Chandani's LL 3. Between Happy and Not Willing

3403 Words
---**--- Rumah Zhakaria Afnan, Jakarta., Dapur., Pagi Hari.,             Mereka sedang menikmati sarapan pagi mereka di meja makan. Seperti biasa hanya ada Zhaka, Arisha, Ida, dan pewaris utama Perusahaan Abadi Jaya, Zhain Afnan. “Zhain, apa kau yakin dengan keputusan mu itu? Papa gak mau kau merasa terbebani, Nak.” Zhaka kembali meyakinkan putranya, Zhain yang sedang meneguk jus jeruknya.             Ida hanya melihat mereka dari duduknya. Lalu Arisha ikut membuka suaranya. “Kau pasti akan sangat sibuk sayang. Tugas mu sebagai seorang dokter spesialis jantung saja sudah membuatmu sibuk. Bahkan jarang pulang ke rumah. Apalagi kalau ikut mengambil alih perusahaan Papa. Mungkin kau akan sangat betah di kantor. Dan melupakan kami,” ujar Arisha mulai berwajah sedih.             Zhain menghela nafasnya berat. Dia mulai membuka suaranya. “Ma, ini sudah jadi tanggung jawab Zhain. Biarlah Zhain yang mengambil alih perusahaan sekarang. Sudah waktunya dan Zhain sudah siap. Lagian Zhain sudah bukan dokter tetap lagi. Sekarang Zhain akan datang ke Rumah Sakit kalau ada panggilan saja. Zhain tidak mau Papa selalu kesana kemari hanya untuk urusan bisnis,” ujarnya yakin melirik mereka satu persatu. Dia lalu mengalihkan kembali pandangannya pada ponsel yang tengah ia pegang.             Mereka saling memandang. Namun yang dipandang masih fokus pada ponselnya. “Kalau memang itu keputusanmu. Maka kami akan pun ikut bahagia Zhain. Eyang jadi bisa selalu dekat dengan cucu Eyang lagi,” ujarnya tersenyum pada cucu semata wayangnya, sambil mengelus rambut Zhain yang duduknya tepat di sebelahnya. “Eyang ini bicara apa? Dimana pun Zhain berada, Zhain selalu ingat Eyang.” Zhain tersenyum ke arah sang Nenek, Ida.             Selang beberapa detik mereka saling berdiam diri. Arisha kembali membuka suaranya. “Oh … ya, Zhain. Kapan kita cari gadis itu Nak? Mama masih kepikiran dia terus. Mama gak sabar mau ketemu sama dia, Sayang.” Arisha menatap putranya penuh harap.             Zhain lalu memandang Mamanya, Arisha dengan wajah datar. Dia sendiri bingung harus menjawab apa, sebab kesibukannya masih belum bisa digantikan dengan waktu luang. “Ica, biarlah Zhain mengurus urusannya dulu. Dia baru saja mengurus kepindahannya dari Medan. Jangan kau bebankan lagi untuk mencari gadis itu,” ujar Ida mengingatkan menantunya, Arisha Cantara. “Ya sudah. Ayo kita berangkat sekarang, Zhain. Mereka sudah siap untuk menyambutmu di kantor,” ujar Zhaka lalu berdiri dari duduknya. “Semangat untuk hari pertama mu di kantor, Nak. Kalau capek langsung pulang saja ya. Jangan terlalu paksakan pikiran mu,” ujar Arisha memberi nasihat, lalu memeluk putra semata wayangnya itu. “Mama, Zhain bukan anak kecil lagi. Jangan terlalu berlebihan begitu,” pungkas Zhain membalas pelukan sang Mama, mengecup singkat puncak kepalanya, mengelus pelan punggung wanita yang sangat ia sayangi itu.             Zhaka dan Ida hanya menggelengkan kepala melihat adegan romantis antara ibu dan putranya. “Jadi, kau melupakan Eyang mu? Oke lah Nak … gak apa-apa,” sindir Ida dengan wajah mulai ditekuk sebal. “Tidak, Eyang. Zhain sangat menyayangi Eyang. Tidak mungkin Zhain melupakan Eyang satu-satunya yang Zhain punya,” ujarnya lalu beralih memeluk Eyangnya.             Zhaka dan Arisha hanya bisa mengulum senyumnya saja melihat drama antara Nenek dan cucunya disana. “Kalau kau sayang Eyang, maka segeralah menikah. Beri aku cicit. Supaya kami gak kesepian lagi di rumah,” sambung Ida lagi.             Zhain hanya diam dan tersenyum melihat Eyangnya. Mereka berdua lalu masuk ke dalam mobil mewahnya. Zhain yang membawa mobilnya, sedangkan Zhaka duduk tepat di sebelahnya. “Pak Lias, jangan lupa mengantar Eyang Putri nanti ya. Dan bawa mobilnya pelan-pelan saja.” Zhain memberi pesan dan mengingatkan Lias, supir pribadi keluarga Zhakaria Afnan, yang sedang mengelap mobil lain di seberang mobil mereka. “Siap, Den.” Pak Lias menjawabnya sambil menganggukkan kepala seraya mengerti.             Mereka lalu pergi ke kantor. Sedangkan Ida, dia akan segera berangkat bersama Lias menuju rumah temannya yang sedang sakit setelah mobil selesai dibersihkan. *** Perusahaan Abadi Jaya, Jakarta., Pagi hari.,             Semua para pegawai Abadi Jaya sudah bersiap untuk bertemu dengan Big Boss mereka yang baru. Pasalnya selama ini, mereka tidak mendengar desas desus pergantian direktur yang baru. Tapi tiba-tiba saja direktur utama mereka akan mengumumkan sesuatu hal penting tentang Presiden Direktur baru di perusahaan mereka itu, yang tidak lain adalah pewaris utama Perusahaan Abadi Jaya.             Banyak sekali wanita-wanita yang berharap bisa mendapat perhatian dari Big Boss baru mereka itu. Apalagi saat mendengar Big Boss mereka merupakan seorang dokter spesialis jantung yang masih lajang.             Tidak lama mereka berbisik-bisik. Terbuka lah pintu ruangan rapat utama itu. Masuklah seorang pria dengan postur tubuh tinggi. Jas hitam melekat padat di tubuhnya yang atletis. Kemeja putih serta tuxedo hitam rapi dibalik jas hitamnya itu. dasi berwarna hitam yang juga senada dengan celana panjangnya. Sepatu hitam runcing yang terlihat mahal.             Pria itu adalah Zhain Afnan. Dia lalu duduk di kursi utama. Disamping kanannya terdapat Papanya, Zhakaria Afnan. “Perkenalkan … Beliau adalah Presiden Direktur Utama baru di Perusahaan Abadi Jaya ini dan akan bekerja mulai hari ini,” ujar Zhaka hanya mengenalkan putranya secara singkat.             Semua pegawai lalu menunduk hormat pada Bis Boss baru mereka. “Saya Zhain Afnan. Panggil saya Zhain. Senang bisa bertemu dengan kalian semua. Saya ingin kita menjadi tim yang solid, kompak, dan disiplin waktu.” Zhain hanya berbicara singkat lalu duduk kembali di kursinya.             Semua lalu kembali fokus pada layar proyektor. Dan kembali pada berkas yang akan mereka rapatkan pagi ini. *** Rumah Pradipta Salaman, Jakarta., Pagi hari.,             Mereka semua sedang menikmati sarapan mereka di meja makan, kecuali Chandani. Chandani masih berada di dalam kamarnya. Dia sengaja tidak ikut sarapan seperti biasanya. Karena kalau dia ikut sarapan, maka yang lainnya akan pergi dari meja makan dan itu akan membuat Dipta dan Leta bertengkar lagi karena dirinya. Selama dia hidup bersama keluarga Pradipta Salaman, dia tidak pernah merasakan kasih sayang sepenuhnya dari keluarganya itu. Meskipun hanya sebatas menikmati sarapan pagi bersama dalam satu meja makan.             Chandani sedih, hidupnya seperti hilang arah semenjak kepergian kedua orang tuanya. Dia bahkan merasa hidupnya sudah tidak ada artinya lagi.             Dia mengambil satu bingkai foto dari lemarinya. Ada almarhum kedua orang tuanya dan dirinya disana. Di foto itu, usianya masih 7 tahun. Sebuah foto yang terlihat sangat bahagia. “Papa … Mama ... Aku disini baik-baik saja. Aku akan menjaga diriku dengan baik setelah pergi dari rumah ini,” ujarnya lalu memeluk bingkai foto itu.             Kemudian dia memasukkan bingkai foto itu di dalam ranselnya. Sekarang dia sudah siap berkemas, dia hendak pamit kepada ayah angkatnya, Dipta. Dia pikir, Dipta pasti tidak akan menyetujui keinginan dia pergi dari sini. Karena waktu lalu Chandani juga pernah melakukannya dan juga suruhan dari Leta. Tetapi Dipta malah memarahinya habis-habisan.             Dan untuk sekarang, Chandani yakin sekali akan pergi dari rumah ini. Sebisa mungkin dia berusaha keras untuk meyakinkan Dipta supaya mengizinkan dia untuk hidup mandiri.             Chandani keluar dari kamarnya, lalu meletakkan ranselnya di sofa keluarga. Dia lalu berjalan menuju dapur, dimana semua orang sudah selesai dengan sarapan mereka masing-masing.             Chandani berhenti melangkahkan kaki. Dia menatap mereka dari kejauhan. Mereka tengah bercanda dan tertawa bersama seperti tidak ada beban sama sekali. Yah! Chandani pikir dia seharusnya tidak mengganggu keharmonisan keluarga ini selama 13 tahun lamanya. Chandani menjadi merasa bersalah dan semakin yakin dengan tekadnya untuk segera pergi dari rumah orang tua angkatnya itu. Kehangatan sebuah keluarga yang dia lihat saat ini membuat hatinya terenyuh. Dia merasa bersalah, karena selama ini dia menjadi boomerang diantara Dipta dan Leta. Sehingga membuat mereka terus bertengkar. Dan yang kena imbasnya adalah kedua putri mereka sendiri, yang sudah Chandani anggap sebagai adiknya sendiri. Chandani yang masih berfokus melihat mereka sedang bercanda tak sadar kalau Dipta melirik ke arahnya. “Icha, kemari Nak. Kenapa kamu disitu. Sini sarapan. Kamu lama sekali, ngapain saja kamu dari tadi?” tanya Dipta lalu menarik sebuah kursi untuk Chandani.             Chandani lalu melirik ke arah Sinta dan Sahya yang mulai merubah mimik wajah mereka. Termasuk Leta yang sudah memasang wajah tidak sukanya ke arah Chandani.             Chandani menelan salivanya dengan susah payah. Dia lalu berjalan ke arah mereka dan duduk di kursi sebelah Dipta. “Kamu sarapan. Papa mau berangkat kerja,” ujar Dipta hendak berdiri dari duduknya. “Pa, tunggu. Bisa Icha bicara sebentar?” tanya Chandani spontan membuat Dipta kembali duduk di kursinya.             Semua orang memandang mereka. Leta masih menatap tajam ke arah Chandani. Dia berharap Chandani segera mengatakan bahwa ia ingin segera pergi dari rumah ini. “Ada apa, Icha? Ada yang mau kamu bicarakan?” tanya Dipta mengelus rambut panjang Chandani.             Chandani hanya mengangguk iya dan tidak berani mengangkat wajahnya menatap Dipta. “Lihat Papa, Nak. Kamu mau bicara apa, Sayang?” tanya Dipta lembut padanya. “Ngomong aja, gak usa pakek drama! Gue uda mau berangkat kuliah!” ketus Sinta menyindir. “Tahu nih! Dasar ratu drama! Bilang aja lo mau ponsel baru! Ponsel lo kan uda lo jual di pasar loak!” sahut Sahya sinis berwajah tidak suka pada Chandani. “Kalian bisa tenang? Sinta, kalau kamu berangkat duluan, yauda sana pergi naik gojek saja. Sahya, kamu kan tidak sekolah. Kamu bisa beresin meja ini kan, Nak?” ujar Dipta bersuara tenang.             Semua hanya diam. Dan mereka tidak mau bergerak dari tempat mereka masing-masing karena penasaran dengan apa yang akan dikatakan oleh Chandani. “Pa, Icha izin mau pergi dari rumah. I-Icha ingin hidup mandiri.” Chandani berusaha tenang menatap intens Papa angkatnya, Dipta.             Dipta hanya menatapnya. Dia lalu menghela nafasnya panjang. Sinta dan Sahya tentu saja tidak terkejut lagi, pasalnya Chandani pernah berkata seperti itu. Tapi Dipta malah melarangnya. “Kalau kamu pergi dari sini. Lalu kamu mau tinggal dimana, Sayang? Kamu juga tidak punya pekerjaan apapun,” ujar Dipta lembut menatap putri angkatnya itu.             Chandani menatapnya dengan wajah memohon. “Pa, orang tua Icha pernah meninggalkan rumah dan mobil dulunya kan, Pa? Apa Icha boleh meminta sebagian hak Icha itu, Pa?” tanya Chandani dengan penuh percaya diri.             Semua orang terdiam. Dipta masih berpikir, kenapa Chandani bisa berkata seperti itu. Sejenak dia berpikir, kalau mungkin sudah saatnya Chandani hidup mandiri. Walau belum sempat menjalankan amanah dari almarhum kedua sahabatnya. Tapi setidaknya dia akan menjadi wali saat Chandani menikah kelak. “Kamu yakin dengan keputusan kamu, Nak?” tanya Dipta memastikan.             Chandani mantap mengangguk iya. “Yasudah. Papa akan carikan kamu rumah kecil di sekitar sini. Kita akan tetap satu dusun. Supaya kami bisa selalu memantau kamu.” Dipta seperti kurang yakin dengan keputusannya memperbolehkan Chandani hidup mandiri. “Tapi, Pa. Icha mau hidup mandiri di luar Jakarta Pa. Icha berniat ke Medan. Icha mau menghabiskan hidup Icha di kampung halaman Icha, Pa. Icha harap Papa menyetujuinya. Icha janji, Icha akan selalu beri kabar untuk keluarga disini.” Chandani mulai bermata nanar memandang Dipta.             Semua memandangnya dengan tatapan sinis. Kecuali Dipta yang sedikit terenyuh dengan kalimat yang barusan dilontarkan oleh putri angkatnya, Chandani.             Setelah berbicara panjang lebar, akhirnya Dipta mengiyakan keputusan Chandani. Dan pada pagi itu juga Dipta mengambil buku tabungan yang memang sudah dia sediakan buat Chandani ketika dia sudah dewasa.             Semua terkejut dan bahagia, karena Dipta menyetujui keputusan Chandani untuk keluar dari rumah mereka setelah 13 tahun Chandani menumpang hidup bersama mereka.             Dipta mengikhlaskan kepergian Chandani dari rumah. Tapi dengan syarat dia harus tinggal selama sehari lagi di rumah mereka. Karena Dipta ingin, besok paginya dia yang mengantarkan Chandani ke Medan dan mencari rumah yang pas buat Chandani. Dipta hanya ingin memastikan kalau keadaan Chandani baik-baik saja setelah Dipta melepas putri angkatnya itu untuk hidup sendiri dan mandiri di kota kelahirannya.             Sedangkan ibu dan kedua saudari angkatnya, mereka tentu merasa senang dan bahagia. Karena orang yang mereka benci selama ini, yang mereka anggap sebagai pengacau dan pembawa sial akan segera angkat kaki dari rumah mereka. “Ini, Nak. Disini sudah ada uang tabunganmu. Untuk kebutuhan hidupmu disana. Cukup untuk 6 bulan. Selebihnya, nanti papa kirim uang buatmu setiap bulannya. Dan untuk rumah mu disana nanti. Papa akan belikan rumah minimalis untuk mu disana,” ujar Dipta sambil memberikan buku tabungannya kepada Chandani.             Chandani mengambilnya. “Icha akan mencari pekerjaan disana Pa. Disana kan banyak cafe-cafe disekitaran Mall, Pa. Icha mau coba jadi waitress atau kokinya. Icha kan lulusan tata boga. Walaupun hanya tamatan SMK, Icha yakin ijazah Icha masih bisa mereka pertimbangkan.” Chandani berusaha meyakinkan Dipta. “Ya sudah, Nak. Papa percaya sama kamu. Yang penting disana nanti kamu jaga diri. Dan kalau ada apa-apa hubungi Papa. Nanti Papa akan belikan ponsel baru buat kamu, supaya kita bisa terus saling menghubungi.” Dipta mengusap pelan rambut panjang Chandani. “Iya Pa. Siap!” Chandani mulai yakin dengan keputusannya. Dia melebarkan senyumannya.             Mereka bertiga memandang Chandani dengan tatapan jijik. Sebab mereka merasa jika drama Chandani sangat membosankan.             Chandani menatap mereka bertiga dengan tatapan sendu. Dia sendiri tidak tahu, apa salahnya selama ini. Padahal selama dia hidup bersama mereka, Chandani selalu memberi yang dia bisa beri, membantu apa yang dia bisa bantu. Bahkan dia rela mengerjakan seluruh pekerjaan rumah dan juga tugas-tugas kedua saudari angkatnya. Dia rela menjadi tukang pijit Leta setiap dia dibutuhkan.  Tapi, ibu dan saudari angkatnya itu bahkan masih saja tetap membencinya. …             Dipta sudah berangkat kerja bersama dengan Sinta. Tinggal lah mereka bertiga. Leta, Sahya, dan Chandani.             Chandani sudah membereskan dapur. Mencuci semua piring kotor, membereskan meja dapur. Dia juga sudah menjemur semua pakaian yang sudah dia cuci sejak pagi-pagi tadi. Sekarang dia baru saja selesai menyapu rumah. Dia lalu duduk di sofa karena kelelahan, hampir 2 jam dia sudah membereskan seisi rumah itu. “Hey kau. Jangan duduk di sofa kami!” ketus Sahya lalu duduk di sofa dengan kaki di angkat di atas meja.             Chandani. Dia menghela panjang nafasnya. Menundukkan pandangannya ke bawah, lalu berdiri dari duduknya, dan mengambil sapunya. Dia hendak berjalan menuju dapur. “Tunggu, Icha!” ujar ibu angkatnya, Leta.             Chandani lalu menghadap Leta. “Iya, Bu? Ada yang Icha bisa bantu, Bu?” tanya Chandani bersuara lembut, masih menatap ibu angkatnya sebagai orang yang sangat ia hormati. Meski wanita itu terus bersikap kasar padanya.             Leta masih memandang Chandani. Jauh di dalam lubuk hatinya, dia sangat sedih dan merutuki dirinya sendiri. Karena selama ini sudah memperlakukan Chandani dengan sangat buruk, mengingat Chandani adalah anak sebatang kara. Dia juga sangat baik memperlakukan keluarganya selama ini. Chandani juga tidak pernah membantah perkataannya. Bahkan dia juga sangat menyayangi kedua putrinya seperti layaknya kakak beradik.             Seandainya posisi kedua putrinya sama persis seperti posisi Chandani, disana dia mungkin tidak tenang. Ketika melihat kenyataan yang sebenarnya, Leta kembali pada pikiran kotornya.             Dia tetap bersih keras dengan ego nya, kalau karena Chandani lah, dia dan suaminya selalu bertengkar setiap harinya. Dan suaminya pun menjadi mudah marah terhadap kedua putrinya.             Chandani yang dipandang Leta, hanya bisa menundukkan kepalanya. Takut jika Leta akan menghukumnya dan memukulnya lagi dengan sapu. “Icha. Kau tidak perlu menunggu suamiku pulang,” ujar Leta memandang Chandani.             Chandani mendongakkan kepalanya, lalu memandang Leta dengan tatapan bingung. “Pergilah dari rumah kami sekarang. Dan ini, ambil ini. kau bisa membeli ponsel sendiri. Aku ingin kau segera pergi dari sini,” pinta Leta mantap lalu memberi sebuah amplop putih yang berisi uang. “Ta-tapi Bu. Papa bilang—” Chandani gagap, dan tiba-tiba ucapannya disela. “Kau mau aku mengakui mu sebagai anak sendiri bukan?” tanya Leta bersuara datar.             Chandani mengangguk lemah tanpa bersuara sedikit pun. “Nah sekarang, ikuti perintahku. Suami ku sudah memberi buku tabunganmu. Dan amplop ini, kau bisa menghematnya. Beli lah ponsel yang murahan, agar suamiku mudah menghubungi mu disana. Ini nomor ponsel suamiku, kau bisa hubungi dia kalau sudah sampai di Medan nanti. Carilah rumah kontrakan yang murah. Aku tidak mau uang kami habis hanya karena membelikanmu rumah kecil disana,” jelas Leta menghela panjang nafasnya, lalu memalingkan wajahnya dari Chandani.             Sungguh Leta pun berat hati mengatakan itu. Tapi dia merasa kalau ini adalah keputusan yang terbaik.             Chandani, dia berusaha tegar menerima kenyataan hidupnya. Sebab tidak ada pilihan lain selain mengikuti keinginan ibu angkatnya ini. Dia kembali membuka suaranya. “Terima kasih, Bu. Icha janji. Icha akan selalu mengabari kalian,” ujar Chandani seraya hendak menangis. “Gak usah pakek drama segala deh lo!” sindri Sahya sinis dan tak suka.             Chandani hanya diam dan tersenyum tipis. Dia lalu berjalan menuju kamarnya, mengambil jaket dan memakainya. Memakai flat shoes yang harganya terbilang murah. Dia memakai ransel yang sudah berisi pakaian yang selama ini dia kenakan. Dia tidak membawa pakaian yang dibelikan oleh keluarga Pradipta, karena itu adalah perintah dari Leta sendiri.             Chandani lalu keluar kamar, berjalan menuju pintu. Dia berdiam diri sejenak. “Hey. Kau tidak membawa baju yang kami belikan untukmu kan?” tanya Sahya mendekati ransel Chandani. “Enggak, Sahya. Disini hanya baju-baju kakak saja kok,” jawab Chandani bersuara sedih sambil tersenyum sendu.             Leta yang memandang mereka, entah kenapa hatinya terasa terisis. Dia tidak tahu kenapa perasaannya seperti ini sekarang. “Bu, apa Icha boleh meminta sesuatu dari kalian?” tanya Chandani seraya takut-takut dengan wajah khawatir. “Kau ingin tanya apa, hah? Tentang suamiku? Kau tidak perlu cemas. Alasan kepergianmu itu sudah aku siapkan untuknya. Jadi sekarang pergilah. Cepat beli tiketmu. Jangan sampai kau kehabisan tiket ke Medan!” ketus Leta sengaja berkata kasar tanpa melihat wajah Chandani.             Chandani diam, dia lalu bertanya lagi pada Leta. “Bu, Icha akan pergi dari sini. Apa Icha boleh memeluk kalian berdua?” tanya Chandani hati-hati dengan kedua mata nanarnya.             Mereka berdua lalu terdiam. Sahya lalu melihat ke arah ibunya, Leta. Leta hanya diam saja melihat Chandani. Dia juga bingung. Dari lubuk hatinya yang paling dalam, sejujurnya dia juga ingin memberikan pelukan kasih sayang untuk Chandani. Tapi disisi lain, rasa tidak terima dia selama ini begitu besar. Sehingga membuat dia menjadi egois seperti ini. Chandani menyadari, bahwa tidak mungkin keluarga yang dia anggap sebagai keluarga sendiri mau memberikan pelukan kasih sayang kepadanya. Dia sadar posisinya yang hanya menumpang hidup di rumah ini. Sungguh Chandani sangat ingin mendapatkan sebuah pelukan kasih sayang dari seorang ibu, yang selama ini dia rindukan. Tapi ternyata, Tuhan berkata lain. Chandani berpikir, ini adalah yang terbaik untuknya saat ini. Tidak ada respon sedikit pun dari Leta dan Sahya. Hingga akhirnya Chandani membuka suaranya lagi. “Terima kasih, Bu. Selama ini sudah memberi tumpangan hidup untuk Icha. Seandainya mampu, Icha akan membalas kebaikan kalian nantinya. Sejujurnya, Icha ingin sekali merasakan pelukan seorang ibu, dan pelukan dari saudari Icha. Karena Icha memang dulunya tidak punya saudari kandung,” jelas Chandani dengan suara serak, sebagai suara khasnya.             Sahya hanya diam, dia berpura-pura memainkan ponselnya dan mengacuhkan ucapan Chandani.             Sedangkan Leta, dia hanya memalingkan wajahnya dan beralih menatap keluar pintu rumah. Walau dadanya sedikit sesak, tapi dia tidak menghiraukan isi hatinya saat ini. “Apa Icha boleh memeluk Ibu dan Sahya?” tanya Chandani meminta izin sambil tersenyum tulus, berharap permintaan terakhirnya bisa dikabulkan.             Melihat diamnya ibu dan saudari angkatnya, membuat Chandani kembali membuka suaranya lagi. “Icha titip salam sama Papa dan juga Sinta ya, Bu. Dan Sahya, kau harus rajin belajar ya? Supaya bisa jadi orang sukses nantinya,” ujar Chandani seraya memberikan pesan singkat kepada Sahya.             Sahya hanya diam saja dan pura-pura tidak mendengar. “Icha pergi pamit dulu ya Bu. Assalamualaikum …” Dia lalu melangkahkan kaki keluar rumah.             Sahya memandang Chandani. Dan Leta, dia tidak sadar dia hampir meneteskan air matanya. Mereka lalu berjalan keluar rumah melihat kepergian Chandani yang selama 13 tahun ini hidup bersama mereka. Yang selama ini tidak mereka perlakukan dengan baik.             Setelah berjalan sampai halaman rumah, dia lalu berbalik menghadap pintu rumah lagi. Dia melihat ibu dan saudari angkatnya melihat kepergiannya. Dia lalu tersenyum ke arah mereka.             Namun Leta dan Sahya hanya diam. Leta lalu mengajak Sahya masuk kembali ke dalam rumah. Dan menutup pintu rumah mereka.             Seketika Chandani tersenyum kecut. ‘Bagaimana pun sikap kalian terhadapku. Aku tetap menyayangi kalian Bu. Sahya.’ Bathin Chandani berusaha menahan air matanya.             Dia melanjutkan langkah kakinya menuju pintu gerbang, membukanya lalu menutupnya kembali. Dia diam sejenak menatap rumah yang selama 13 tahun ini menjadi tempat tinggalnya. Sekarang, dia benar-benar akan pergi dari rumah ini dan kembali ke Medan, kampung kelahirannya.             Chandani lalu melangkahkan kaki berjalan sampai ke depan gang. Untuk mencari angkutan umum, yang bisa membawanya menuju bandara.             Dari dalam rumah, Leta dan Sahya mengintip Chandani yang berjalan keluar dari halaman rumah. Setelah Chandani sedikit jauh berjalan dari rumah mereka. Leta lalu keluar dari rumahnya. Entah kenapa hatinya pedih saat ini. Seperti ada sesuatu yang hilang dari dalam dirinya. Begitu juga Sahya, entah kenapa Sahya merasa dia tidak nyaman dengan kepergian Chandani. Yang padahal keinginan mereka dari dulu adalah Chandani keluar dari rumah mereka. ‘Ini adalah yang terbaik. Dan aku tidak akan menyesalinya,’ bathin Leta meneguhkan pendiriannya. Dia lalu berjalan menuju kamarnya seraya menangkan diri dari perasaan yang tidak dia pahami.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD