian dari kakak pembimbing, semua regu sudah rapi terbagi. "Panas," keluh Maya yang berdiri di sebelah Dhea. Dhea mengangguk sembari mengelap dahinya yang basah keringat. Dijemur di siang bolong di tengah lapangan yang gersang membuat keringat tak urung terus mengalir. "Baju gue lengket banget rasanya," kali ini Sandra yang berucap. Benar saja karena keringat yang terus mengalir dari leher sampai ke punggung. "Mereka nggak kepanasan atau gimana ya." decak Maya melihat dua kakak pembimbing yang masih asyik menginteruksi dua regu di tengah lapangan. "Tau lah. Yang jelas gue haus banget," kata Dhea. Beberapa kali dia meneguk ludahnya. Dia sendiri sedang beristirahat ditepi lapangan, setelah tadi dilatih PBB. Suara tepukan tangan, mengambil atensi semua anak. Ridho berdiri di tengah lapangan, melambaikan tangan meminta semua anak berkumpul. "Karena udah terik banget. Dan kakak rasa kalian pasti capek, jadi latihan PBB nya cukup sampai di sini," kata Ridho. Desahan lega lolos beriringan dari setiap junior. Merasa siksaan mereka akhirnya selesai. "Ah, satu lagi. Kakak harap kalian bawa parfum," "Buat?" serempak semuanya. "Kalian kan keringatan pasti bau deh seragamnya." Ridho tergelak, disusul dengan tawa dari semua kakak pembimbing lain. Berbanding terbalik dengan anak kelas 10 yang mencibir kecil. Memangnya siapa yang membuat seragam mereka bau karena keringat dengan muka luar biasa kusut. *** Bel pulang baru berbunyi lima menit yang lalu. Namun Dhea sudah keluar kelas dengan langkah tergesa, melawan arus anak-anak yang pulang lewat gerbang utama. Sendiri, dia berjalan ke arah belakang sekolah. Seingatnya ada pintu keluar di belakang sekolah tepat di sebelah kantin. Dia tidak ingin keluar lewat gerbang utama atau pun gerbang samping. Sayangnya, belum sempat Dhea menginjakkan kakinya di pintu sebelah kantin, manik hazelnya menangkap sosok yang paling ingin dihindarinya juga. Sammy. Cowok itu memang tadi pagi memaafkan tingkah Dhea yang kesal, lalu pergi begitu saja, tapi tetap saja mata hitam kelamnya tak lepas mengintimidasi. Menghentikan langkahnya, Dhea menimbang-nimbang untuk tetap melanjutkan rencananya atau justru berbalik. Jika dia tetap keluar lewat pintu sebelah kantin, Sammy akan melihatnya dan kemungkinan cowok itu akan menghentikannya. Sammy itu seperti tidak bisa melepaskan Dhea begitu saja, dia akan mencari-cari kesalahan sekecil apa pun. Dia akan mengoceh dan mencemooh dulu sebelum membiarkan Dhea lepas. Dan memerintahkan gadis itu apa pun yang diinginkan. Membulatkan matanya, Dhea segera berbalik. Sammy sudah mengetahuinya bahkan cowok itu tengah berjalan ke arahnya. "s**l ..." rutuk Dhea. Dia berlari kecil menjauh, kembali memasuki arus siswa menuju gerbang utama, karena dia tidak ada pilihan lain. Berurusan dengan Sammy hanya akan membuat darahnya mendidih. Lebih baik dia menyelamatkan diri dari singa kelaparan yang tidak akan melepaskannya begitu saja. Dhea memilih kabur. Tidak apa dia dibilang pengecut, atau apalah itu, yang jelas dia sudah cukup lelah mengikuti kemauan Sammy seharian ini. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD