1

1421 Words
 Di dalam mobil yang tengah melaju itu terdengar ricuh. Mereka semua berpasang - pasangan, saling berbincang, meledek dan tertawa. " Mas, nanti pas di sana siapapun cewe yang mas lihat duluan berarti jodoh mas ya.." ujar gadis berkepang dua itu. Dia Keara, sang adik. Yang di panggil mas itu berseru tak terima." Mana bisa! Kalau si mbo yang duluan muncul di depan mas gimana?" tanyanya di akhiri gelengan kecil tak percaya dengan tantangan yang di lontarkan adiknya itu. Keara terbahak." Nikahinlah! " serunya dengan riang. " Yakali, mas nikahin! enak aja kamu " serunya semakin tak terima bahkan terdengar sedikit sewot. " Di sanakan ada 3 cewe, maksudnya yang ketiga itu! "jelas Keara gemas lalu kembali tertawa walau kali ini pelan. " Hm, Iyah terserah kamulah de, mas males nanggepinnya" wajahnya di tekuk masam lalu detik berikutnya menjadi lesu. " Ih mas Kenan jangan nyender ah! " gerutu Keara dengan terus mendorong kepala Kenan. " Bentar de, mas cape.." lirihnya dengan berusaha terus menyandarkan kepalanya di pundak sang adik. mungkin perbincangan mereka saat itu hanya di anggap oleh mereka sebuah lelucon yang wajar di antara kakak dan adik. Namun itu salah, justru karena itu. Karena jawaban 'iyah'nya, tanpa sadar kenan sudah berjalan di takdir yang berbeda. Ucapan adalah do'a.   *** Kenan melirik adiknya yang kini sudah akrab saja dengan keluarga sahabat ayahnya itu. Kenan benar - benar iri dengan sifat Keara yang gampang sekali bergaul itu. Kenan melempar senyum saat mendengar namanya berada dalam kalimat yang mereka bincangkan. " Gantengnya kaya kamu dulu ya Hen " celetuk Nathasia dengan kekehan gurau yang semakin menambah kehangatan di antara mereka. " Pasti! " jawab Hendru dengan begitu percaya diri di sertai kekehan di akhir. Kenan hanya memasang kuping dengan rasa bosan yang mulai muncul di dalam jiwanya. Kenan mengedarkan pandangnya hingga berakhir di sebuah taman kecil dalam ruangan itu. Lebih tepatnya taman yang berada di tengah - tengah ruang keluarga yang tidak cukup jauh dari ruang tamu. Taman khusus sepertinya karena hanya ada beberapa bunga pikir Kenan. Mata Kenan terpaku pada mata bulat yang kini melempar senyum padanya. " Anak - anakku sedang bersiap dan si bungsu sedang menyiram dulu tanaman kesukaannya, tanggung katanya, jadi maaf membuat kalian menunggu.." jelas Nathasia tak enak hati. " Tidak apa - apa, kita santai kok, sekalian liburan juga " balas Tuti begitu ramah. "Jadi kalian di bandung sampai kapan? " tanya Fauzan. " Sampai minggu depan kalau tidak ada gangguan " jawab Tuti. *** Kenan mengulurkan tangannya yang di sambut gadis itu. " Kara kak.." ujarnya yang Kenan angguki samar. " Ini anak bungsuku, dek susul kakak - kakakmu gih. Kenapa mereka lama sekali? " Heran Fauzan. Kara mengangguk lalu melempar senyum ke arah semuanya sebelum pergi. " Dia seumuran sama Keara? " tanya Tuti Yang di angguki Nathasia. " Dia kelahiran 99.." " Bagus deh tan, Keara ada teman seumuran.." tambah Keara. " Iya, jangan lupa sering main ke sini biar Kara ada teman, anak itu terlalu sibuk sama bunga - bunganya jadi jarang main.." keluh Nathasia. *** Makan malam pun berjalan baik, kebahagiaan tak bisa mereka sembunyikan. Cerita - cerita masa lalu pun seolah terasa terulang karena kembali di kenang. " Sehari menginap saja di sini, ada dua kamar tamu kosong.." pinta Fauzan dengan senyum jamawanya yang khas. " Gimana ma? " tanya Hendru seraya menatap Tuti. " Terserah papa aja, mama ikut aja.." " Boleh, aku masih ingin berbincang dengan mu Zan dan soal rumah yang akan ku beli di sini, bagaimana kabarnya?" *** Kenan duduk di bangku taman, matanya tak lepas dari gadis kecil di depannya yang tengah mengusap dedaunan entahlah apa. " Mas! Kakak - kakak itu jutek amat yah " bisik Keara yang memang sedari tadi sama - sama memperhatikan Kara di samping Kenan. " Hus! Jangan gitu " Kenan masih tidak melepaskan tatapannya dari Kara. " Ih emang bener tau! Kak Siska sih masih agak lumayan, kalo Sinta bener - bener jutek! Keara ga mau mas sampe nikah sama salah satu dari mereka! Kecuali Kara " tegas Keara keras kepala. Kenan menatap adiknya itu sekilas." Kamu gila dek! masa mas nikah sama dia yang persis kayak kamu, adik mas " seru Kenan terdengar tak terima. " Ih kenapa? Kita cuma beda 6 tahun ga jauh - jauh amat " kesal Keara tak terima juga. " Lagian siapa juga yang mau nikah sama mereka, Siska udah punya suami kata papanya tadi, kamu sih keasyikan ngobrol sama Kara " singgung Kenan ogah - ogahan. " Jadi mas bakal nikah sama mba Sinta? Yang jutek kebangetan itu? " pekiknya tertahan lalu mendengus." engga ikhlas! " lanjutnya dengan memberengut kesal. " Kok kamu ngatur - ngatur mas sih! " jengkel Kenan dengan menatap Keara. *** Setelah liburan di Bandung, keluarga Kenan kembali ke Jakarta. Mobil yang mengantar mereka tengah melaju sedang membelah jalanan. " Nan, kamu mau ga papa jodohin sama Sinta? " suara Hendru terdengar santai. " Ga! " sambar Keara dengan memekik tidak terima, membuat orang yang berada di dalam mobil menatap heran ke arah Keara. " Kok kamu yang nyaut de? " tanya Tuti dengan kekehan geli. " Keara cuma setuju kalau mas sama Kara! " tegas Keara yakin dan tak ingin di bantah membuat Kenan mendengus sebal. Kenan menghela nafas pelan." Seperti biasanya, kalau aku terserah papa aja " jawab Kenan sekenanya, mengabaikan sang adik yang menatap kesal ke arahnya. " Dasar mas ga punya pendirian! " gumam Keara sangat pelan. *** Satu bulan berlalu, Kenan terkejut dengan kedatangan wanita yang bahkan sudah hampir tidak di ingatnya sebulan ini. Kenan beranjak dari kursi kebesarannya dengan masih menatap tamunya tak percaya. " Kara? " Wanita itu tersenyum dengan mata berbinar polos." Iya mas, Kara anter kak Sinta ke sini.." jelasnya begitu lugu padahal usia sudah cukup dewasa pikir Kenan. Tak lama dari itu Sinta datang dengan menatap tajam Kenan. Air wajahnya tampak tak bersahabat. Sinta melirik sang adik sekilas. Sinta merogoh tasnya lalu menyerahkan satu lembar uang Rp.50.000. " Kamu keluar gih_ jajan apa kek, kakak mau bicara sama dia " ketusnya dengan melirik Kenan penuh amarah. Kara mengangguk lalu berlalu keluar. Setelah itu Sinta menatap Kenan dengan bengis. " Kenapa ga di tolak? Aku udah punya pacar Kenan! " ujarnya  setengah berteriak penuh dengan emosi. " Dari dulu sudah menjadi kebiasaanku untuk tidak menolak keinginan orang tuaku." jelas Kenan setenang mungkin, menatap Sinta dengan tak berekspresi. " Dasar cowo lemah! " desis Sinta dengan berdecih mencemooh. Kenan tak menggubrisnya, tak peduli dengan tanggapan orang lain tentang dirinya dan selamanya akan seperti itu. " Pulanglah, sia - sia juga kamu ke sini. Ujung - ujungnya kita bakal nikah " jelas Kenan seraya berlalu dan kembali duduk di kursi kerjanya. Seolah - olah tidak ada yang terjadi. Dengan emosi Sinta mendial seseorang di telponnya. " Yank, Jemput! " pekiknya jengkel. Dengan emosi Sinta berlalu, membanting pintu dengan begitu keras. Kenan tak terganggu, dirinya kembali sibuk dengan berkas - berkas di depannya. Tak lama pintu kembali di ketuk, membuat Kenan menoleh sekilas ke arah pintu. " Masuk " ucapnya acuh tak acuh. Kenan menutup berkas lalu matanya membola saat melihat Kara dengan satu kantong plastik hitam di jinjingnya. " Loh, mas kak Sinta kemana? " Kara tampak celingukan bingung. Kenan beranjak lalu mendudukkan tubuhnya di sofa panjang." Mas kira kamu udah pergi sama Sinta_duduklah " Kenan menunjuk sofa sebrangnya. Kara duduk lalu menyimpan kantong plastik hitam yang di pegangnya ke meja." Belum, masa kak Sinta ninggalin Kara.." wajah Kara tampak memberengut sedih. Kenan melirik gadis itu lalu berpindah ke kantong plastik di atas meja. " Makan dulu, biar pulang mas yang antar.." Kara memandang Kenan dengan tak enak hati." Engga papa mas, Kara tau jalan kok kalau naik bus atau di jemput sopir papa " tolaknya dengan senyum terpaksa. Bohong, karena Kara tidak bisa naik angkutan umum. " Engga usah, mas antar aja sekalian ada yang mau mas omongin ke papa kamu " Pada akhirnya Kara mengangguk dengan di peluk kelegaan. Dengan lahap Kara memakan makanannya tanpa malu di tatap Kenan. *** Kenan mengusap wajah lelahnya lalu melirik Kara yang tertidur pulas di sampingnya. Setelah menempuh waktu berjam - jam keduanya pun sampai di depan rumah Kara. " Kara, bangun udah sampai.." tepukan pelan Kenan sertakan di pipi Kara. Kenan tidak melihat gerakan di tubuh gadis itu, dengan ragu Kenan keluar lalu membuka pintu sebelahnya. Membawa Kara dalam gendongannya. Kenan masuk ke dalam rumah dengan di sambut wajah cemas Nathasia." Kara kenapa? " lirihnya pelan. " Tidur tante " Nathasia menghela nafas lega." Kok kamu bisa sama Kara? " herannya tanpa menghentikan langkahnya untuk mengantarkan Kenan menuju kamar Kara. Kenan terus mengikuti Nathasia." Sinta datang ke kantor saya tan, Kara ikut mengantar kayaknya.." jelasnya dengan fokus menatap pijakan di depannya. " Aduh! Anak keras kepala itu! " kesal Nathasia seraya membantu Kenan untuk meletakkan Kara, setelahnya menyelimuti anak bungsunya itu tak lupa mengecup keningnya. " Ayo, kita bicara di bawah " ajak Nathasia seraya menepuk bahu Kenan sekilas. Kenan mengangguk, kembali mengekor sebelum menutup pintu Kenan melirik Kara yang masih nyenyak dalam tidurnya. Gadis itu benar - benar terlihat kelelahan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD