Kabar gembira untuk Jefran

1975 Words
Sudah satu jam yang lalu Jefran berada dalam kamar nya. Rasa nya hari ini tidak melelahkan bagi nya, padahal ia harus membagi waktu sebagai Dokter juga seorang Dosen. Tapi, entah kenapa kali ini ia merasa menikmati kegiatan nya. Jefran membuka pintu kamar nya, bermaksud untuk menemui Ayah nya di ruang kerja. Karena ia juga sudah berjanji untuk menemui Ayah nya jika telah selesai membersihkan tubuh. Tuk.tuk “Ayah..” Suara ketukan pintu bersamaan dengan suara Jefran memanggil Ayah nya. terdengar dari luar suara ketikan Laptop, ia tahu pasti Ayah nya sedang mengerjakan sesuatu. “Masuk.” Kata Refran dari dalam ruang kerja nya. Setelah mendengar itu, lantas Jefran segera membuka pintu itu dan masuk ke ruang kerja Ayah nya. “Duduk.” Kata Refran sambil menunjukkan sofa yang ada dalam ruangan itu. Jefran mengangguk, lalu duduk sesuai perintah Refran. Sekitar dua menit ia menunggu Ayah nya yang masih berkutat dengan Laptop  nya, kemudian ia berdiri dan duduk di hadapan Jefran sambil membawa beberapa lembar kertas. “Dilihat dulu, Jef.” Ayah nya menyerahkan lembaran itu pada Jefran. Jefran mengernyitkan dahi, tangan bergerak membuka lembaran demi lembaran yang diberikan oleh Ayah nya itu. Cukup lama ia membaca lembaran demi lembaran, sebelum akhirnya Refran bersuara. “Itu materi yang sudah Ayah susun menurut silabus materi semester ini.” Refran memandang anak laki-laki nya itu. “Ayah serahkan sama kamu ya, Jef.” “Maksud nya ini semua tuh buat apa, Yah?” Tanya Jefran, ia tak mengerti. “Beberapa hari lagi, mahasiswa tingkat dua akan menghadapi praktek lapangan. Tapi, karena Ayah penanggung jawab dari materi yang akan menjadi target mereka di lapangan harus ada ujian lisan lebih dulu.” Refran membenarkan posisi nya. “Ujian lisan ini berguna untuk mengetahui siapa saja mahasiswa yang sudah layak dan mampu untuk terjun ke lapangan dengan materi yang lebih sulit dari sebelumnya. Kalau mereka engga lulus, mereka akan terus remedial sampai mereka benar-benar lulus. Baru lah ada izin praktek lapangan.” Jefran belum menjawab, ia memahami dulu apa yang Refran katakan. “Paham, Jef?” Tanya Refran memastikan. “Sistem izin praktek itu, perindividu atau gimana? Maksud Jefran, kalau ada mahasiswa yang tidak lulus ujian lisan apa akan mempengaruhi jadwal praktek lapangan mahasiswa yang lulus?” Kata Jefran dengan wajah serius. “Engga. Yang lulus dengan yang tidak sudah pasti akan mendapatkan jadwal yang berbeda, jadi kalau hanya ada lima mahasiswa dari sekian puluh yang lain yang tidak lulus. Itu artinya mereka akan terjun ke lapangan sendiri, tidak bersama yang lain. Karena jelas, waktu yang mereka dapatkan berbeda.” Jefran mengangguk-anggukan kepala nya, ia kini menatap lembaran demi lembaran itu. “Sudah Ayah konfirmasi ke bidang akademik, perizinan dan yang lain sudah Ayah yang urus. Jadi, kamu tinggal menjalankan nya saja.” Kata Refran lagi, khawatir jika Jefran merasa terbebani untuk mengurus semua perizinan. Toh, ini memang tanggung jawab nya. Jefran hanya membantu. “Dimulai kapan ujian nya?” “Mungkin beberapa hari lagi, nanti akan Ayah konfirmasi lagi ya. Karena ada satu pertemuan yang harus diselesaikan untuk penyampaian materi terakhir.” Jefran paham, ia menganggukan kepala nya. “Yaudah iya, ada lagi yang bisa Jefran bantu?” Jefran menawarkan diri nya. “Engga ada, Jef. Besok jadwal kamu hanya di Rumah Sakit, besok juga Ayah akan pergi ke sana karena ada janji dengan pasien. “ “Oke deh, Jefran pamit ke kamar dulu kalau gitu ya. Ayah jangan sampai larut malam, engga baik untuk kesehatan. Selamat malam, Yah.” Pamit nya kemudia berdiri dan berjalan ke luar dari ruangan itu. Jefran menghembuskan napas nya lagi, kenapa ia merasa kecewa jika esok tak ada jadwal di Kampus itu? Padahal dari awal ia sendiri yang ingin segera mengusaikan tugas nya di Kampus itu. * “Selamat pagi, Dokter..” Sapa salah satu perawat yang kebetulan berpapasan dengan nya. “Pagi.” Jawab nya sambil tersenyum dan menundukkan sedikit kepala. Siapa yang tak mengenal nya di Rumah Sakit ini. Anak dari Dokter Refran, seorang Direktur muda yang sangat tampan. Bohong kalau para kaum hawa yang bekerja di Rumah Sakit ini tak ada yang menyukai nya, nyata nya ia adalah incaran para kaum hawa. Hanya saja Jefran sendiri yang menutup akses soal hati nya, ia begitu tertutup soal asrama. Beberapa kali dibujuk oleh rekan kerja nya sesama dokter ataupun perawat, tetap saja Jefran masih enggan memulai kisah asmara nya. “Dokter Jefran hari ini masuk?” Kata seorang perawat pada rekan kerja lain nya. Marsya yang tadi bertemu dengan Jefran langsung menganggu, “Iya, tadi gue ketemu di depan.” “Perasaan baru beberapa hari dia engga masuk, tapi kok kaya lama banget.” Kata nya sambil memperhatikan laporan nya. “Bukan engga masuk juga sih, dia paling ke Rumah Sakit sebentar aja.” Lanjut seseorang yang berada di ruangan itu. “Emang dia kemana sih?” Kata Marsya. “Kata nya sih dia jadi Dosen gitu, gantiin Dokter Refran yang lagi ke Malang.” Semua nya mengangguk dan ber oh ria saja. Memang, kabar soal Jefran selalu menyebar dengan cepat. Banyak yang menanyakan kabar nya, dan memperhatikan kegiatan nya. Jefran yang baru saja sampai di ruangan nya segera menyimpan tas nya di atas meja yang memang digunakan untuk menyimpan barang-barang. Ia juga segera memakai jas putih nya, lalu duduk di kursi nya. Jefran menghembuskan napas nya, dan mengusap sekilas meja yang ia gunakan. “Kaya udah lama banget engga masuk ruangan ini.” Gumam nya sendirian. Hari ini ia tahu kalau jadwal nya akan full di Rumah Sakit, entah kenapa ia sangat berharap Ayah nya akan segera mengabari nya soal kapan ia kembali ke Kampus itu. Tuk.tuk Pandangan Jefran segera beralih pada pintu yang ia dengar sudah diketuk, “Masuk.” Kata nya setelah mendengar suara ketukan itu. “Selamat pagi, Dokter.” Seorang perawat masuk sambil membawa beberapa lembar yang akan ia sampaikan pada Jefran. “Pagi.” Jawab nya dengan cepat sambil tersenyum tipis. “Ini catatan medis dari pasien yang memiliki janji dengan Dokter hari ini.” Kata seorang perawat sambil menyerahkan lembaran kertas itu. “Oh iya.” Jawab nya tanpa mengalihkan tatapan nya dari catatan medis yang sudah ia ambil. “Hari ini Dokter ada janji sampai jam tiga sore, apakah Dokter ada keinginan untuk mengurangi jam?” Jefran menggeleng, “Engga, hari ini saya bisa full kok di Rumah Sakit. Jadi, engga perlu ada yang dirubah jadwal pertemuan saya dengan pasien.” Perawat itu mengangguk. “Baik Dokter, saya permisi.” Kata nya sambil menundukkan kepala nya. “Iya, terima kasih.” Jawab nya sambil mengiringi langkah perawat itu keluar dari ruangan nya. * Sudah pukul dua belas siang, tapi Clarissa tak henti menatap catatan nya sejak tadi. Padahal jam kedua kosong, tidak ada Dosen yang masuk. Yura memperhatikan Clarissa sedari tadi, ia terlihat seperti banyak pikiran. “Sa?” Panggil Yura yang baru saja menutup buku catatan nya, lalu menarik bangku nya agar berhadapan dengan Clarissa. “Apa?” Jawab nya tanpa mengalihkan tatapan nya. “Lo kenapa?” Tanya Yura serius, ia baru melihat Clarissa seperti ini. Clarissa menggeleng, ia segera menutup buku nya. “Mau jajan kan lo, Ra? Ayo!” Kata Clarissa, ia kemudian segera berdiri. Yura tak habis pikir, seperti ada yang Clarissa sembunyikan dari nya. “Lo kalau ada masalah bilang sama gue, ada apa?” Yura menghentikan Clarissa. Clarissa terdiam sejenak, yang menganggu pikiran nya adalah Jefran. Entah kenapa bisa separah ini dampak nya bagi diri Clarissa, ia tak mungkin menceritakan soal itu pada Yura. “Apaan sih, Yura?” Tanya Clarissa, seolah ia tak mengerti. “Lo yang kenapa?” Tanya nya lagi, kini sedikit mengintimidasi. “Gue engga apa-apa, Yura.” Jawab nya sambil tertawa. “Gue Cuma lagi fokus aja, karena bentar lagi kita ujian lisan. Kalau engga lulus, gue harus ngulang buat dapet izin praktek lapangan.” “Tapi engga segininya juga kali, Sa. Selama ini lo ga pernah ngulang, ga pernah gagal sama sekali kan. Lagian kan ada Bunda, dia bisa bantu kalau kenyataan nya lo harus ngulang. Bunda juga paham kok, dia ga menuntut kita buat selalu lancar kuliah nya.” Kata Yura, sambil menatap serius pada Clarissa. “Yura, daripada uang nya dipake buat remedial. Mending buat makan-makan aja.” Kata nya sambil tertawa. “Udah ah, ayo jajan!” Clarissa berjalan lebih dulu meninggalkan Yura di tempat. Yura menghela napas nya, ia belum menyerah. Ia akan menanyakannya lagi nanti, ia tahu Clarissa sudah tidak memiliki siapapun. Kalau bukan ia yang ada untuk Clarissa, lalu siapa lagi? Menuruni anak tangga bersama Clarissa, seperti jalan sendirian bagi Yura. Sejak tadi Clarissa hanya mengangguk, atau tertawa sekilas, sekalipun berbicara hanya kata iya saja yang keluar. Yura mengalah lagi, ia tetap harus sabar seperti saat ini. Ia takut kalau Clarissa merasa tak memiliki siapa-siapa lagi. * “Suster!” Panggil Jefran ketika ia baru saja keluar dari ruangan nya dan melihat seorang perawat berlalu lalang. “Iya  ada apa, Dokter?” Kata nya menghampiri Jefran. Jefran melirik pergelangan tangan nya, untuk memastikan pukul berapa sekarang. “Dokter Refran ada di ruangan atau engga?” “Kurang tahu, Dok. Karena saya baru saja keluar dari Ruang operasi.” Jefran terdiam sejenak, seperti memikirkan sesuatu. “Oh yasudah, terima kasih.” “Sama-sama, Dok. Saya permisi ya.” Perawat itu lalu kembali melangkah, meinggalkan Jefran yang masih berdiri di depan pintu. Daripada Jefran terus-menerus bertanya-tanya dan mendapatkan balasan dari Ayah nya, lebih baik ia cek saja sendiri ke ruangan milik Ayah nya itu. Jefran harus melewati lorong yang cukup jauh, sebab Ayah nya pasti sedang berada di Poliklinik. Setelah melewati lorong, ia bisa melihat seorang Perawat baru saja keluar dari ruangan Ayah nya. dan kebetulan Perawat itu berjalan ke arah nya. “Suster, Dokter Refran ada di ruangan?” Tanya nya langsung saat berpapasan. “Ada, Dok. Sedang ada temu dengan pasien.” Kata nya memberi tahu. “Yasudah, terimakasih ya.” “Sama-sama, Dokter.” Suster itu mengangguk sambil tersenyum lalu kembali melanjutkan langkah nya, begitupun dengan Jefran. Jefran memilih duduk di luar, sembari menunggu pasien Ayah nya itu selesai. Berselang lima menit, pintu nya terbuka memperlihatkan seorang laki-laki paruh baya keluar dari ruangan. Pasti itu pasien Ayah nya, pikir Jefran. “Ayah?” Jefran langsung memanggil Ayah nya, saat pintu nya ia ambil alih. Dan segera ia tutup. “Jefran? Ada apa?” Kata Refran dengan nada bingung. Tak biasa nya Jefran menemui nya di ruangan, meskipun di waktu jam makan siang. Jefran segera duduk di hadapan Ayah nya, “Jadi berangkat hari ini, Yah?” Refran mengangguk sambil berdiri dan melepas jas nya. “Jadi, tadi pasien Ayah yang terakhir.” “Udah mau jalan, Yah?” Refran mengangguk lagi. “Kamu ada apa?” “Ini soal Kampus, jadi kapan jadwal nya?” Tanya nya sedikit gugup, entah kenapa ia jadi terlihat gugup seperti ini. Padahal seharusnya ia biasa saja, agar tak ada yang terasa janggal saat ini. Refran tak lekas menjawab, ia merapihkan meja nya lebih dulu. Lalu, kembali duduk di kursi nya. “Kamu engga sabar ya, Jef?” Jefran membeku, ia menahan malu di hadapan Ayah nya. “Memang nya ada siapa? Ada incaran ya di sana?” Cecar Ayah nya sambil terkekeh. “Ya maksud nya takut aku tiba-tiba ada janji sama pasien, Ayah.” Alibi Jefran. “Tiga hari lagi jadwal nya, tapi lusa kamu harus ke Kampus ya. Satu hari sebelum nya, untuk konfirmasi soal jadwal dengan bidang akademik. Juga pemantapan materi, ada materi yang belum disampaikan.” Kata Refran menjelaskan. Entah kenapa bibir Jefran terangkat, ia tiba-tiba tersenyum di hadapan Ayah nya. “Kok senyum? Ada siapa sih, Jef? Ayah mau tahu. Mahasiswi mana yang sudah berhasil membuat kamu kasmaran.” Jefran terus-menerus memandangi Jefran, meminta Jefran untuk menjawab pertanyaan nya dengan jelas. Jefran lagi-lagi menahan tawa nya, tapi gagal. “Apa sih, Ayah?” Kata nya sambil tertawa. “Jujur aja dengan Ayah, lagi pula Ayah sedikit banyak tahu soal Mahasiswi yang kamu tangani sekarang. Siapa, Jef?” Jefran menggeleng kuat, “Kok jadi kesitu sih, Yah?” “Selama ini Ayah tahu kalau kamu engga mau menjalani hal-hal soal cinta lebih dulu sebelum kamu berhasil. Jef, lihat sekarang diri kamu. Kamu sudah punya apa yang kamu mau, kamu juga sudah mapan. Umur kan engga akan bisa kembali muda, Jef. Ayah juga engga selamanya bisa menemani kamu, suatu saat Ayah akan pergi. Mengerti kan maksud Ayah?” Jefran diam, kenapa ia tidak bisa berpikir sejernih itu? Selama ini memang ia benar-benar menutup akses soal asmara. Setelah karir yang ia impikan tercapai, kini ia benar-benar perlu memiliki pendamping. “Ayah engga akan ngelarang kamu dengan siapapun, selagi kamu suka dan memang baik orang nya.” Lagi-lagi Ayah nya ini membuat Jefran membuka suara. “Ayah, nanti Ayah terlambat.” Kata Jefran mengalihkan. “Engga dong.” Kata nya sambil tertawa. Jefran menghela napas nya, ia memang tak bisa berbohong pada Ayah nya. Tapi, ia juga belum bisa mengatakan yang sebenar nya. “Nanti kalau sudah jelas Jefran kenalkan, doakan Jefran ya. Jefran benar-benar merasa yakin dengan wanita satu ini, tapi Jefran belum bisa terus terang sama Ayah.” Kata nya dengan jujur. “Engga apa-apa. Perjuangan ya, Nak. Ayah tunggu kabar baik nya.” Jawab Refran sambil berdiri. “Ayah harus berangkat sekarang. Titip semua nya ya, Jef.” Jefran mengiyakan, lalu mengantar Ayah nya keluar hingga masuk ke dalam mobil nya. Mulai saat ini, Jefran harus benar-benar mengikuti nasehat Ayah nya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD