Bab 2

1995 Words
Kelas 1 SMA Disa berdecak gelisah. Hampir seperempat jam dia menunggu Revan di depan pagar rumahnya, tapi cowok itu belum datang juga. Padahal Revan tidak pernah telat menjemputnya sekalipun. Justru biasanya cowok itu sudah teriak-teriak di depan rumahnya karena sebal menunggunya. Tapi sekarang, kenapa dia belum datang juga? Cewek itu menoleh ketika Pak Sahid -satpam rumahnya- mendorong pintu pagar lebih lebar. Saat melongok ke dalam, Disa melihat mobil Jaguar hitam papanya meluncur keluar. Mobil itu berhenti tepat di samping Disa. Kaca mobil di depan Disa turun perlahan. “Revan belum dateng?” tanya Papanya. Disa menggeleng. Cemberut di wajahnya makin jelas terlihat. “Ya udah, naik.” Disa berpikir. Tak sampai tiga puluh detik, cewek itu akhirnya membuka pintu mobil dan masuk ke dalam. “Pa, anterin Disa ke rumah Revan aja.” “Oke.” Mobil kembali melaju. Rumah Disa dan rumah Revan tidak terlalu jauh. Hanya berbeda beberapa blok saja. Cukup ditempuh dalam waktu lima menit. Saat sampai di depan rumah Revan, Disa langsung turun. “Thanks Pa.” Tanpa sungkan-sungkan Disa membuka pagar dan saat sampai di depan pintu rumah bercat putih gading itu dia langsung memencet bel rumah. “Assalamualaikum….” Tak lama pintu dibuka. Disa tersenyum ramah karena ternyata Bu Diana, Mama Revan yang buka  pintu. “Eh, Disa…” “Pagi Tante, Revannya udah berangkat?” tanya Disa sopan. Bu Diana memandangnya ragu. Tapi akhirnya beliau menghela nafas. “Masuk dulu deh.” Disa mengernyit. Sebenarnya dia hanya ingin tahu Revan sudah berangkat atau belum. Sama sekali tidak punya keinginan untuk bertamu walaupun sebentar. Tapi dia menurut. Dia masuk lalu mengikuti Bu Diana ke kamar Revan. Saat pintu kamar cowok itu di buka, Disa kaget. Mulutnya ternganga, sambil mendesis tanpa suara cewek itu bertolak pinggang sambil mendesis-desis emosi. Bu Diana langsung bergegas menghampiri putranya. “Van, Bangun!” Suara Bu Diana terdengar tak sabar sambil mengambil paksa selimut yang dari tadi menutupi badan Revan.             “Errr, lima menit.” sahut Revan malas sambil menarik selimut lagi. ”Udah jam berapa ini?” geraman lemah Bu Diana mulai terdengar. Sudah pasrah saat tubuh Revan sama sekali tak merespon. Akhirnya dia mundur dan menghampiri Disa di ambang pintu.             “Dis, coba kamu deh yang bangunin.”             Disa mengangguk. Setelah Bu Diana pergi, dia menghampiri tempat tidur Revan dengan kesal.             “Revaaaan!” Cowok itu mencelat bangun seketika. Kaget luar biasa. ”Lo ngapain di kamar gue?” Disa memutar bola mata melihat tampang Revan. “Lo pikir sekarang jam berapa?”             “Emang sekarang jam berapa?” tanya Revan sambil kucek-kucek mata.             “Jam tujuh kurang seperempat!”             Revan menoleh serta merta. Matanya terbelalak kaget, lalu tanpa banyak tanya lagi dia mencelat dari atas tempat tidur. Sibuk sendiri menyambar handuk dan cepat-cepat lari ke kamar mandi.             Hhhhh! Disa sampai kesal dibuatnya. Dia lihat jam lagi. Seperempat jam lagi bel masuk berbunyi. Apa mereka bisa mengejar waktu? Belum lagi kesalnya hilang, dia mendengar Revan teriak dari kamar mandi. “Diiiiiis! Tolong ambilin baju gueeee!”             Disa melotot, tapi kemudian dia menghela napas keras. Dasaaaar!             Bu Diana yang mendengar perintah Revan itu memandang Disa dengan raut wajah tak enak hati. “Aduuuh, sori Dis. Anak itu emang keterlaluan. Biar Tante aja yang ambil.”             “Nggak usah Tante.” Disa senyum lagi.”Revan biar Disa aja yang urus. Nggak papa kok.”             Bu Diana menatap Disa lamat-lamat. Lalu akhirnya tersenyum pada cewek itu. ”Makasih ya Dis. Untung ada kamu. Jadi Tante bias tenang ninggalin Revan. Tante ke kantor dulu ya.”             “Iya Tante.” Bu Diana menepuk pundak Disa lalu beliau meninggalkan kamar Revan.             Sedang Disa dengan setengah berlari ke ruang laundry dan mencari seragam OSIS Revan. Perasaannya makin kesal saat didapatinya seragam Revan masih kusut! Dan mau tak mau dia harus setrika juga baju itu! Arrrgh. Kayak dibayar berapa aja! s**l memang kalau berteman dengan cowok itu. Merangkap jadi apa aja bisa! Bisa jadi sahabat, bisa jadi pembantu, bisa jadi ibu, walaupun jadi majikan juga sering.             “Sini?” pinta Revan waktu keluar dari kamar mandi. Cowok itu benar-benar bertelanjang d**a hanya pake handuk.             “Nih. Cepet,” Habis menerima seragam OSIS-nya Revan Cuma nyengir kuda dan nyelonong ke kamarnya.             Sedangkan Disa bergegas ke meja makan dan membuatkan sepiring roti isi untuk Revan. Saat masuk ke kamar cowok itu Revan baru pakai celana. Cowok itu malah memfokuskan matanya ke roti isi yang Disa bawa.             “Tengkyu maniiis.” Revan yang baru saja memasukkan kedua lengannya ke kemeja langsung menjulurkan tangan dan mencomot satu potong roti yang langsung dilahapnya.             “Nggak usah ngerayu.” Revan nyengir. ”Cepet makan.” runtuk Disa. Tangannya sibuk mengancingkan baju Revan. Setelah selesai, Disa membawa sisa roti isi bersamanya. Membiarkan Revan menyambar tasnya dan mengekor terus ke mana piring itu pergi.             “Ayo entar kita telat.”             Disa benar-benar kesal dengan ulah Rafan. Dia menoleh ke arah jam dinding lalu menjerit kaget. “Van, kita telat, Van!”             revan tahu. Sisa waktu hanya sepuluh menit lagi. Mau tidak mau dia harus meninggalkan roti isi yang dikejarnya tadi.            Keduanya langsung berlari keluar rumah. Revan berlari ke garasi lalu mengeluarkan motor Ninjanya. Cepat-cepat Disa naik, menutup mata dan memeluk perut Revan erat-erat sambil mulut merapal doa.             Entah berapa cepat Revan mengendarai motornya. Yang Disa tahu, dia merasa terbang. ---Sampai di sekolah sudah jam tujuh lebih sepuluh menit. Gerbang sudah ditutup. “Aduh, gimana ini?” Disa tanpa sadar memukul-mukul bahu Revan. Revan tidak merasa sakit sedikitpun akibat pukulan Disa. Dia melihat gerbang dan berpikir. Pak Robin sedang bersandar di pos security. Memandang ke jalanan kalau-kalau ada anak yang datang terambat. Jalan kompromi sudah jelas tidak akan bisa di tempuh. Pak Robin paling tidak suka negoisasi. Wataknya keras. Sekali tidak, tetap tidak. Juga tidak mudah dirayu. Sedangkan tidak ada jalan lain lagi kalau ingin masuk kecuali pintu itu. Revan menghela napas sambil melihat ke kanan kirinya. Matanya mencari-cari dan kemudian terhenti melihat anak jalanan yang sedang berjalan lemas tak jauh dari keduanya. Tiba-tiba saja Revan menyeringai. “Pssst!” Revan memanggil anak laki-laki itu. Disa yang duduk di belakangnya mendongak. Wajahnya tetap menyiratkan tanya. Dipandanginya anak laki-laki umur delapan tahunan itu yang makin mendekat. Saat anak kecil itu sampai di samping mereka, Revan mencondongkan tubuhnya ke anak itu dan membisikkan sesuatu. Disa juga mencoba mencondongkan badan sekedar untuk mendengar apa yang Revan bisikkan. Tapi suara Revan terlalu lirih. Dia sama sekali tidak mendengar apa-apa. Tahu-tahu Revan sudah menegakkan badan lagi dan merogoh saku lalu mengeluarkan uang lima ribuan dari dalamnya. “Ini buat kamu.” Mata anak kecil itu berbinar ceria. Di rebutnya uang itu dan langsung dilesakkannya ke saku celana pendek usangnya. “Bisa kan?” tanya Revan memastikan. Anak itu nyengir lebar. “Beres.” jawabnya. Lalu dia melangkah mendekati gerbang sekolah dengan langkah tergesa. Disa makin penasaran. “Lo tadi bisik-bisik apa sih?” Revan diam saja. “Vaaan!” di pukulnya lagi punggung cowok itu. “Nanti juga lo tahu.” jawabnya. Tetap fokus menatap anak kecil itu. Disa jadi ikut-ikutan melihat ke arah gerbang. Anak kecil itu sekarang sudah sampai di depan gerbang. Pak Robin yang terkenal keras itu tampak kaget dan kebingungan melihat ada anak kecil yang dekil mendekat dan menangis meraung-raung. Anak kecil itu seperti berkata sesuatu dan itu membuat Pak Robin makin kaget. Dengan cepat Pak Robin membuka gerbang dan keluar. Anak itu berjalan tergesa dan Pak Robin mengikuti. Mata Revan mengawasi mereka yang makin menjauh dan saat keduanya sudah hilang dari pandangan, Revan menyalakan motornya dan langsung melesat melewati pintu gerbang yang terbuka lalu mematikan motornya. Di tuntunnya motor itu dibantu Disa yang mendorongnya dari belakang ke tempat parkir. Setelah motor terparkir, keduanya langsung berlari ke kelas.             Sampai kelas ternyata Pak Ghofar guru Kewarganegaraan mereka sudah ada di dalam.             “Maaf Pak, telat.” Revan bikin pernyataan. Untungnya Pak Ghofar adalah guru baik yang tidak senang marah-marah. Beliau hanya mengangguk dan mempersilakan mereka masuk.             Keduanya lalu duduk. Sampai di bangkunya, Disa menghela napas panjaaaaang sekali. Dia seperti habis melewati hutan belantara yang dihuni macan dan buaya. Dan dia baru saja melewatinya. ---             Disa ketawa waktu lihat Rora jatuh terjengkang kesandung kaki Revan. Hasilnya.... rok bagian sampingnya sobek lima belas senti.             “Revaaaaaaaaaaan!!!!” Revan langsung tancap gas sambil ketawa dikejar Rora dengan sapu di tangan. “Gue bunuh lo!” Revan makin cepat larinya pake loncat-loncat segala ke kursi. Saat Rora makin mengeluarkan uap di kanan kiri lubang telinga, Revan pakai cara terakhir, dia berlari ke arah Disa. ”Diiiiis, tangkep Dis tangkep!” seru Rora.             Revan tak membiarkan itu terjadi, dia mengambil posisi di belakang Disa dan berlindung di belakang punggung cewek itu. Disa mau tak mau harus mengkhianati sahabatnya. Dia lebih membela Revan dari pada Rora. ”Ra tenang dulu Ra, tenang.” Disa angkat suara. “Dis, awas!“ Rora memukul-mukulkan gagang sapu ke puncak kepala Revan, tapi tidak kena. Makin lama Revan mencibir. “Ra, seksi tau!” teriakan disambut tawa yang menggema dari teman-temannya. Disa berbalik menghadap Revan dan mendelik galak. Setelah itu Revan diam seketika. “Sori Ra, Revan nggak bermaksud begitu. Sini gue benerin.” Disa memohon maaf. Rora, sahabat karib Disa mengerti, cewek itu pasti akan memanjakan Revan lagi. Membelanya walaupun sudah jelas-jelas Revan yang salah. “Nggak mau! Pokoknya gue mau Revan yang jahitin rok gue!” kata Rora. Revan nyengir. ”Ya udah, lepas sekalian gih roknya, biar gue yang jahitin.” Rora bener-bener memukul kepala Revan dengan sapu. Cowok itu mengaduh kesakitan. Sedangkan Disa cuma bisa meringis. Dia harus ke kamar mandi untuk memakai celana olah raga dan melepas roknya yang sobek. Sampai kelas, Rora melempar roknya ke muka Revan. “Jahitin sana!” “Kenapa nggak beli aja di koperasi sih? Rok udah compang camping aja gini mana bisa dijahit?!”” Rora mengangkat sapunya lagi, tapi Disa cepat-cepat menahan. “Gue aja yang beli di koperasi ya?” tawarnya. Rora menatap sahabatnya itu dan menggeleng tegas. “Gue mau tu orang jahitin rok gue!” katanya tandas. Revan melotot. “Gue nggak tanggung jawab ya kalo rok lo tambah ancur.” Revan menantang. Dan Rora makin panas. ”Enak aja. Kalo nggak rapi, gue bukan cuma pukul pake sapu. Tapi pake batu.” “Nggak sekalian pake palu?!” Revan sewot. Rora makin melotot. ”Gue kerjain di sekre basket deh.” Revan mengalah. Disa geleng-geleng kepala. Cowok itu makin berulah saja. Dia meminta es batu di kantin lalu menyusul ke sekre. Di sekre Revan sedang sibuk memasukkan benang ke lubang jarum. Untungnya di koperasi ada alat jahit. Kalau tidak, Rora bakalan ngamuk padanya lagi. “Udah sini gue yang jahitin.” kata Disa. Revan menoleh. Dari mata cowok itu juga Disa tahu kalau Revan pasti akan meyerah kalau soal jahit-menjahit. Disa membungkus es batu dengan sapu tangannya. Lalu ditempelkan ke benjol di kening Revan. ”Pegang.” suruh Disa. Revan memegang buntelan es itu dan Disa mengambil alih rok Rora. “Gila tu cewek emang keturunan suku Barbar kali ya.” sungut Revan. “Siapa suruh buat masalah sama dia. Tahu nggak, tadi itu dia lagi sensitif waktu lo kerjain. Wajar aja dia ngamuk.” Revan ketawa. ”Mana gue tahu kalau dia lagi nggak mood!” Disa tersenyum kecut. Dia memilih fokus dengan jarum dan benang di tangannya. Dengan rapi dia menjahitkan rok Rora yang sobek. Sedangkan Revan memperhatikan tangan Disa bekerja. “Selesai.” ucap Disa sambil memotong benang dengan giginya. Revan juga senyum. ”Nih, kasih Rora. Kasian tu anak pingin pake rok dari tadi.” Revan jelas langung pamer pada Rora sambil menunjukkan jahitan Disa. ”Niiiiih selese kan? Mau ngomel apa lagi?!” tantang Revan. Rora memelototi jahitannya. Lalu mencibir. “Ini pasti Disa yang jahit. Bukan lo nih. Nggak mungkin lo bisa rapi gini.” Revan mengambil penghapus karet kecilnya lalu dilemparkannya ke mulut Rora yang terbuka waktu ngomel. Slup! Tepat sasaran. “Yeeeeesss, masuk!”  “Revaaaaaaaaaaan!” Walaupun Revan dikejar pakai sapu untuk kedua kali, Disa memilih membiarkannya. Sekali-kali, Revan harus tahu rasa.        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD