Menuju ujian lisan

1761 Words
Gio masuk dalam mobil yang berbeda dengan Jefran. Mereka baru saja menyelesaikan seminar dan bersiap untuk pulang. Namun, semenjak mereka berada di dalam mobil masing-masing Jefran sebaliknya tak juga melajukan mobilnya. Gio melirik pindah tangan, sudah 15 menit mereka berada di dalam mobil namun tak kunjung pergi. Ia berdecak kesal, lalu memilih untuk keluar dari mobilnya. Ia ingin tahu apa yang terjadi pada Jefran. “Lo lagi ngapain sih? Lama amat. " Tegur Gio dengan nada kesal nya. Jefran menurunkan kaca mobilnya, lalu kembali mencari sesuatu di dalam mobilnya. "Di mana sih?" Gerutu nya. "Heh, lo nyari apaan?" "Hp gue engga ada, Gi." Kata Jefran, tanpa menghentikan pencariannya. Gio nampak kaget, “Lah? Serius lo? Lo taro di mana tadi. Teledor banget lo, heran gue. ” Jefran juga tak merespons lagi, ia sibuk mencari ponselnya. "Di tas lo engga ada?" Jefran menghela napas, menatap Gio dengan malas. "Sebelum gue gagal hilang, gue udah nyari di engga ada." Gio menyengir, "Ya siapa tahu lo lupa untuk cek." "Permisi." Suara seseorang yang berdiri tepat di belakang Gio, membuat Gio menoleh spontan. “Ah iya? Ada apa? ” Gio bersyukur ia bisa membuka suara saat berhadapan dengan gadis itu. "Maaf, Dokter atau Kaka ada yang kehilangan Hp?" Tanya nya sangat sopan. Ia berdiri tidak sendiri, ada atu lagi perempuan yang sedari tadi tersenyum-senyum tidak jelas. "Jef?" Panggil Gio, Jefran pasti tidak mendengar obrolan nya tadi dengan mahasiswa itu. "Apaan?" Jefran menoleh, lalu pandangannya jatuh pada gadis di belakang Gio itu. "Dia nanya ada yang kehilangan hp engga." Kata Gio mencoba mengulang apa yang sudah dibahas sebelumnya. "Mana? Boleh lihat dulu? " Tanya Jefran sangat ramah. "Ini." Ia mengirimkan ponselnya ke Jefran. "Ah iya, itu hp saya." Kata Jefran sambil meraih ponselnya. Lalu ia kembali menoleh lagi, "Ketemu di mana?" "Di meja, Dokter." Jawabnya seseorang yang sedari tadi senyam-senyum. “Oh iya, makasih banyak ya. Saya cari-cari tadi engga ketemu. ” "Saya Yura ya, Dokter." Gadis yang sedari tadi tersenyum-senyum itu adalah Yura. Ia mengenalkan diri sendiri sebelum ditanya. “Yaudah, aku permisi ya. Mohon maaf menganggu. " Pamit Clarissa pada Jefran dan Gio. "Iya, makasih banyak ya." Jawab Jefran. Clarissa akhirnya berlalu bersama Yura. Kini hanya menyisakan Jefran dan Gio. "Yang tadi siapa nama nya, Jef?" Tanya Gio to the point. “Yang mana? Si Yura? " "Bukan, satu nya lagi." Jefran mengerutkan dahi nya, "Kenapa emang?" Gio menyadari sikap Jefran yang berbeda, saat ia menayakan perihal gadis itu. Apa mungkin Jefran telah jatuh hati pada wanita yang sama dengan nya? "Heh? Kenapa lo? Malah bengong gitu, barusan lo nanya juga. ” Jefran terus bertanya, ia ingin tahu jawaban Gio. Apa yang disukai wanita itu? Karena sejak tadi Gio terlihat berbeda. “Lagian lo, gue malah tanya nanya balik. Cakep banget, Jef! ” Kesal Gio, ia memang benar-benar berhasil kesal. "Udah ah, ayo balik." Gio tak lagi membahas soal konsultasi itu, ia menentang melenggang pergi menuju mobilnya. Jefran berdecak, ia juga entah mengapa menjadi kesal sendiri. Ia tidak mendapatkan jawaban yang jelas soal Gio dengan Mahasisiwi tadi. * “Lo tunggu di sini aja, Ra. Biar gue yang pesen, lo nitip apa? ” Kata Clarissa, setelah mereka mendapatkan tempat duduk. Setelah pulang kuliah, Clarissa mengajak Yura untuk mampir dulu ke tempat makan Bakso. Alasannya, ia sudah lama berkunjung lagi ke tempat itu. Padahal jika diajak, Clarissa lah yang sering menolak makan di luar. Kata nya, kasihan Tante Alisa sudah masak tapi mereka susah makan di luar. Tempat makan yang tak jauh dari kampusnya cukup besar, tempatnya juga bersih. Itu sebabnya, banyak pengunjung yang mampir kesini. Mayoritas adalah mahasiswi yang juga kuliah di tempat yang sama dengan Clarissa. "Mie ayam bakso aja sama es teh manisnya dua." Kata Yura, setelah melihat menu yang menempel di meja. Clarissa mengerutkan dahi nya, “Dua? Buat siapa dua? " "Buat lo!" Kata Yura memperjelas. “Lo kan abis makan ni suka engga jelas, ngelambat-lambatin pesen es teh manis. Sementara kenapa engga dari awal aja milih es teh dari air mineral dingin. ” Hafal sekali Yura pada kebiasaan Clarissa. Yang menerima Yura memang benar 100%, ia harus memesan es teh manis sebelum makan. Clarissa menyengir, "Lo tahu aja ih, permata deh gue." “Udah sana lo pesen! Banyak omong deh. " Usir Yura dengan nada bercanda. Clarissa kembali dan duduk di hadapannya. "Lo kenapa engga minta nomer tadi Dokter Jefran?" Kata Yura, sambil berkaca di layar ponselnya. Clarissa tak menjawab, ia menolak terlihat sibuk dengan buku catatannya. Sampai akhirnya memesan, mereka sudah datang. Satu porsi Mie ayam bakso dan satu porsi Bakso, selain itu sudah ada tiga minuman yang mendampingi pesanan mereka. Tanpa ada pembicaraan lagi, Clarissa mengambil tempat membagikan pesanan miliknya. Sebelum mencoba kuah, ia memilih untuk meneguk mineral dingin yang ada di depannya. "Lo keburu kenyang kalau gitu." Kata Yura, setelah melihat Clarissa menghabiskan setengahnya dari isi botol mineral itu. “Justru dengan kita minum dulu, ya netralin lidah kita lah. Jadi kalau nyicipin itu bener-bener berasa. ” Clarissa melakukan pembelaan atas diri nya. Yura menyerah, terserah saja Clarissa mau nya bagaimana. Toh air mineral baik untuk kesehatan, jadi tidak ada masalah. Tidak ada pembicaraan setelah itu, Yura dan Clarissa fokus pada makanan mereka masing-masing. Sampai akhir nya, Clarissa lah yang lebih dulu menghabiskan makanannya. "Cepet amat." Kata Yura, suara nya tidak cukup jelas. Karena ia berbicara sambil mengunyah. Clarissa hanya menyengir, lalu kembali mengambil buku catatannya. sambil sesekali menyedot es teh manis yang disediakan dua oleh Yura. “Lo sibuk banget sih, kenapa? Tumben banget lo engga banyak omong, Sa. ” Yura mencurigai sikap Clarissa. Sebab, setelah seminar tadi ia sedikit aneh. “Gue engga apa-apa ah, lagian gue Cuma mau baca ulang materi yang tadi. Tiga hari lagi kan kita bakalan praktek, belum tentu bakalan praktek kan kalau kita ga lolos ujian lisan nya Dokter Refran. ” Jika mengingat jadwal praktik, memang bagian paling terberat adalah ujian lisan bersama Dokter Refran. Jika tidak lolos, kita akan terus-menerus melakukan perbaikan. Dan satu hal lagi, kita tidak akan pernah diberi izin untuk praktik lapangan ke Rumah Sakit. "Iya juga sih." Yura membenarkan apa yang Clarissa katakan. Sebenar masalahnya bukan hanya itu, Clarissa hanya tidak tahu harus bagaimana. Harus melampiaskan perasaannya pada hal apa selain belajar. Soal Jefran, ia benar-benar selalu terpikirkan oleh Dosen muda itu. Belum lagi perasaannya yang kadang-kadang tak bisa diajak kompromi untuk menerima. Beruntung ia baru sebucin itu sekarang, jika dari dulu ia jadi bagaimana nasib masa depan nya. Pasti isi nya hanya galau dan menangisi anak orang lain. "Menurut lo Ka Gio gimana?" Clarissa melirik Yura sekilas, sebelum akhirnya ia kembali menatap catatannya. “Pasti manis banget kan menurut lo, gue tahu banget selera lo tuh yang manis-manis gitu kaya Ka Gio. Iya kan? Bener engga, Sa? " Padahal Clarissa tak menjawab apa-apa, tapi Yura masih berbicara. "Iya engga, Sa?" Paksa Yura. "Hmm." Jawab singkatnya. “Yang paling suka suka tuh pas dia ketawa setelah jawab si Ellen, dia ngelirik ke arah kita terus lho. Siapa tahu dia liatin lo, Sa. ” Kata Yura sambil membayangkan kejadian tadi siang saat seminar di aula. "Ada yang lebih berharga, Ra." Clarissa akhirnya terpancing, sementara matanya masih menatap catatannya. "Yang mana, Sa? Pas dia jelasin soal peran kan? Tuan banget itu bener-bener banget ga sih. ” Sementara bagi Yura, tetap saja Jefran yang nomor saru. Ia hanya berusaha membuat Clarissa mengerti perasaannya saja. "Bukan, tapi pas jawab pertanyaan gue." Jawab Clarissa, lalu menatap Yura. Yura membeku, dahi nya berkerut. Coba jawab apa yang Clarissa katakan. "Paspons pertanyaan dari lo?" Yura mengulangi apa yang Clarissa ucapkan. Clarissa mengangguk, lalu kembali pada catatannya. Sekian detik Yura baru sadar, “Bukannya lo itu nanya sama Dokter Jefran ya? Bukan sama Ka Gio. " Clarissa terdiam, ia merutuki diri habis-habisan. Kenapa ia malah terpancing seperti tadi, kalau begini cara nya Yura bisa curiga kalau diam-diam Clarissa mulai suka Jefran. "Jadi, ini dokterku, Dokter Jefran, Sa?" Tanya Yura tak percaya. "Hah? Engga lah. Gue tuh Cuma ngeledek lo aja, lo tuh inget banget sih apa yang Dokter itu lakuin. Sampe hafal banget kalau gue nanya sama dia bukan sama Ka Gio. ” Jawabnya tanpa terbata-bata, ia berusaha menetralisir gemuruh di hatinya. Yura tak mungkin tahu soal ini, ia tidak mau perasaannya menjadi momok yang menyeramkan bagi dia dan bagi percakapan. Jika perasaan itu hanya ia yang tahu, sebisa mungkin tidak akan tumbuh dengan cepat. Dan bisa saja hilang sendiri, sebab tak pernah terelisasikan. "Serius?" Clarissa terbahak-bahak, "Aku tuh ngeledek lo aja, engga ada maksud lain." Yura ikut tertawa, meski diam-diam ia sedikit tak percaya pada ucapan Clarissa. “Bisa aja lo, lagian ya kapan lagi kita kaya gini sih. Makin tua, semakin kurang waktu kita untuk haha hihi soal cinta. Emang lo mau langsung serius aja? ” Clarissa menutup buku catatannya. “Ra, gue udah engga punya siapa-siapa selain lo sama Tante Alisa. Jika Anda ingin Tante Alisa, ya mau ga mau memilih opsi yang kedua. Langsung serius aja kompilasi gue udah siap lahir batin, ya minimal mandiri. Bisa bahagiain Tante Alisa. ” Kata Clarissa dengan tenang. Yura berdecak kagum, siapa sangka saudara satu ini memang cantik luar dan dalam. Wajar saja jika Yura sering kesal dan cemburu pada Clarissa. Ia suka kekurangan, apa pun yang ada di dalam dirinya sempurna. Meskipun sejatinya kehilangan kedua orang tua sekaligus sangat membuatnya kehilangan separuh hidup-nya. "Sempurna banget sih, Clarissa." Kata Yura sambil memasang wajah drama itu itu. Lalu sedetik kemudian ia tertawa, "Tapi, sayang nya masih jomblo." Tawa Yura meledak saat itu. "Engga ngaca banget anak satu ini." Clarissa menimpali. "Eh ayo pulang, Bunda udah nyariin kita." Ajak Yura, sambil mengambil tasnya dan merapihkan pakaiannya. "Gue bayar dulu ya." Kata Clarissa, lalu berjalan lebih dulu untuk membayar pesanan mereka tadi. Sementara Yura memilih menunggu di luar. * Jefran melambaikan tangan pada Gio, ia lebih dulu sampai pada tujuan. Sebab, rumah Gio harus melewati perjalanan sekitar lima belas menit lagi. Ia mematikan mesin mobilnya, lalu keluar dari mobil. Jefran segera masuk ke rumah, lalu karna ponselnya terus saja bergetar ia memilih duduk lebih dulu tanpa melepaskan apa pun yang ia kenakan. Jefran mengecek ponselnya, beberapa foto dikirim sebagai yang dia minta. Awal nya Jefran tak begitu perduli, tapi kompilasi ada pesan lagi yang masuk Jefran dengan sigap menatap laya ponselnya. Jika yang ini, pelajar yang sudah bertanya ya, Pak. Terimakasih, maaf menggangu waktu nya. Terus lah kira-kira pesan yang membuat Jefran menatap layar ponselnya terus-menerus. Bibir nya terangkat, di wajah nya terlukis senyum. Potret seorang tamu yang tengah bertanya itu benar-benar tak ingin melakukan apa-apa. Potret yang diambil sembarang itu hasil nya sangat baik, tepat ia tersenyum saat diambil terimakasih terambil oleh kamera. Jefran terus-menerus menatap ponselnya, hingga suara seseorang mengiterupsi nya. "Ayah? Udah pulang? ” Ia terkejut saat melihat Refrandra ada di hadapannya sekarang. “Kamu tuh pulang langsung buka hp aja, senyum-senyum lagi. Sudah punya kekasih, Jef? ” Tanya Ayahnya yang sekarang duduk di sebelahnya. "Ah engga, biasa ini grup terus isi nya lucu-lucu." Alibi nya. "Ayah sampe waktu kapan?" “Sekitar satu jam yang lalu, ada yang harus Ayah sampaikan sama kamu dan dipersiapkan dari hari ini. Besok siang, Ayah akan kembali ke Malang. ” Kata Refran sambil memandangi anak itu. “Yaudah, aku ke kamar dulu ya bersih-bersih. Nanti udah selesai, aku temuin Ayah lagi. ” Pamit Jefran yang dibalas anggukan oleh Refran.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD