Bab 3

1247 Words
“Revaaaaaaaaan!” Pak Robi, guru Kimia mereka mendelik. “Melirik ke mana kamu?!” sindirnya keras.             Revan meringis. Dia menoleh ke Gurunya dengan penuh penyesalan. Tapi tak mau kalah juga. ”Itu Pak, ngeliat kertas contekannya Dito yang panjang banget!” lapornya.             Pak Robi, adalah masalah terbesar yang Revan hadapi di sekolah. Terlau banyak omelan! Sehingga mau tak mau Revan selalu tersandung masalah dengan guru yang satu itu. Pak Robi bangkit dari duduknya dan melangkah menghampiri meja Revan dan Dito yang bersebelahan. Pak Robi menggeledah meja Dito. Dan mukanya merah padam waktu diketahuinya tak ada yang beliau temukan. “Bohong lagi!!!!” Pak Robi meledak. Revan melirik ke Dito. Kedua mata mereka beradu sementara Pak Robi memarahinya habis-habisan karena memfitnah juara umum mereka. Otomatis senyum Dito tertangkap di fokus mata Revan. Kemarahan jadi sudah tak tertahan. “Maaf…” Revan meminta maaf.  Dia memandang kertas ulangannya. Dan tak berniat sama sekali mengorbankan nilainya kali ini. Pak Robi juga sepertinya sudah tenang. Beliau kembali ke mejanya dan kembali mengawasi. Dengan serius, Revan mengalihkan perhatiannya dari senyum sinis itu. Perhatiannya pasti bisa teralih jika dia bisa berkonsentrasi penuh dalam mengerjakan soal kimianya. Dia memejamkan mata. Mengingatkan dirinya sendiri untuk fokus ke rencananya semula. Bukan membongkar kecurangan Dito yang menjadi tujuannya. Tapi mengalahkan nilai-nilai curang itu dengan cara fair. Dan merebut juara umum dari tangan raja contekan itu!!! Di sanalah puncak kemenangannya! Sekarang dia harus mengalah….dia harus bersabar. Karena sampai matipun dia tidak akan rela dikalahkan oleh Dito! --- “Dis… Besok acara lo apa?” tanya Rora semangat.             “Besok? Emang besok ada apaan?” tanya Disa.             “Besok Valentine, O’on!” Disa langsung mengusap kepalanya ketika Rora menjitaknya. Disa angkat bahu cuek. Acara itu bukan hal yang penting untuknya. Tiap tahun dia tidak pernah merayakan satu hari itu. Buat apa? Punya pacar aja enggak.             “Nggak ngapa-ngapain. Nggak kemana-kemana juga.”             “Revan?”             Disa mengangkat alisnya. Bingung. “Revan kenapa?”             Rora memandang Disa gemas. “Maksud gue, kenapa nggak lo rayain sama Revan aja?”             Setelah paham dengan arah pembicaraan Rora, Disa berdecak keras.             “Nggak usah dibahas.” balas Disa malas.             “Kenapa kalian nggak jadian aja sih?”             Rora tahu situasinya dengan jelas. Hubungannya dengan Revan memang terlihat sangat dekat hingga membuat semua orang salah paham. Mereka pikir hubungannya dan Revan lebih dari sekedar teman. Namun bukan begitu kenyataannya. Disa memang tidak menganggap Revan sebagai sekedar teman. Lebih. Namun dibilang pacar juga bukan. Mereka mengalir mengikuti arus saja. Tanpa tahu tujuannya ke mana. Tidak ada kejelasan tentang status. Rumit, membingungkan.             “Status itu nggak penting. Toh gue masih happy-happy aja sekarang.” elak Disa santai.              “Gue kasihan sama elo.” ucap Rora kemudian.             Disa tertegun. Baru kali ini dia mendengar komentar telak begini. Semenyedihkan itukah hingga sahabatnya sendiri mengasihaninya macam ini? Fine, hubungan tanpa status memang tidak pernah bagus kesannya. Disa bahkan tidak pernah membayangkan akan menjalani hubungan macam ini.             Dia bisa saja akui sesadar-sadarnya, dia menyukai cowok itu. Nyaman di dekatnya, dan senang jika bersamanya. Tapi Revan? Disa sama sekali tidak tahu bagaimana perasaan Revan terhadapnya. Sama sekali! Revan tidak pernah bilang suka, sayang apalagi cinta. Revan memang selalu ada buat dia. Tapi tidak lebih dari itu. Kepedulian Revan padanya, kasih sayang Revan kepadanya tidak bernama. Apa sekedar sahabat, persaudaraan atau benar-benar sebagai perasaan cowok pada cewek.             Rora yang makin gemas dengan keduanya akhirnya mengulurkan bantuannya. “Kita uji dia aja gimana?”             “Uji gimana?”             “Ya uji. Dia sayang sama elo apa enggak. Kalau dia sayang sama lo sih nggak masalah. Takutnya elo tuh cuma dimainin doang sama dia.”             “Nggak mungkin dia mainin gue.”             Rora memandang Disa dengan alis terangkat tinggi-tinggi. Disa mendesah dengan mulut cemberut berat. Sesaat ekor matanya menangkap bayangan Revan yang berjalan mendekat ke arah kantin. Seketika kata-kata Rora terlihat lebih nyata. Dua kali lebih mempengaruhi pikirannya dari pada tadi. Saat dia melirik ke Rora, cewek itu menyeringai menantangnya. Perlukah dia menguji Revan? --- Akhirnya disinilah Disa sekarang.  Menghampiri Revan yang duduk sendirian di kantin. Cewek itu melirik Rora tidak jauh darinya. Cewek itu memberikan semangat dari jauh. Sayangnya, Disa tidak tahu harus mengatakan apa sekarang. Revan bukan dalam keadaan santai. Cowok itu sedang makan bakso dengan emosi teredam, nyaris menakutkan. Disa tahu dengan jelas alasan Revan marah. “Jangan terlalu memaksa, lah.” kata Disa akhirnya. Revan mendengus marah. Dia mencabik-cabik bakso yang ada di hadapannya. “Gue tonjok juga tuh orang,” Revan berkata kesal. Disa mendengus sabar. “Dito pasti ketawa kalo tahu lo sejengkel ini.” Revan makin menyerang baksonya dengan lahap.”Tapi ada yang lebih pening dari itu lho.” “Apa?” tanya Revan masih dalam nada marah. Pikiran Revan masih melayang ke senyum sinis Dito yang paling menyebalkan. Pikirannya tidak tenang seharian ini. “Besok kan valentine, Van.” kata Disa hati-hati. “Terus?” “Ya…” Disa mendengus. “Nggak. Nggak ada apa-apa. Udah. Lanjutin aja makannya.” Revan memandang Disa bingung. Revan sebenarnya heran. Pancingan Disa itu menuju ke mana? “Eh, besok valentine! Gimana niih?” Revan mendengarkan dengan kesal. Pikiran sedang pusing-pusing, cewek-cewek di belakang bangkunya malah ribut sendiri teriak keras-keras. “Berisik!” Revan benar-benar ngamuk. Membuat Disa dan dua cewek yang mengobrol di belakang mereka kaget semua. Kedua cewek di belakangnya awalnya mau marah, tapi mendengar suara Revan yang keras banget kayak toa, keduanya mengkeret, lalu diam. Ekspresi begitu itu yang Revan harepin. Makanya dengan tenang dia bisa berbalik dan melahap baksonya dengan kasar. Disa mengelus d**a, nelangsa. Sepertinya konyol benar mengharapkan cowok itu akan  mengerti. Sedang Revan, dia bukan hanya tidak peduli dengan Valentine. Kepikiran juga nggak. Revan benar-benar tak habis pikir. Kenapa 14 Februari rakyat Indonesia bisa heboh begini? Sampai sekarang cowok itu masih belum ngerti. Padahal sudah jelas-jelas sejarahnya bagaimana. Tapi tetap saja mereka merayakannya sebegitu rupa. Bagi dia, bukan dengan kasih cokelat kasih sayang itu bisa sampai! Bukan cuma di hari itu saja kasih sayang bisa ditunjukin! “Tapi kan kalo kasih cokelat di hari ini pasti spesial!” kata Disa berulang-ulang. Revan gemaaaas sekali pada cewek itu. Dia mencubit pipi Disa penuh sayang dua tahun lalu. “Cuekin aja. Biarin aja mereka mau ngapain. Valentine itu kan bukan budaya kita. Cuma akal-akalan perusahaan cokelat doang. Ngapain sih ikutan latah ngerayain Valentine? Padahal mereka nggak tahu sejarahnya kan Valentine itu gimana?” Disa merengut. Dan tahun ini… Revan tetep nggak akan terpengaruh! “Vaaaaan!” tiba-tiba seseorang memangil Rafan. Disa kaget waktu Rora menghampiri mereka. Ngapain si Rora panggil-panggil Revan segala?             “Apaan?”             “Ikut jalan-jalan yuk. Gue mau ajak Disa juga.”             Revan menoleh ke Disa yang makin kebingungan di tempat duduknya. ”Lo mau maen?”             Disa mau menyangkal, tapi Rora makin meringsek maju. ”Dia mau nemenin gue beli kado buat sweetheart dooong. Sekalian Disa mau beli hadiah Valentine buat gebetannya di sekolah sebelah itu lhoooo.”             Muka Disa merah. Dia tidak menyangka Rora bakalan bilang begitu sama Revan. Otomatis Disa menoleh pada cowok itu. Penasaran meneliti reaksinya. Ada sebersit rasa kecewa waktu wajah di hadapannya datar-datar saja. “Oke.” Cowok itu mengangguk lalu tidak mengatakan apa-apa lagi. “Kok lo tiba-tiba ngomong gitu?” Disa langsung protes setelah mereka hanya berdua. Revan sudah pergi ke lapangan setelah di panggil temannya tadi.             “Emang kenapa? Takut Revan sakit hati? Emang Revan pernah jadi pacar lo?” Kalau sudah ditanya soal status begini, Disa cuma bisa cemberut berat. Udah skak mat!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD