2

1486 Words
      Kenan mendudukkan bokongnya dengan menghela nafas pendek. Tubuhnya terasa lelah. Kenan menerima segelas minum dari sang calon mertua lalu meneguknya hingga habis setengah. " Terima kasih tan.." ucap Kenan yang di balas anggukan Nathasia. " Pasti Sinta dateng buat nolak ya? " tanya Nathasia tepat sasaran." harap maklum ya nak Kenan, dia masih susah buat nurut, udah tahu pria yang pacarnya sekarang itu nakal, masih aja di pertahanin.." terdengar helaan nafas lelah dari Nathasia. Kenan hanya tersenyum tipis, bingung juga harus membalas apa.  Nathasia tersentak pelan di duduknya." Terus Sinta kemana? " tanyanya mulai kembali cemas. Seburuk apapun sifat Sinta, dia tetaplah anaknya. " Kenan kurang tahu tan, Sinta pergi tanpa bilang mau kemana.." jelas Kenan seadanya. Dia memang kurang tahu dengan kepergian Sinta yang pasti dia tahu kalau perempuan itu pergi dengan kekasihnya yang entah kemana. " Aduh! Dasar anak satu itu! Selalu ga bilang kalau pergi " Nathasia tampak kembali jengkel namun setelahnya melunakkan kembali ekspresinya." kamu nginep di sini, pagi pulangnya, bahaya kalau pulang sekarang.." lanjutnya terdengar perhatian. Kenan mengangguk, pulang pun merasa percuma. Tubuhnya benar - benar terasa berat." Iyah tan, makasih tan.." *** Kara membawa langkahnya yang sempoyongan ke arah dapur. Seperti biasa, setiap tengah malam dia selalu kehausan. Kara meraih gelas dengan malas - malasan lalu menuangkan air dengan pelan. " Kara? " Kara sontak tersentak, dengan repleks menghentikan minumnya. Dengan cahaya yang temaram Kara masih bisa melihat siluet Kenan di seberangnya. " Mas Kenan masih di sini? " tanyanya dengan suara serak khas bangun tidur. " Iyah, mas kira kamu tidur sambil jalan, ternyata lagi minum.." " Iyah, kalau gitu Kara pamit ya mas.." Kara meneguk lagi sedikit air di gelasnya lalu membawa langkahnya meninggalkan dapur. Entah kenapa Kara selalu di buat berdebar oleh kehadiran Kenan. Kenan menatap kepergian Kara dengan berbagai pemikiran. Ternyata Kara dengan Keara adiknya sangatlah berbeda. Kara lebih terlihat dewasa di bandingkan Keara yang sangat kekanak - kanakan. Kenan masih betah di tempatnya, Kenan kembali berpikir ulang apakah peenikahannya dengan Sinta akan baik - baik saja? Apakah keputusannya itu sudah benar? *** Satu bulan kemudian... Kenan mencengkeram stir kemudi dengan kuat. Pernikahannya dengan Sinta besok akan terjadi. Bukan itu masalahnya. Kini Sinta terisak di sampingnya dengan membawa berita yang membuat Kenan di buat emosi dan bingung. " Rio mau tanggung jawab, kamu bisa tolak acara besok.." lirihnya di sela - sela isakan. Kenan memukul stirnya lalu menatap Sinta dengan kesal. Dia memang tidak mencintai calon mempelainya tapi di khianati seperti ini tetap saja membuatnya emosi. Kenan membanting stir untuk menepi dengan tanpa aba - aba. " Aku ga masalah kamu selingkuh! Tapi bertanggung jawab atas kehamilan kamu tentu saja buat aku harus berpikir dua kali, tapi keluarga aku dan keluarga kamu akan menanggung malu! Jangan egois! Besok akan tetap terjadi! Ada atau tanpa adanya anak itu tidak akan ada yang berubah! " tegas Kenan lalu menyalakan lagi mesin mobilnya yang sempat di matikan. Sinta kembali terisak, harapannya menikah dengan kekasihnya akan tetap terasa tidak mungkin. Jalannya kenapa sangat berliku begini pikirnya kalut. " Bilang pada Rio, setelah lahir anak itu, kalian bisa bersama karena aku tidak akan bisa terus - terusan bersama perempuan hamil yang bukan anakku!" *** Besoknya... Suara musik pengantar pengantin terdengar merdu, lantai berkarpet merah nan panjang itu tampak bertabur bunga. Pengantin wanita yang di gandeng Fauzan tampak datar. Ekspresinya tidak terlihat bahagia seperti pengantin lainnya. " Tersenyumlah sayang.." bisik sang ayah yang membuat Sinta tersenyum paksa, tampak canggung.  Semua yang hadir begitu heboh bersorak bahagia. Berbeda dengan Kara yang kini duduk di samping si ceriwis Keara. Keara sudah heboh memotret dan ikut berteriak bahagia walau awalnya menolak keras pernikahan masnya itu. Kara menatap Kenan yang kebetulan melirik Kara yang tampak manis dengan gaunnya yang sederhana. Keduanya terpaku beberapa saat sebelum Kara memutus kontak matanya lebih dulu. Hatinya tiba - tiba terasa ngilu. Entah apa yang di rasakannya saat itu, mungkin patah hati? Kara menghela nafas berat. Cinta pertamanya begitu tragis. Belum di mulai sudah kandas dengan cara yang tidak bisa membuat Kara bertingkah. Kara hanya bisa mendo'akan agar Kenan dan sang kakak bahagia. Setelah mengucap janji kini keduanya terlihat menyambut para tamu yang hadir. Sedangkan di tempat lain Keara tengah mengusap punggung Kara yang begitu bergetar. " Sabar Ra, mas Kenan mungkin bukan jodoh kamu di waktu sekarang, ga tau besok, nanti atau di kehidupan selanjutnya.." celoteh Keara dengan bibir maju beberapa senti, tampak serius. Lagi, ucapan adalah Do'a tanpa umat manusia sadari. Kara mengusap air matanya, mencoba tegar ternyata sulit. Kara tidak bisa mengendalikan diri rasanya. Air matanya tak kunjung berhenti walau Kara ingin. " Jangan bilang siapa - siapa ya Ke.." pinta Kara di sela sesegukannya. Keara mengangguk lalu memeluk Kara." Dari awal aku cuma setuju sama kamu. Apa aku egois kalau do'ain mas Kenan agar jodohnya sama kamu? " tanya Keara ikut terbawa suasana. *** Kara terkejut saat seseorang mencekal tangannya yang hendak menuju kamar. Kara menoleh lalu mendongkak. " Ma-Mas Kenan ada apa?b" Kara menetralkan ekspresinya yang mulai gugup. " Nangis? sembab gitu mata kamu dek.." Kenan melepaskan cekalannya dengan masih mengamati wajah Kara yang kini menggeleng dan terlihat tegang. " Kara cuma sedih aja kak Sinta udah nikah, mungkin nanti bakalan kayak kak Siska engga tinggal di sini.." Kara tidak bohong, dia sedih juga akan hal itu. Rumah akan semakin sepi. Ramai pun hanya saat liburan. Kenan mengusap kepala Kara dengan tersenyum kecil." Kakak kamu ga akan kemana - mana, kamu bisa sering main ke rumah mas, jangan sedih - sedihan gih tidur.."  Kara mengangguk lalu membuka pintu kamarnya dengan jantung berdebar. Kara kembali di ingatkan tentang perasaannya. Kenan sudah benar - benar tidak bisa dirinya gapai. Dia sudah sejauh bintang. Keara menoleh, ponselnya dia lempar asal ke atas kasur lalu menghampiri Kara yang kini berjongkok dengan kembali terisak. " Kenapa Ra? " panik Keara tak santai. Kara menggeleng dengan berusaha melempar senyum yang malah membuat Kara terlihat menyedihkan." Aku engga papa, aku cuma kurang ngerti kenapa nangis " kekehnya dengan berusaha mengusap air matanya. *** Kenan meraih bantal dan selimut, mengabaikan Sinta yang kini tengah rebahan di temani ponsel. Perempuan itu tidak merasa bersalah, malah mulai kembali berhubungan dengan ayah dari sang bayi. " Aku tidur di sofa.." Sinta tak mengalihkan tatapannya dari ponsel." Hmm " balasnya cuek. Kenan menghela nafas pendek, tak menyangka dia akan berakhir tidur di sofa. Kalau saja dia memilih Kara mungkin tidak akan berakhir begini. Kenan sontak tersentak pelan, pemikirannya sepertinya sudah sangat melenceng. " Rio mau ajak aku ke apartementnya besok, kita pindah besok aja, biar orang tua kita ga tahu kalau kita ga akur.." suara Sinta terdengar angkuh seperti biasanya. Kenan menghela nafas pendek. Kenan tak ingin membalasnya, Lebih baik bergegas tidur. Tubuh dan pikirannya begitu lelah. Soal besok lihat saja besok, berencana pun rasanya percuma. *** 3 bulan kemudian... " Bilang juga sama pacar kamu, mana tanggung jawabnya! Semua biaya perawatan aku yang tanggung. Dia cuma enaknya aja! " jengkel Kenan seraya melepas dasinya. " Resiko kamulah! Siapa suruh mau nikahin aku! " Sinta tampak acuh. Sinta sangat senang karena Kenan yang membiayai hidupnya dan anaknya, jadi uang Rio bisa mereka kumpulkan untuk pernikahan mereka kelak. " Emang pacar kamunya aja yang ga punya apa - apa! "  Kenan membanting pintu kamar mandi dengan kasar. Sinta mengangkat bahunya acuh, sudah biasa dengan kelakuan Kenan yang tak menghargainya bahkan merendahkannya dan Rio. Memang sudah resiko dan memang sudah sepantasnya dia mendapat perlakuan itu. Sinta sempat menyesal, Kenan begitu baik pada keluarganya. Kenan juga sebenarnya sangat perhatian pada kandungannya walau dengan bentuk yang terdengar kasar tapi mau bagaimana lagi, andai saja Kenan lebih dulu datang pada kehidupan percintaannya mungkin dia akan jatuh hati padanya. Sinta menghela nafas berat, Rio seminggu ini sangat sulit di hubungi membuat Sinta cemas. Semoga saja pemikiran buruknya tidak terjadi. " Kak Sinta.." suara Kara dan ketukan pintu terdengar membuat Sinta tersadar dari lamunannya. " Sebentar..." Sinta beranjak dari duduknya lalu berjalan pelan menuju pintu dan membukanya. " Ada tamu kak, kak Rio.." Sinta berlalu keluar mengabaikan Kara. Kara menatap kakaknya dengan tatapan lelah. Kara sudah tahu semuanya, tentang pernikahan tak wajar kakaknya. Kara kasihan pada Kenan, pria itu begitu baik hingga sanggup di sakiti sejauh ini. " Dek.." suara Kenan muncul di belakang Kara." sejak kapan di sini? Bareng siapa ke sini? " suara Kenan terdengar senang. " Oh itu mas, bareng kak Rio. Kebetulan ketemu di kampus.." jelas Kara dengan sedikit gugup. Semenjak kuliah di Jakarta membuat Kara semakin sering bertemu Kenan dan itu berhasil membuat Kara susah untuk move on. " Oh.." Air wajah Kenan berubah masam lalu detik berikutnya kembali cerah." mau kemana lagi? ngampusnya udah selesai? mau makan bareng mas?" *** Kenan menghampiri Keara dengan dengusan pelan." Kamu ngapain sih dek ikut - ikutan makan di sini.." Keara tampak kesal." Kara yang ajakin bukan mas! Ih malu pasti.." dumel Keara dengan bibir mengerucut sebal. Kenan duduk di samping Kara." Kamu yang ajakin Keara dek?" tanya Kenan yang di balas anggukan kaku dari Kara.  Jelas Kara tak bisa berduaan dengan Kenan, dia Masih belum sepenuhnya melupakan perasaannya. " Padahal mas maunya berduaan sama kamu.." Keara berdecak, dia yang tak tau apa - apa meresponnya dengan kesal." Inget istri lagi bunting mas! Heran aku, kenapa mas Kenan jadi genit gini. Curiga mau koleksi istri.." Kenan tampak acuh, memilih menu di depannya dengan mengabaikan Kara yang semakin kaku di sampingnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD