Mobil yang Arthur dan Lucas tunggangi akhirnya tiba di istana besar milik keluarga Domarion. Arthur turun dan disusul oleh Lucas.
“Son,”
“Ya?” langkah Arthur terhenti ketika Lucas memanggilnya.
“Ingat kata-kata ku yang tadi?”
Arthur mengerjap lalu menganggukkan kepala. “Ingat,”
Lucas mengangguk paham, mereka masuk ke dalam rumah yang tampak sepi, namun hanya sebentar mereka merasakan suasana itu karena teriakan Olivia memanggil nama Arthur sudah terdengar dari kejauhan.
“Pergi ke kamarmu sekarang.” suruh Lucas, dan Arthur langsung berlari menuju tangga.
“Arthur!!!” teriak Olivia lagi sesaat dirinya datang namun Arthur sudah menghilang dari pandangannya. “Ah, susah sekali mengurusnya!” kesal Olivia sendiri.
Lucas yang berdiri di samping Olivia hendak pergi dari tempatnya dengan diam-diam, ia mengangkat sebelah kakinya dengan pelan dan baru dua langkah beranjak dari tempat itu, Olivia memanggilnya.
“Sayang, kau mau kemana?” ujar Olivia memutar tubuhnya ke arah Lucas yang tampak mematung. Posisi pria itu membelakanginya. Olivia melipat kedua tangannya di depan d**a dan menatap datar Lucas yang saat ini sudah menghadapnya dengan eskpresi wajah yang tersenyum dengan lebar. Bahkan ia memperlihatkan giginya yang rapi pada Olivia.
“Aku mau ke kamar, sayang.”
“Oh, ke kamar,” Olivia mengangguk-anggukkan kepala lalu sesaat kemudian ekspresi wajahnya berubah, “kemari kau! Apa yang kau katakan kepada anakmu sampai dia menghindari ku?!!” teriak Olivia mengejar Lucas yang lari menghindarinya.
Dari lantai atas, Arthur menyaksikan kedua orang tuanya. Daddy-nya yang berusaha menghindari sang mommy yang tampak marah. Bibirnya menyunggingkan senyuman. “Mereka lucu sekali,” ujarnya sembari tertawa pelan ketika melihat daddy-nya tertangkap oleh sang mommy. “Ah, ada-ada saja.” Arthur beranjak dari tempatnya.
Pertengkaran antara mommy dan daddy-nya berakhir dengan jeweran telinga yang diberikan Olivia untuk Lucas.
Arthur masuk ke dalam kamarnya, melepaskan jas yang menempel di tubuhnya lalu melemparnya ke keranjang baju kotor yang ada di sana. Ia buka kancing teratas kemeja dan lengan kemejanya lalu ia gulung hingga siku. Arthur memang tidak memakai dasi ketika berangkat kerja tadi karena menurutnya itu sangat tidak nyaman, karena hal itu pula membuat Witna sedikit kesal. Dari sudut pandang wanita tua itu, pria kantoran itu harus lah memakai jas lengkap dengan dasinya. Tapi Arthur tidak mendengarkan ucapannya. Jika ia sudah bilang tidak maka jawaban akan tetap tidak.
Arthur memiliki pendirian yang sangat kuat, tapi… kita juga tidak tau kedepannya akan bagaimana. Apa pria itu akan tetap seperti itu atau… mungkin saja bisa berubah oleh seseorang.
Arthur duduk di tepi ranjangnya, membuka laci meja nakasnya lalu mengeluarkan selembar foto hitam putih dari sana. Foto itu menampilkan bayi kecil yang dipeluk oleh seorang wanita, tampaknya itu ibu dari si bayi. Arthur membalik foto itu, dan ada tulisan di belakangnya.
Arthur Miller, 18 Februari 19…
Foto itu ia dapatkan dari Olivia. Wanita itu bilang, ibu panti yang memberikan foto itu kepadanya agar Arthur tidak lupa dengan ibu kandungnya. Ibu kandungnya pun memberikan sendiri foto itu kepada ibu panti agar menyimpan benda itu dan memberikannya pada Arthur ketika anaknya itu sudah mendapatkan orang tua angkat.
Olivia memberikan foto itu ketika usia Arthur sudah beranjak sembilan tahun, saat itu Arthur memandang diam fotonya dan seorang wanita yang disebut Olivia sebagai ibu kandungnya. Awalnya Arthur menolak dan memberikan kembali foto itu pada Olivia.
Melihat reaksi penolakan yang diberikan Arthur membuat Olivia memberikan beberapa nasehat untuk Arthur yang kala itu masih duduk di bangku sekolah dasar.
Kau tidak boleh menolak dirinya, sayang. Dia ibu kandungmu. Ada alasan mengapa dirinya membawamu kepada ibu panti. Dan alasan itu akan kau ketahui ketika sudah besar nanti, sayang.
Ucapan Olivia kepada Arthur beberapa tahun yang lalu masih pria itu ingat hingga sekarang. Dirinya sudah besar dan sudah bisa menentukan pilihan hidupnya sendiri, namun alasan dibalik dirinya tinggal dan dititipkan di panti asuhan masih belum ia ketahui hingga sekarang.
“Kenapa kau membuang ku? Apa keberadaan ku membuat hidupmu sulit?Dan kenapa harus panti asuhan? Apa aku tidak bisa dirawat oleh kerabatmu saja? Dimana kau sekarang? Apa kau masih menginginkan aku untuk menjadi anakmu?”
^^^
“Kakak! Aku kan sudah bilang, aku tidak bisa menemui mu, ada misi yang harus aku lakukan di sini.” dengan suara yang sedikit keras, Rula berbicara pada orang yang ia sebut Kakak itu melalui sambungan telepon yang masih ia lakukan hingga saat ini. Kedua kakinya mondar-mandir di balkon. “Misi yang sangat penting, Kak! Dan itu harus aku lakukan!”
Orang di seberang tertawa mendengar perkataan yang Rula lontarkan.
Beberapa waktu ia habiskan untuk bercakap-cakap dengan sang kakak, hingga telpon itu selesai dan Rula masuk kembali ke dalam kamarnya. Ia melangkah menuju kamar mandi, masuk ke sana lalu berdiri di depan cermin wastafel. Ia pandangi dirinya di sana. “Aku harus bisa menarik perhatiannya Arthur. Dan langkah yang pertama yang harus aku lakukan adalah mendekati dirinya. Besok rencana itu harus aku lakukan.” ujung bibir Rula terangkat ke atas.
⁎⁎⁎
Suasana seperti biasa kembali terjadi di kediaman Domarion, Witna sudah duduk di depan meja makan dengan ekspresi wajah yang tampak datar. Wanita tua itu memandangi Olivia yang tampak santai memainkan ponselnya, wanita itu duduk tepat di depannya.
“Apa setiap pagi kita harus terlambat untuk sarapan?”
Olivia mendengar ucapan Witna namun dengan pandangan yang tetap fokus pada ponselnya.
“Sudah jam berapa ini?! Kenapa mereka masih belum-“
“Ini masih jam setengah tujuh pagi, bu. Jangan berlebihan!” sarkas Olivia mematikan ponselnya lalu menatap wajah Witna dengan jengkel.
“Anak dan orang tua sama saja! Waktu itu adalah hal terpenting-“
“Oh, sekarang ibu mengakui kalau Arthur adalah anak kami berdua?” ujung bibir Olivia tersungging ketika Witna tidak sengaja mengatakan Arthur adalah anaknya dan Lucas.
“Lalu kau ingin aku mengatakan dia apa? Anak pungut?”
“Ibu!!” Olivia yang ingin melawan ucapan Witna terpaksa harus menahan diri karena Lucas dan Arthur sudah muncul di antara mereka.
“Apa yang sedang kalian bicarakan?” tanya Lucas sembari duduk di tempatnya, begitu pula Arthur yang memilih tempat di samping Olivia.
“Pagi, nek.” seperti biasa, Arthur akan menyapa Witna dengan hangat.
“Tidak bisakah kau bangun tepat waktu? Kau membuang-buang waktu ku hanya untuk menunggumu di sini! Apa kau sengaja melakukan-“
“Ibu.” suara Lucas memotong ucapan Witna. “Aku mohon, kali ini jangan membuat keributan-“
“Kau mau kerja di kantor atau mau pergi bersenang-senang?” Witna tak henti-hentinya menunjukkan ketidaksukaannya pada Arthur.
Arthur mengerjapkan mata, ia perhatikan penampilannya, “apa ada yang salah-“
“Kau masih bertanya?!” Witna terperangah, “lihat cara anakku berpakaian.” Witna menatap Lucas. “Memakai jas, ditambah dasi. Mata yang memandang pun akan senang ketika melihatnya. Tidak sepertimu! Apa-apaan ini?! Tidak memakai dasi dan kancing kemeja yang di buka, kau pikir itu terlihat bagus?!-“
“Ibu cukup!!” teriak Olivia berdiri dari tempatnya. “Aku mohon berhenti!” ujarnya menatap marah Witna.
Arthur sendiri hanya bisa diam di tempatnya. Sepertinya kebencian sang nenek padanya makin menjadi-jadi. Ia kembali mengingat ucapannya semalam dengan Lucas.
Apa ia harus keluar saja dari rumah ini agar nenek tidak marah-marah ketika melihatnya lagi? Kejadian seperti ini terus terjadi setiap hari, dan Arthur tidak mau kalau kedua orang tuanya melawan neneknya sendiri.
“Mommy-“
“Cara pandang ibu memang kolot, dulu yang memakai jas dan berdasi sangatlah disanjung! Tapi itu dulu bu ketika kau masih gadis! Tapi sekarang itu tidak berlaku di zaman yang serba canggih ini! Dengan hanya memaki jas hitam dan kemeja putih, anakku sudah sangat tampan, bahkan sangat seksi di mata wanita muda saat ini!”
“Mom.” Arthur mencoba menarik perhatian Olivia, ia menggenggam tangan wanita itu. Bukannya berhenti, Olivia malah membalas menggenggam tangan Arthur dan kembali melawan Witna.
“Kalau ibu membandingkan Arthur dengan suamiku, oh ya jelas, masih kalah Arthur darinya. Tapi, jika ibu membandingkan wajah dan auranya, aku yakin. Anakku tidak akan kalah dari anakmu!”
Lucas yang mendengar itu mengulum bibirnya ke dalam. Ia tidak menyangka jika akan mendapatkan istri yang bisa melawan mertuanya seperti ini. Ia bersyukur bisa memiliki istri kuat dan penyabar seperti Olivia, wanita itu tidak akan diam jika ada seseorang yang berani menyakiti keluarganya terlebih lagi Arthur. Wanita itu sangat menyayangi Arthur seperti anak kandungnya sendiri.
Witna tidak menjawab ucapan Olivia, ia memalingkan wajahnya.
“Sayang,”
“Ya?” Lucas menyahut panggilan dari Olivia itu.
“Masih ingin sarapan atau bawa bekal saja?” tanya Olivia dengan lembut.
“Bekal saja, lebihkan satu untuk Arthur.”
Olivia mengangguk, ia memutar kepalanya menghadap Arthur, tangannya masih menggenggam tangan pria itu. Olivia mengusap lembut kepala Arthur. “Maaf ya, setiap pagi kau harus melihat pertengkaran mommy dengan nenekmu.” Olivia tersenyum sedih ke arah Arthur.
“Ayo, son. Kita tunggu di mobil saja.” Lucas berdiri dari duduknya dan melangkah lebih dulu keluar.
Olivia mengangguk ketika Arthur memberikan isyarat padanya untuk ijin keluar. Sebelum benar-benar melepaskan tangannya dari genggaman Olivia, Arthur mencium hangat tangan itu lalu pergi dari sana.
Perhatian Olivia kembali lagi pada Witna. “Ibu melihatnya kan? Pria yang ibu sebut anak pungut itu, mencium tanganku dengan sopan, bahkan dia mencoba menahan diriku untuk tidak melawan mu. Walaupun sudah melihat kebaikannya, ibu tetap saja membenci putraku yang sama sekali tidak pernah memiliki kesalahan kepadamu! Aku harap kau masih diberi umur panjang, agar bisa melihat betapa baiknya Arthur kepada keluarga ini.” setelah mengucapkan itu, Olivia pergi dari hadapan Witna yang hanya bisa diam ditempatnya dengan tangan yang menyentuh d**a kirinya.
^^^
Raut wajah serius dan kening yang sedikit berkerut itu muncul di wajah Arthur yang saat ini sibuk memeriksa beberapa file yang sudah selesai dikerjakan oleh karyawan Lucas. Saat ini hanya dirinya di ruangan itu, Lucas pergi keluar sebentar karena ada yang harus ia urus bersama sekretarisnya dan meninggalkan Arthur di kantor.
Selama ditinggal pula, Arthur tidak sekali pun keluar dari ruangannya padahal di luar sana sudah berdiri para karyawan wanita dengan telinga mereka yang menempel pada pintu.
“Aku tidak mendengar apa pun,”
“Sama,”
“Aku yakin, dia saat ini sedang memasang wajah berpikir dengan tangan yang menyentuh bibirnya lalu mengusap-usap lehernya. Ya ampun, aku tidak bisa membayangkan jika memang dia seperti itu sekarang!!”
ketiga wanita yang saling sahut-sahutan itu berteriak histeris membayangkan bagaimana tampannya Arthur yang sedang fokus bekerja di dalam sana.
Tak kalah hebohnya dari ketiga wanita itu, Rula yang memang sedari tadi berdiri di belakang mereka, mengulum bibirnya ke dalam. Ia ikut membayangkan bagaimana tampan dan seksinya Arthur ketika sedang fokus bekerja. Tanpa sadar, ia menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, ia berdehem lalu berbicara lembut kepada ketiga wanita yang masih berdiri di depan ruangan Arthur dan Lucas.
“Permisi, bisa kalian minggir sebentar?”
Ketiga wanita itu serentak menoleh ke arah Rula. “Oh, bu Rula.” mereka serentak sedikit menundukkan kepala ketika melihat keberadaan Rula. Mereka tidak menyadari jika Rula ada di belakang mereka sedari tadi. “S-silahkan, bu.” ujar salah satu dari mereka dengan gugup setelah itu mereka pergi dari sana.
Berhasil mengusir ketiga wanita itu, Rula kembali merapikan penampilannya, dimulai dari rambut, rok yang ia gunakan lalu mengusap pelan blus yang tampak sedikit kotor dengan pelan. Di tangannya sudah ada satu map yang memang harus ia berikan pada Arthur, dan di kesempatan ini pula ia bisa melihat Arthur dari dekat.
Rula menarik nafasnya dengan panjang lalu menghelanya dengan pelan. Ia mengetuk pintu bercat hitam di depannya lalu masuk ke dalam ruangan itu.
---
Beda suasana, keheningan tercipta antara Witna dan Olivia yang saat ini tengah duduk di belakang rumah, lebih tepatnya sedang menatap para pelayan rumah yang sedang sibuk merapikan tanaman bunga milik Olivia.
Sedari tadi mereka saling diam, Olivia sibuk memperhatikan para pelayannya, sedangkan Witna sedari tadi terus mengambil nafas dengan pendek dan sesekali menyentuh d**a kirinya.
“Kau tidak akan terus mendiami ku seperti ini kan?” suara Witna menyapa gendang telinga Olivia. Ia menoleh ke arah menantunya itu yang masih diam sedari tadi setelah anaknya dan Arthur pergi bekerja. “Aku tidak akan mengucapkan kata maaf kepada anak itu.”
Olivia langsung menolehkan kepalanya ke arah Witna, dengan ekspresi wajah yang tampak tidak percaya akan kalimat yang keluar dari bibir mertuanya itu.
“Aku akan membuat anak itu keluar dari rumah ini, aku tidak peduli bagaimana respon Lucas ketika mengetahui ini semua. Yang jelas, Arthur harus keluar dari rumah ini!” Witna menyelesaikan ucapannya, ia memanggil pelayan yang setia membantu untuk mendorong kursi rodanya. Witna pergi begitu saja dari hadapan Olivia.
Olivia hanya bisa menarik nafasnya dengan panjang, ia tidak akan membiarkan Arthur keluar dari rumah ini meskipun anaknya sendiri yang meminta nanti.
“Arthur tidak akan pernah keluar dari rumah ini, bu. Dia bagian dari hidupku dan keluarga Domarion.”
Kembali pada Rula yang terus berusaha menarik perhatian Arthur, pria tampan yang sudah berhasil mencuri perhatian sebagian wanita di gedung Fancy Me, perusahaan milik keluarga Domarion.
Rula sudah berada tepat di depan Arthur yang mana pria itu kini sedang menatapnya dengan sorot mata yang tampak keheranan karena Rula tidak berhenti menatapnya dengan bibir yang terus mengulas senyuman.
Dengan kening yang bertaut, Arthur membubuhkan tanda tangannya pada berkas yang sebelumnya Rula bawa dan berikan kepada dirinya. Selesai menandatangani berkas itu, pandangan Arthur kembali lagi pada Rula yang masih saja memasang wajah yang cukup tidak menarik menurutnya itu.
Ia menyodorkan kembali berkas itu pada Rula. “Apa kau akan terus tersenyum seperti itu?” suara berat milik Arthur menyapa gendang telinganya.
Ekspresi terkesima milik Rula langsung terpancarkan diwajahnya, ia tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya lagi di depan Arthur. Senyumannya semakin lebar ketika mendengar suara Arthur. “Astaga,” tanpa sadar Rula mengucapkan kalimat itu.
Arthur yang mendengar kalimat yang keluar dari bibir pemimpin divisi pemasaran dari perusahaannya itu semakin menatap heran Rula.
Sebenarnya dia kenapa?
“Kau tidak akan mengambil berkas ini?” ujar Arthur lagi dengan eskpresi wajah yang tampak kesal.
Rula langsung tersadar, ia berdehem lalu mengambil berkas yang Arthur sodorkan.
Tanpa mengucapkan apa pun lagi, Arthur kembali fokus pada pekerjaannya dan meninggalkan Rula yang tampak keheranan.
Sikap acuh yang ada pada dirinya memang sulit dihilangkan. Rula yang sudah berniat untuk menarik perhatian Arthur tidak ambil pusing dengan sikap acuh dan cuek pria itu, ia tetap berdiri di tempatnya dan memandangi wajah serius Arthur dengan seulas senyuman yang terus menghiasi wajahnya.
Arthur mengetahui kalau wanita yang ada di depannya itu tidak kunjung keluar dari ruangannya, matanya sesekali melirik kaki Rula yang masih saja tidak bergerak dari tempatnya. Arthur kembali fokus pada lembaran kertas yang ada di tangannya, lima menit berlalu namun Rula tak kunjung juga keluar dari ruangannya, Arthur menutup kedua matanya sejenak, ia tarik nafas dengan panjang lalu menghembuskannya dengan pelan.
Arthur membuka kedua matanya, lagi-lagi ia melihat wajah Rula yang tersenyum ke arahnya, gerakkan mata Arthur turun pada name tag yang ada di atas d**a kiri wanita itu.
Rula. Bisik Arthur dalam hati. Matanya kembali bergerak menuju wajah wanita itu, ia pandangi wajah Rula, lalu kedua matanya bergerak turun ke hidung kemudian bibir dan berhenti di rambut panjang Rula yang tersampir di bahu kanannya.
“Apa kau tidak memiliki pekerjaan lain?”
“Ha?” sesaat Rula mengerjap-tidak mengerti akan apa yang Arthur ucapkan.
“Berkas itu,” Arthur menunjuk benda yang ada di tangan Rula yang sebelumnya sudah ia bubuhkan tanda tangannya. “Dia sudah aku tandatangani, lalu kenapa kau masih di sini?”
Rula menampakkan senyum canggungnya, ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Padahal aku sengaja di sini agar puas memandangi wajahmu,” gumam Rula yang sayup-sayup dapat di dengar sedikit oleh Arthur.
“Sorry?”
“Ya?” Rula bertanya balik.
“Kau mengatakan apa tadi?”
Rula pura-pura memasang wajah bingung, “a-aku tidak mengatakan apa pun, pak.” ujarnya tersenyum ke arah Arthur.
Arthur tidak bertanya lagi, ia pandangi wajah Rula dengan kedua mata yang menyipit. “Masih tidak mau keluar?”
“Ya?”
“Aku menyuruhmu untuk keluar dari ruangan ini,”
Suasana ruangan itu tiba-tiba terasa aneh bagi Rula, apalagi ketika melihat Arthur yang menatapnya dengan datar dan tampak tidak suka.
“Kantor sekarang begitu sibuk, jangan membuang-buang waktu untuk tidak mengerjakan pekerjaanmu,”
Kening Rula tiba-tiba berkerut.
“Sekarang keluar dari ruanganku, dan kau ketik kembali ini dengan rapi.” Arthur menyerahkan berkas yang sangat tebal kepada Rula.
Rula menerima berkas itu dengan ekspresi yang tampak bingung, “Anda memberikan saya pekerjaan lain, pak? Dan.. ini terlalu banyak-“
“Kau tidak perlu menyerahkannya hari ini, aku memberikanmu waktu satu minggu untuk menyelesaikannya.”
Rula hanya bisa menganga di tempatnya dengan kedua tangan yang memegang berkas tebal itu.
Aku berlama-lama di ruangan mu bukan untuk di beri pekerjaan sebanyak ini, Arthur!!! Ah.. sial! Kenapa malah jadi seperti ini!!!
To be Continued
----
Thurs, 29 Des 2022