Chandani's LL 2. Obstinacy

2527 Words
“Mama, apa ada yang sakit? Bagian mana yang sakit, Ma? Bilang sama Zhain,” ujar Zhain lembut pada Mamanya. “Enggak ada, Nak. Mama mau pulang sekarang,” ujar Mama Zhain memohon pada anak semata wayangnya itu.             Arisha Cantara, Mama kandung Zhain. Wanita berusia 50 tahun yang akrab disapa Ica. “Iya. Ayo, kita pulang sekarang,” ujar Zhain lembut dan membenarkan tubuh sang Mama.             Zhain membantu Mamanya untuk duduk. “Tante harus banyak istirahat. Dan untuk selebihnya, sepertinya saya tidak perlu repot-repot menjelaskan lagi. Karena putra Tante pasti sudah paham,” ujar Raka mengedipkan satu matanya pada Zhain.             Zhain hanya diam dan berwajah datar. Tidak merespon kalimat Raka dengan baik. “Kau harus memeriksakan matamu ke dokter mata, dr. Raka.” Zhain sengaja mengejeknya.             Arisha, mama Zhain hanya menggelengkan pelan kepalanya karena tingkah dua pria dewasa di hadapannya yang bertingkah seperti anak kecil. “Sudah-sudah. Kalian ini sudah dewasa. Tapi masih saja bersikap seperti anak kecil,” pungkas Arisha sedikit terkekeh dan memegang kepalanya yang masih terasa berdenyut. “Maaf, Tante Ica. Tapi Raka sangat gemas dengan anak Tante ini. Betah banget menjomblo,” ujarnya sedikit menyindir Zhain.             Arisha memandang anak semata wayangnya itu. Kata jomblo adalah hal yang masih tersemat di benaknya.             Zhain mulai jengah dengan keadaan, dia segera mengalihkan pembicaraan. “Aku pasti akan urus kesehatan Mama ku dengan baik, dr. Raka. Terima kasih atas pertolongan Anda,” ujar Zhain seraya memberi hormat pada Raka. “Kau ini, dasar! Suka sekali mengalihkan pembicaraan!” ketus Arisha memukul pelan lengan Zhain.             Zhain hanya tertawa sinis dengan sudut bibir kanan sedikit terangkat ke atas. “Raka, apa Tante boleh tahu siapa nama gadis yang menolong Tante tadi?” tanya Arisha padanya.             Raka dan Zhain terdiam sesaat. Mereka saling memandang. “Tante sadar kalau Tante diselamatkan oleh gadis dan supir angkot itu?” tanya Raka menatap intens Arisha.             Arisha mengangguk pelan. “Iya, Tante sadar. Tapi pandangan Tante saat itu menggelap. Tante hanya mendengar suara histeris dan tangisan gadis itu. Juga supir angkot yang memarahi orang-orang karena hanya menonton saat kejadian di pasar tadi,” ujarnya pelan dan hampir meneteskan air matanya. “Mam, sudahlah. Kita akan ke rumah gadis yang menolong Mama. Juga supir angkot itu, kita akan ke rumah mereka nanti.” Zhain berusaha menenangkan Arisha sambil memeluknya hangat.             Arisha mengangguk iya. Dia tahu jika putranya pasti akan melakukan apapun untuk bisa menemukan gadis yang sudah menolongnya. ..**..             Mereka pun berkemas untuk pulang ke rumah. Setelah menyelesaikan administrasi di klinik itu, Zhain dan Arisha kembali pulang ke rumah. Tapi sebelumnya, Zhain sudah mengambil ponsel milik Chandani. Gadis yang menolong Mamanya saat kecelakaan tadi pagi. Awalnya Raka sempat tidak berniat memberi, dengan alasan takut jika gadis itu kembali ke klinik dan meminta ponselnya. Tetapi dengan alasan ingin bertemu dengan gadis itu tanpa susah payah. Akhirnya Raka mengizinkan Zhain untuk membawa pulang ponsel milik gadis itu, Chandani. *** Rumah Zhakaria Afnan, Jakarta., Malam Hari.,             Zhain dan Arisha sudah sampai di rumah mereka sejak sore tadi. Seluruh keluarga sangat cemas dengan keadaan Arisha. Terlebih lagi suami Arisha, Zhakaria Afnan. Zhaka yang masih berada di Singapura akhirnya memutuskan untuk kembali ke Jakarta saat itu juga. Karena dirinya juga merada tidak tenang, bekerja dengan memikirkan kondisi istrinya yang baru saja mengalami kecelakaan.             Arisha yang akrab disapa Ica membuka suara kepada seluruh keluarga tentang kejadian kecelakaan yang dialaminya pagi tadi, saat dia belanja ke pasar. Fokusnya tertuju pada seorang gadis yang dengan berani menolong dia yang bersimbah darah. Bahkan dia menceritakan bagaimana tulusnya gadis itu saat menolongnya tadi. Walau tak sempat melihat siapa gadis yang menolongnya. Bagi Arisha gadis itu adalah malaikat yang pasti baik hatinya.             Setelah semua keluarga dan kerabat pulang dari rumah mereka. Ivan Santoso, sepupu Zhain yang masih berada di rumah mereka bertanya tentang gadis itu. “Siapa tadi nama gadis itu, Tan?” tanya Ivan pada mereka yang masih duduk di ruang keluarga sambil menikmati cemilan yang ada disana. “Yuri, Van. Namanya Yuri. Namanya saja cantik. Sesuai dengan perilakunya yang cantik,” ujar Arisha seperti mengharapkan satu hal, kalau Yuri masih gadis dan bisa dijodohkan dengan putra semata wayangnya itu.             Zhain berpura-pura tidak mendengar ucapan Mamanya itu dan tetap fokus pada Mac nya. “Kenapa kamu tanya, Van? Ada niat mau bantu mencari tahu siapa gadis itu?” tanya Zhaka pada Ivan dan direspon lirikan sekilas oleh Zhain. “Iya, Ivan. Eyang pun sepertinya penasaran dengan gadis itu. Kejadian ini sangat langka sekali. Gadis itu berani menolong seseorang yang tidak dia kenal,” ujar Ghayda Hamrah, yang akrab disapa Ida.             Semua diam sambil berpikir, begitu juga dengan Zhain. Dalam diamnya, dia berpikir keras bagaimana pun caranya dia harus berterima kasih dengan gadis itu karena sudah menyelamatkan Mamanya, orang yang paling dia sayangi itu. “Ivan akan coba cari tahu, Eyang. Tapi mungkin ponsel milik gadis itu bisa kita jadikan sebagai petunjuk juga, Kak Zhain.” Ivan melirik sekilas ke arah Zhain.             Zhain hanya diam, bahkan tak memandang Ivan sedikit pun. “Oh … ayolah, Kak Zhain. Sikap dingin mu itu, kenapa masih kau pelihara sampai sekarang kak. Usia mu sudah tua. Bersahabatlah sedikit dengan para sepupu mu,” ujar Ivan menyindir Zhain.             Yah! Karena sedari tadi, dari mulai acara kerabatnya yang berdatangan ke rumah hingga mereka pulang, Zhain acuh tak acuh terhadap mereka. Selain tipe yang pendiam dan tidak banyak bicara, Zhain juga tidak terlalu menyukai keramaian. Dia juga berbicara seadanya pada siapa pun untuk menghindari ghibah. “Van, kalau kau mau membantu abang mu ini. Aku sangat berterima kasih sekali,” ujar Zhain lalu beranjak dari duduknya. Mengambil segala barangnya, dan berjalan menuju kamarnya yang berada di lantai dua.             Mereka semua melihat ke arah Zhain. “Kak Zhain masih sama ya, Tante, Om. Kapan dia bisa dapetin jodoh kalau sikapnya aja masih dingin kayak gitu.” Ivan tertawa pelan.             Zhaka hanya menggelengkan kepalanya. “Kau tahu bagaimana Zhain, Ivan. Dia memang cuek. Bahkan kami pun sudah mengatakan padanya. Siapapun gadis yang dia bawa asal dia berpendidikan bagus, kami pasti merestuinya.” Arisha bersuara lembut. “Iya, Tante Ica. Tapi apa Tante uda coba mengenalkan dia sama anak-anak dari teman-teman Tante? Yang masih gadis dan belum menikah juga gitu, Tan?” tanya Ivan sambil mengunyah makanannya. “Heeyy. Kau ini bicara apa Ivan. Kalau sampai abang mu dengar. Bisa habis kau. Kau tahu sendiri Zhain tidak suka dengan acara dijodohkan seperti itu,” ujar Ida menasehati sambil tertawa pelan.             Ivan terkekeh pelan sambil menggaruk lehernya yang tidak gatal. Entah bagaimana dia harus membalasnya, sebab dia tidak mau dipersulit dengan karakter sepupunya itu.             Setelah mereka berbincang-bincang lama, akhirnya Ivan memutuskan untuk balik dari rumah Zhain. Karena hari juga sudah malam. …             Mereka bertiga masih duduk di sofa ruang keluarga, sambil menyesap teh hangat yang disediakan oleh Bi Atik, pembantu rumah tangga mereka yang sudah bekerja di rumah mereka hampir 25 tahun lamanya. “Pa, gadis itu pasti baik hatinya.” Arisha masih memeluk suaminya. “Iya, Ica. Mama juga berpikir seperti itu. Orang lain yang tidak dia kenal saja, dia tolong. Sepertinya dia orang yang tanpa pamrih,” timpal Ida. “Apa Mama sepemikiran denganku?” tanya Arisha menatap Mama mertuanya itu.             Mereka saling memandang, dan melempar senyuman mereka. “Sekarang tergantung Zhain, Ica. Kau tahu, cucuku tidak suka dengan sistem dijodohkan.” Ida menghela panjang nafasnya. “Iya ma. Sudahlah. Biarkan Zhain menikmati masa lajangnya. Dia pasti juga berpikir ingin segera menikah,” ujar Zhaka menasehati istrinya. Agar tidak terlalu cepat menyuruh Zhain menikah apalagi menjodohkannya kepada gadis yang menolongnya saat dia kecelakaan.             Arisha diam dan mengangguk iya. “Kita bisa pertemukan mereka berdua. Kita tidak perlu berterus terang sama Zhain, Pa. Cukup mereka saling kenal saja dulu. Tak kenal kan maka tak sayang, Pa.” Arisha berusaha untuk meyakinkan suaminya. “Iya, Sayang. Tapi kau tahu bagaimana anak kita, kan? Dia pasti bakal menolak mentah-mentah gadis itu kalau tahu niat kalian ingin menjodohkan mereka berdua,” ujar Zhaka lagi seraya mengingatkan niat Mama dan istrinya. “Iya, Ica. Biarkan waktu yang menjawab semuanya. Dan sekarang kita istirahat saja. Besok pagi aku ingin menjenguk sahabatku yang sedang sakit. Aku mau Lias mengantarku pagi-pagi,” ujar Ida memberi pesan pada menantu satu-satunya, Arisha. “Iya, Ma. Besok pagi Ica suruh pak Lias untuk bersiap-siap mengantar Mama,” ujar Arisha sambil mengangguk iya. *** Rumah Pradipta Salaman, Jakarta., Malam hari.,             Dipta sedang menginterogasi putri angkatnya Chandani yang akrab disapa Icha. Bukan tidak percaya dengan istri dan kedua anaknya, tapi Dipta mengenal baik mereka yang tidak suka terhadap Chandani. Dia ingin tahu secara langsung kejadian dimana Chandani menolong orang tabrak lari tadi pagi di pasar. Sampai dia harus merelakan ponselnya sebagai jaminan tebusan biaya perawatan pertolongan si korban.             Chandani menceritakan semua kejadian kecelakaan itu, tanpa ada penambahan kata sedikit pun. Takut-takut dia menjelaskan, pasalnya ibu dan saudari angkatnya menatapnya tajam saat ini. “Kau ini kalau bicara jangan dikurangi jangan ditambahi!” ketus Leta berkata sinis pada Chandani yang masih menundukkan kepalanya.             Chandani, dia hanya menunduk ketakutan. Karena biasanya kalau sudah ada pertengkaran kecil di rumah. Keesokan harinya saat Dipta pergi bekerja, Leta pasti akan menghajar Chandani habis-habisan. “Enggak, Bu. Icha bicara sesuai kejadian yang sebenarnya. Icha gak ada menambahi atau mengurangi, Bu.” Chandani hampir meneteskan air matanya, meremas kedua jemarinya. “Heh! Gak usah pakek air mata buaya. Bilang aja kalo ponsel mu, kau jual buat kau berfoya-foya!” sambung Sinta berkata asal agar Papanya, Dipta dapat terkecoh. “Sudah-sudah. Kenapa jadi saling adu mulut begini!” teriak Dipta menengahi mereka. “Papa kenapa gak pernah percaya sama Mama. Percayanya cuma sama dia aja!” sahut Sahya menunjuk ke arah Chandani yang masih menundukkan kepalanya ke bawah. “Iya. Semenjak dia datang numpang hidup di rumah kita. Papa sama Mama selalu aja bertengkar karena hal kecil!” sambung Sinta lagi dengan nada emosinya. “Kau dengar Icha? Chandani?! Kau memang anak pembawa sial di keluarga kami!” ketus Leta mulai emosi dan menggepal kuat kedua tangannya.             Dipta memijit pelipisnya yang mulai pusing. Karena pasalnya, di rumah ini selalu saja terjadi pertengkaran seperti ini. Dipta memang mengakui, semenjak Chandani datang ke rumahnya dan menganggapnya sebagai anaknya sendiri. Istri dan kedua anaknya langsung tidak menyukainya. Bahkan mereka seperti memusuhi Chandani. Sejak itulah pertengkaran kecil di rumah mereka selalu terjadi setiap harinya.             Dipta ingin sekali membuat Chandani nyaman dengan mengontrak rumah sepetak khusus buatnya. Agar Chandani tidak selalu disuruh-suruh atau dibentak dan dimarahi oleh istri dan anaknya. Tapi janjinya kepada almarhum kedua sahabatnya, membuat Dipta mengurungkan niatnya itu. Dia juga kasihan melihat Chandani yang tinggal sebatang kara.  “Sejak kau datang ke rumah kami! Papa dan Mama kami selalu bertengkar. Dan itu karena kau. Karena kau Icha!!” teriak Sahya lalu masuk ke dalam kamarnya.             Sinta juga ikut masuk ke dalam kamarnya. Sedangkan Leta, dia masih menatap tajam kearah Chandani. “Istirahatlah, Icha. Ini sudah malam. Papa mau istirahat dulu,” ujar Dipta langsung berjalan menuju kamarnya.             Leta dan Chandani masih berada di ruang tamu. Saat Leta hendak masuk ke dalam kamarnya. “Bu. Apa Icha boleh mengatakan sesuatu?” tanya Chandani sedikit takut-takut.             Leta hanya diam, dengan tatapan tidak sukanya pada Chandani. “Gak usah bicara sok formal. Ciihhhh!” ketus Leta berwajah sinis.             Chandani hanya diam menunduk. Lalu dia memberanikan diri untuk mendongakkan kepalanya dan menatap ibu angkatnya, Leta. “Bu, apa Icha tidak berhak mendapat kasih sayang ibu sedikit saja? Icha tahu selama ini Icha selalu membuat kalian susah. Tapi Icha sangat menyayangi kalian,” ujarnya bersuara parau dan bergetar, lalu menundukkan kepalanya kembali.             Leta menatapnya tajam. “Kau dengar baik-baik anak pembawa sial. Aku bukan ibumu. Dan kau bukan siapa-siapa kami. Kau pikir, kau siapa sampai aku harus berbagi kasih sayang ku pada mu, hah?!” ketus Leta dengan nada pelan, agar Dipta suaminya tidak mendengar ucapannya. “Kau tahu kenapa Tuhan beri takdir mu seperti ini? Karena kau tak pantas bahagia. Kau lihat? Bahkan orang tua mu meninggal karena dirimu. Karena kau memang anak pembawa sial. Kau harus sadar diri, kau tidak pantas dapati kasih sayang dari keluarga kami. Jangan pernah berharap sampai kapan pun!” ketus Leta penuh penekanan, dengan nada mulai emosi. “Dan sudah cukup untuk malam ini. Malam terakhir kau mengucapkan itu padaku, Icha. Karena sampai kapan pun, aku tidak akan pernah menjadi ibumu. Tidak akan pernah! Dan jangan lagi memohon ke aku untuk menganggap mu sebagai putri ku. Aku tidak akan pernah sudi!” ketusnya masih dengan nada menahan amarah. “Tapi ada satu hal yang harus kau lakukan kalau kau mau, aku memaafkanmu setidaknya menerima mu ada di rumah ini!” ketusnya lagi mulai bersuara datar, dengan tatapan tajamnya pada Chandani. Chandani, dia seakan seperti diberi harapan besar oleh ibu angkatnya, Leta. Dia lalu berdiri dan menghadap Leta dengan penuh harap. “Apa itu, Bu? Icha janji gak akan buat kalian kecewa sama Icha.” Chandani sedikit bahagia dan merasa memiliki secerca harapan dari keluarga angkatnya ini. “Kau tinggalkan rumah ini besok pagi dengan alasan kalau ingin hidup mandiri,” ujar Leta pelan menatap intens Chandani. Deg!             Sebenarnya Leta sendiri juga kasihan melihat Chandani yang sudah sebatang kara. Tapi kala melihat suaminya, Dipta lebih memihak Chandani dari pada dengannya dan anak-anaknya. Hal itu membuat Leta membenci Chandani. Dan membuatnya berpikir bahwa Chandani pembawa masalah dalam rumah tangga mereka. “Kami akan beri kau uang untuk kelangsungan hidupmu. Itu uang dari penjualan rumah dan mobil orang tua mu dulu. Sebagian bisa kau bawa pergi, sebagian lagi itu adalah hak kami karena sudah mengurus mu selama ini.” Leta mengatakannya tanpa terasa getar di bibirnya.             Leta lalu masuk kedalam kamarnya tanpa menghiraukan Chandani yang masih diam disana. Dia berharap kalau gadis yatim piatu itu bisa sadar akan posisinya di rumah ini.             Chandani diam tak bergeming. Sejenak dia merasa bahwa akan ada harapan untuknya diberi kasih sayang di rumah ini. Setidaknya dirinya diterima dengan baik di rumah ini dan dianggap saudara oleh kedua adik angkatnya itu. Tapi ternyata dugaannya salah. Menganggapnya ada di rumah ini, maksudnya adalah dia harus pergi daari rumah ini. Lama dia berdiam diri, Chandani lalu berjalan menuju kamarnya yang berdekatan dengan dapur. Menutup pintu kamarnya. Dia lalu terduduk sambil menyandarkan punggung pada pintu kamar. Menutup wajahnya dengan kedua tangannya.             Dia menangis lagi. Menangis adalah hal yang dia lakukan saat dia benar-benar tidak sanggup lagi menahan sesak di dadanya.             Dia selalu berpikir apakah benar kalau dia tidak pantas bahagia. Dia tidak ingin diutamakan. Dia hanya mau disayangi dan dianggap ada oleh orang-orang yang dia sayangi. Hanya itu dan tidak lebih. Dia ingin diberi perhatian walau sedikit saja.             Dia yang sadar, karena sudah sebatang kara. Dia pikir dengan berada di rumah ini bisa membuat hidupnya berwarna. Setidaknya dia masih diberi kesempatan untuk bahagia dan menikmati kasih sayang keluarga, terutama kasih sayang orang tua.             Tapi sepertinya apa yang dikatakan oleh ibu angkatnya, Leta memang benar. Mungkin dia harus pergi dari rumah ini. Karena di rumah ini, dia hanya membawa masalah dan pertengkaran saja. Chandani juga merasa bersalah dan sadar, bahwa selama dia tinggal di rumah ini, Dipta dan Leta selalu saja berselisih paham karena dirinya.             Dia mengusap air mata di pipinya. Berdiri lalu mengambil ransel kecil untuk membereskan pakaiannya yang tidak seberapa banyak dibandingkan pakaian milik kedua saudari angkatnya. Dia memutuskan untuk pamit dari rumah ini besok pagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD