Kejadian itu

1904 Words
Clarissa membuka buku panduan menyusun Karya Tulis Ilmiah dari Kampus, siang tadi Bu Hana sudah berkoar-koar di Aula untuk memberitahu Mahasiswa agar membaca buku panduan itu. "Ini seriusan ni, Sa?" Kata Yura yang tiba-tiba menyodorkan buku panduan miliknya. "Serius apaan?" Balas Rissa tanpa mengalihkan pandangannya pada buku itu. "Kita akan segera nyusun ini?" Tanya Yura sambil membolak-balikan buku panduan yang ia pegang. Rissa menghela napas nya, “Iya lah, cepat atau lambat kita akan buat ini. Emang kamu engga mau wisuda? ” "Iya sih, Sa." Jawab nya pasrah. Ingatan Clarissa tiba-tiba membuatnya terkejut sendiri. "Yaampun, Ra." Ucap nya sambil menepuk dahi nya. "Kenapa sih? Lo heboh banget? ” Tanya Yura sambil menatap heran pada Clarissa. "Besok kan matkul nya Dokter Refran, kita belum beli alat-alat yang suruh beli pas matkul dia." “Emang Dokter Refran besok ada?” Tanya nya tak percaya. Rissa mendengus, "Ya lo pikir, bakal Dokter muda itu lagi yang ngajar kita?" Yura menyengir, "Iya." "Mending lo telpon Elen deh sekarang!" Perintah Clarissa. “Engga ah, si Elen kan engga akan membeli kalau bukan kita yang ngingetin. Lo kaya engga tahu si Elen aja. " Kata Yura ingat. "Yaudah lo telpon deh tuh si Abdi, siapa kek ah yang mendorong gue." Yura melirik nya tajam, "Ini kan lo yang inget, jadi lo aja yang gerak." Rissa kemudian berdiri, mengambil tas juga cardigannya. “Yaudah, gue mau beli buat gue sendiri. TELUK!" Yura menatap tak percaya, "Ya lo sekalian beliin yang gua kek, pelit banget." "Iya kan gue yang inget, jadi buat gue aja." Kata Clarissa mengulangi ucapan Yura. Yura berdecak kesal, ia tak mengatakan apa pun sampai Clarissa benar-benar keluar dari kamar dan membunyikan suara pintu bawah terbuka. "Rissa .." Teriak nya dari dalam kamar. "Ikut mangkannya." Teriak Rissa yang sudah siap untuk pergi. Yura mendegus kesal, ia kemudian berdiri dan mengambil jaket yang dipasang di dalam lemari. Sambil menggerutu, Yura akhirnya memutuskan untuk membatalkan Clarissa. * Jefran menghembuskan napasnya, jam nya di Rumah sakit sudah selesai. Jefran memilih untuk membuka ponselnya, mengingat kapan saja berangkat jadwal ayahnya mengajar di Kampus. "Halo?" Gunakan lebih dari dulu, saat panggilan sudah terhubung. "Kenapa, Jef?" Jefran berdecak pelan, berusaha agar tidak terdengar. Besok jadwalnya mengajar, mengapa sebaliknya malah bertanya balik. Apa Ayahnya sudah mulai pikun? “Besok kan ada jadwal di kampus, Ayah kapan pulang?” Tanya nya, ia siap jika harus mendengar kalau harus ia lagi yang pergi ke sana. “Ayah tadi udah konfirmasi sama bidang akademik, kalau selama semester ini kalau Ayah ga bisa. Kamu yang menangani, Jef. ” Jawabnya dengan enteng. Jefran membeku, Kenapa Ayah memutuskannya pergi. Jefran seorang Dokter, ia sudah banyak membuat janji dengan pasiennya. Kalau ia tak punya jadwal, bisa saja Jefran menghandle nya. "Jef?" Panggil Ayahnya, karena tak ada respons dari Jefran. Jefran lagi-lagi menghela napasnya, mau tidak mau ia harus menuruti kemauan Ayahnya. "Iya, Yah?" "Ayah udah konfirmasi kok sama kepala Rumah Sakit, kamu itu kan Direktur muda jadi engga masalah kalau sibuk." Lanjut Refandra dengan percaya diri. “Iya, nanti aku urus. Kapan pulang? ” Jefran kemudian berdiri, untuk melepaskan jasnya. “Belum tahu, nanti Ayah kabari. Sudah dulu, baik-baik di sana. ” Pesan itu sebelum menutup panggilan itu. Selesai menelpon Ayahnya, Jefran segera bersiap-siap untuk pulang. Tangan kanannya tetap memegang ponselnya, sedangkan tangan kanannya memegang tas hitam yang ada di atas meja. Setelah membiarkan tidak ada yang tertinggal, Jefran melangkahkan kaki untuk meninggalkan ruangannya. * Clarissa berjalan menyusuri trotoar bersama Yura. Ia mengedarkan pandangannya ke jalan, melihat orang-orang berlalu lalang. Beragam, ada yang menumpangi roda dua, roda empat atau bahkan roda tiga. Mata Clarissa tertuju saat membuka kekasih yang banyak sekali berlalu lalang, bibirnya terangkat, ia tersenyum tipis. Dalam hati dan pikirannya sekarang, ia membayangkan bagaimana ia ada di posisi itu. Tapi, ingatannya tentang kuliahnya tiba-tiba membuat senyumnya hilang. Bagaimana mungkin Rissa bisa berjalan-jalan dan pergi bersama kekasihnya. Sementara biaya hidup nya saja harus ditopang oleh Tante nya. "Sa, lo pasti ngeliatin bucin-bucin yang pindah lewat sini kan?" Kata Yura menebak Rissa. Rissa terkekeh, “Hiburan, Ra. Meskipun bukan kita yang ngerasain, ya liat aja dulu. ” "Lo serius ga tertarik sama Pak Jefran?" Pertanyaan itu membuat Rissa menghentikan langkahnya. "Kok berenti?" Tegur Yura yang berhasil jika langkahnya tidak lagi sama. Rissa menatap Yura dengan ekspresi datar, lalu sekian detik kemudian ia tertawa. “Ra, lo tuh kenapa sih? Dia mulu yang ada dalam pikiran lo. " Yura terlihat malu, terlihat dari rona merah di pipi nya. "Gue kan Cuma tanya." “Gue engga mikirin soal itu, Ra. Tenang aja ”Tapi Clarissa tidak berani menjanjikan tidak akan menyimpan perasaan pada Dokter itu. Untuk saat ini yang Clarissa rasakan hanya hal biasa, tidak lebih seperti Yura. Yura mengangguk paham, sambil mengiyakan dalam hati. Yura bersyukur dalam hati, kali ini ia bisa mengejar hal yang ia sukai. Karena, sejak dulu tak pernah ia benar-benar mendapatkan apa yang Yura mau. Selalu ada tantangan, bahkan tantangan yang rumit untuk ia terima. "Semoga saja, semoga saja nanti Dokter Jefran yang mengisi kelasnya." Gunakan dalam hati, setelah itu ia tersenyum. Kemudian melanjutkan kembali perjalanannya bersama Clarissa. * Setelah mobilnya terparkir, ia segera mengambil tasnya dan keluar dari mobil. Jefran menarik nafasnya, lalu menghembuskan nya. Udara pagi ini membuatnya sedikit lebih baik, setelah memutuskan untuk mengubah jadwal pertemuannya dengan pasien. Drrttt ..... Ponselnya bergetar, Jefran merogoh saku nya. Membuka ponselnya dan membaca pesan yang dikirim dari Ayahnya. "Iya, Yah." Jawabnya tanpa suara. Ayahnya baru saja mengirim pesan berisi pengingat, jika hari ini ia harus ke kampus untuk menganggukan nya. Dilirik jamnya di ponsel, ini bukan jam nya ingat. Karena Jefran sudah lebih dulu di kampus daripada pesan yang dikirim ke nya. Setelah selesai membaca pesan, ia segera menutup kembali ponselnya lalu menyimpannya kembali ke saku celananya. Jefran kemudian mulai membuka lobi Kampus itu, menuju ruangan Ayahnya. Sepasang mata membuat sedikit kesulitan, ia benar-benar sadar semenjak ia menginjakan kaki ke kampus ini banyak mata memperhatikannya. "Pagi, Dokter." Sapa salah satu Mahasiswa. Jefran tidak mengenalnya, tetapi ia hanya tersenyum untuk membalas perhatian Mahasiswa di sini. Jefran hanya menggelengkan kepala nya, melihat kelakuan Mahasiswa di Kampus ini. Ia kembali melanjutkan langkahnya menuju ruangan Ayahnya. * "Lo tau engga?" Tanya Ellen begitu melihat Yura dan Clarissa sampai di dalam kelas. Clarissa dan Yura tak menjawab, ia hanya memasang wajah bertanya dan meminta kelanjutannya. “Tadi di bawah gue ketemu Dokter Jefran.” Kata Elen dengan nada sombong nya. Clarissa melongo, ia kira ada berita apa pagi ini. Rissa mendengus, lalu melengos pergi ke tempat duduknya. Lain hal dengan Yura, ia menolak wajah yang sangat bahagia. "Serius lo?" Tanya nya lagi pastikan. "Iya lah, ya kali gue bohong." Jawab Ellen tak terima. “Ah, Rissa! Lo sih kata gue juga engga usah beli peralatan ini. ” Adu nya bingung Rissa, sambil berjalan ke arah Rissa. Risa mengerutkan dahi nya, "Gue lama-lama sebel deh sama itu dosen, karena dia lo jadi lebih nyebelin tahu engga?" Yura terkekeh, ia malah malah berusaha tak tahu malu. "Ya maklum aja sih, orang lagi jatuh cinta." "Selamat Pagi!" Sapa seseorang di balik pintu, membuat Yura melonjak kaget. "Sa, jodoh gue." Rissa hanya memutar bola mata nya, “Lo berlebihan banget.” “Pagiiii ..” Jawab seisi kelas dengan semangat. Pagi ini, Rissa terdiam melihat senyum Dokter Jefran yang berakhir kepada nya. Seperti membuat aura khusus yang membuat Rissa merasakan hal yang berbeda. Sejak awal ia akui memang cocok untuk dijadikan idola atau pasangan idaman. Namun, bagi yang suka dan kagumi itu hanya akan membuat hati menjadi lelah sendiri. "Apa kabar semua nya?" Tanya nya, sambil berjalan lebih dekat ke arah Mahasiswa. Semua menjawabnya dalam keadaan baik, kecuali Rissa yang hanya diam saja sedari tadi. Jefran memulai pembelajaran pagi ini, seperti biasa ia akan banyak menjelaskan tentang kesehatan. Terlebih dulu bahan yang ia sampaikan sangat besar untuk menguasai sepenuhnya. Banyak pertanyaan yang datang ke nya, tak perlu menunggu lama. Jefran akan menjawab dengan cepat, seperti sedang dalam sesi obrolan biasa. Meganggumkan, batin Rissa. Rissa segera menggelengkan kepalanya, begitu tahu hati mengatakan yang aneh-aneh. “Ah Rissa! Lo kenapa? ” Tanya lembut pada diri sendiri. “Baik, kalau sudah paham. Boleh dicatat dulu materi nya. " Semua yang direkam tanpa terkecuali. Yura diam-diam menyikut siku Rissa, "Yakin engga ada rasa kan sama dia?" "Sa?" Rissa tidak mendengar, ia hanya sibuk dengan pikiran juga hati-nya tiba-tiba seperti tersihir saja oleh seorang dokter muda. "Rissa?" "Clarissa?" Tanya nya lagi, kali ini ia menepuk bahu Rissa agak keras. "Enggak, gue engga suka." Jawabnya dengan penuh persetujuan, dan respons spontan yang bisa dia dapatkan dari hasil pemikirannya juga hatinya. Suara nya yang nyaring, dan keadaan kelas yang sedang sepi. Membuat semua orang memperolehnya. Sebut Jefran. "Sa!" Ellen mencoba mengingatkan Rissa. "Lo engga suka sama siapa?" Ellen belum berhenti bertanya. "Jangan berisik ya." Jefran bersuara, berikan izin yang sangat menyentil untuk Clarissa. "Lo engga suka sama siapa, Sa?" Keras kepala sekali Ellen, ia masih saja terus bertanya. “Gue engga suka sama lo, Len. Puas? " Jawab Rissa dengan penuh setuju. Ellen, tambah Ellen, tambah memalukan saja dirinya sekarang. Rissa segera menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Ia malu, diberikan saat tatapannya bertemu dengan Dokter itu. "Ah! Gue malu-maluin banget sih. ” Kesal pada diri sendiri. Diam-diam ada seseorang yang terkekeh karna sikapnya, ada reaksi spontan yang tiba-tiba merasa tersenyum saat melihat Rissa malu karena ulahnya. * "Ada apa. Pak Dokter? ” Tanya Gio, yang sedang membawa dua botol minuman ke arah Jefran. Kata Jefran, ia baru saja selesai pulang dari kampus. Entah apa tujuannya, Jefran malah sebaliknya mengunjungi rumah Gio tiba-tiba. Jefran tersenyum, “Apaan sih lo, Gi? Alay banget. " Jefran menepis nya. Gio terbahak-bahak, “Ya emang lo Dokter, Jef. Terus lo mau gue panggil apa? Tukang urut? " “Gi, udah lah. Gue juga tahu kalau lo bahas profesi gue, pasti ujungnya bahas jodoh. ” Kata Jefran, meleraikan. "Ada apa, Jef?" Tanya Gio kali ini lebih serius, sambil, mengirimkan salah satu botol kaleng berisi minuman itu. “Seminar Besok ada, Gi. Lo ikut gue ya, gimana? ” Tawar nya, lalu meneguk minuman yang baru saja Gio diberikan kepada nya. Gio membeku, ia bingung harus menjawa apa. Ia kira Jefran tidak serius perihal itu, nyata itu ia benar-benar mengundang Gio. “Kenapa lo? Kesambet? " Tegur Jefran yang melihat Gio belum juga memberikan jawaban kepada nya. "Lo serius, Jef?" Tanya nya pastikan. "Gue pulang ngajar langsung datang ke rumah lo, kurang serius apa sih gue sama lo?" Jawab Jefran penuh drama. “Yeh, lo mau menghitung jadi jangan ke gue. Ke cewe aja! ” Jefran terbahak-bahak, “Rese banget lo, Gi. Udah besok lo ikut seminar di acara, gue tahu besok lo liburan kan? ” Gio menatap sinis, “Tau darimana lo? Jangan-jangan engga ada pacar sampai sekarang karena .. " " Apaan sih? Gue lihat jadwal lo barusan, suka engga jelas banget ini anak. Heran gue. " Gio mengangguk-anggukan kepala nya. “Iya, besok lo jemput gue!” "Hah?" Tanya Jefran tak mengerti. “Iya lah, ngapain gue bawa mobil pergi. Engga jelas banget lo. ” “Gue harus puter balik, Gio. Otak lo di pindah bukan sih? ” “Iya oke, gue bawa mobil gue sendiri. Puas kan lo? " Jawabnya penuh disetujui. Jefran lagi-lagi tertawa, ia benar-benar tak pernah merasa senang jika bersama dengan Gio seperti ini. Ia hanya berharap jika ia dan Gio akan baik-baik saja seperti ini. "Sampe sekarang, lo belum ada juga gebetan, Jef?" Lagi-lagi pertanyaan itu. Namun, kali ini malah Jefran malah senyam-senyum sendiri. Ia suka memendam sesuatu, dan Gio memulihkan setiap ekspresi Jefran. "Engga ada, Gi. Gue serius. " Jawabnya tanpa Instal senyumnya. “Gue tahu, lo lagi terpesona saa satu cewe kan? Ngaku lo? " Cecar Gio. “Gue seneng, Gi. Lihat dia. ” Jawabnya tanpa memandang Gio, Jefran membayangkan wajah seseorang di hadapannya. Apa benar Jefran mulai jatuh cinta?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD