Masih di kediaman Domarion, kali ini Rula duduk di ruang kerja milik Lucas dengan pria itu yang duduk di depan Rula. Ia tatap wajah Rula yang tampak berbeda dari sebelumnya. Kali ini wajah Rula lebih berseri dan tampak santai tidak seperti saat Rula datang bersama keluarga Waverly yang tegang dan terlihat gugup.
"Apa yang dikatakan nenek hingga kau tampak lebih santai sekarang?" ucap Lucas sembari menuangkan teh yang ada di atas meja.
Rula menarik bibirnya ke atas, "tidak ada, hanya berbicara tentang apa yang harus aku lakukan." jelas Rula menerima teh yang di berikan oleh Lucas. Rula meneguk minuman hangat itu.
"Hubunganmu dengan Arthur benar adanya kan? Aku tidak yakin kalau saat ini Arthur sedang menjalin hubungan dengan seorang wanita, terlebih lagi kau bertemu lebih dulu dengan Bentley. Pria itu mudah menerima informasi yang belum jelas kebenarannya," ucap Lucas yang membuat Rula langsung melirik Lucas dengan mulut yang masih menempel di bibir gelas.
Rula meletakkan gelas itu lalu menyeka bibirnya. "Aku tidak mengerti maksudmu pak."
"Kau sedang tidak membohongi kami kan?"
Kedua alis Rula bertaut.
"Aku dan Olivia tipe yang tidak suka di bohongi, jika seseorang ketahuan membohongi kami berdua maka orang itu langsung kami blacklist, bahkan untuk bertemu pun tidak akan kami ijinkan." Lucas berhenti sejenak, "kau mengerti maksud ku kan?"
Rula dengan santai menanggapi Lucas, "aku tidak berbohong, hubunganku dengan Arthur nyata adanya. Hanya saja saat itu Arthur belum siap membawaku untuk bertemu dengan kalian. Dan untungnya aku bertemu dengan paman Ben dan membawaku kehadapan kalian. Satu lagi, saat ini Arthur belum siap untuk mengajakku ke jenjang yang lebih serius, dia ingin fokus dengan pekerjaannya. Aku harap kalian tidak terlalu memaksanya."
Lucas tersenyum tipis sembari menganggukkan kepala, "Selama dua puluh delapan hidupnya, Arthur tidak pernah sekalipun membawa teman wanitanya ke rumah. Bahkan untuk sebatas teman saja dia tidak pernah memperkenalkannya kepada kami. Olivia terus bekerja keras agar Arthur mendapatkan pasangan yang pas dan mampu menjaganya kelak, Arthur anak kami satu-satunya, dan pewaris dari Domarion. Aku berharap jika memang kau jodohnya, tolong jangan sakiti dia begitu juga sebaliknya jika dia menyakitimu tolong jangan tinggalkan dia. Jangan pernah tinggalkan dia sendirian."
Rula menatap serius Lucas di depannya.
"Kau mau melakukan itu?"
Bahkan aku akan melakukan apa pun agar Arthur bisa menjadi milikku. Masa iya aku bisa menyakiti pria setampan Arthur. Melihatnya saja sudah membuatku ingin melindunginya dari pandangan jahat orang lain.
"Rula?"
"Anda tidak perlu khawatir, pak. Aku akan menjadi wanita satu-satunya di dalam hidup Arthur. Yang akan menjaganya di kala susah maupun senang,"
Mendengar itu membuat perasaan Lucas sedikit tenang, ia berdiri dari duduknya. Rula yang melihat itu ikut berdiri dan tanpa ia sangka Lucas memeluk tubuhnya dengan hangat.
"Terima kasih. Terima kasih sudah membuat kami bahagia akan keberadaan mu," ucap Lucas melepaskan pelukannya, "kami berencana ingin bertemu dengan keluargamu, apa boleh kami mengundang mereka untuk makan malam?"
"Ya?"
"Kalau aku boleh tau nama keluargamu apa?"
Rula mengerjapkan mata, "apa tidak terlalu cepat untuk mengundang orang tuaku-"
"Kenapa memangnya? Apa mereka sibuk? Atau.. mereka sedang tidak ada di sini?"
Rula menggaruk kepalanya, "mereka sedang sibuk akhir-akhir ini. Apa lagi mereka sedang fokus untuk mempersiapkan pernikahan kakakku,"
"Kakak? Kapan acara pernikahannya?" tanya Lucas tampak bersemangat.
Rula yang melihat itu hanya tersenyum canggung, mana aku tau kapan dia akan menikah! Melihat calonnya saja dia tidak mau!
"Kau kasih tau nanti ya tanggalnya, akan ku usahakan untuk datang ke acara keluargamu, sekalian kenalan dengan mereka." ucap Lucas tersenyum lebar ke arah Rula.
Rula hanya menganggukkan kepala dengan ragu, apa yang akan terjadi nanti, kalau mereka tau ini semua? Bisa-bisa aku terus di ejek oleh Matthew!!
***
"Malam ini menginap saja di sini, besok pagi baru pulang ya?" ucap Olivia merangkul pundak Rula dan membawa wanita itu menuju kamar kosong yang ada di rumah itu.
Sehabis mengobrol bersama Lucas, Rula langsung bertemu Olivia yang baru saja selesai merapikan kamar yang akan Rula tempati malam ini.
Mereka melangkah menaiki anak tangga menuju lantai dua, kamar itu tepat berada di samping kamar Arthur. Dan tepat saat itu pula Arthur keluar dari kamarnya dan tidak sengaja beradu pandang dengan Rula.
"Kau mau kemana?" tanya Olivia melihat Arthur yang tampak rapi.
"Keluar sebentar," ucap Arthur singkat tanpa menatap Olivia. Ia melangkah melewati Olivia dan Rula.
Rula sendiri menatap Arthur yang melewatinya tanpa menatapnya sedikit pun.
"Ayo sayang-"
"Mommy," Rula menahan tubuhnya. "Sepertinya aku belum mengantuk," ucapnya melepaskan tangan Olivia dari pundaknya. "Aku ingin menyusul dia," ucap Rula lagi menatap mata Olivia dengan penuh harap.
"Ya sudah, sana. Aku tidak akan menghentikan mu,"
Rula tersenyum lebar ke arah Olivia yang ikut tersenyum ke arahnya, Rula memeluk Olivia dengan hangat lalu berlari menyusul Arthur.
Sesaat sudah di luar, bisa Rula lihat Arthur yang hendak masuk ke dalam mobilnya.
"Arthur!!" teriak Rula dan Arthur langsung menoleh ke arahnya.
Bisa Arthur lihat Rula yang berlari ke arahnya.
"Kau mau kemana?" tanya Rula sesaat sudah berdiri di depan Arthur.
"Kau tidak perlu tau aku mau kemana!" ujar Arthur dengan sinis dan hendak masuk ke dalam mobil tapi Rula lebih cepat menarik tubuh Arthur dan menutup pintu mobil pria itu.
"Apa yang kau-"
"Jawab, kau mau kemana?"
"Apa urusannya denganmu?! Kau tidak perlu tau aku mau kemana!"
"Aku berhak tau kau mau kemana Arthur. Aku ini kan..." Rula menggantung ucapannya.
"Kau mau bilang kalau dirimu kekasihku? Begitu? Sejak kapan kita menjalin hubungan ha? Minggir sana!"
"Tidak mau," tolak Rula dan berdiri di depan pintu mobil Arthur. "Kau katakan kau mau kemana, ini sudah malam. Dan besok kau harus kerja-"
"Urusannya denganmu apa? Kau itu bukan siapa-siapa aku! Bukan kekasih dan juga bukan orang tuaku! Kau hanya orang asing yang berusaha untuk masuk ke dalam kehidupanku!"
Rula menatap nanar wajah Arthur yang marah kepadanya, pria itu menarik tangannya agar menyingkir dari tempatnya. Dan tanpa perlawanan lagi, Rula berhasil beranjak dan Arthur masuk ke dalam mobil lalu membawa kendaraan itu keluar dari area rumah.
"Apa susahnya sih beritahu kemana tujuanmu? Aku kan tidak perlu melakukan hal seperti tadi yang hanya akan membuatmu marah!" ucap Rula menghentakkan kakinya. "Aku harus tau kemana kau akan pergi Arthur."
^^^
Arthur memukul setir mobilnya, ia terus mengumpat ketika mengingat bagaimana ia berhadapan dengan Rula. Mobilnya melaju dengan kencang di jalanan yang cukup ramai.
"Aku tidak akan melakukan hal yang memang tidak aku inginkan! Aku tidak akan menikah dengan siapa pun! Tidak dengan wanita itu atau pun dengan yang lain!" ucap Arthur menginjak gas mobilnya. Mobil melaju semakin kencang di jalanan hingga kendaraan itu berhenti di depan club yang ada di pinggir jalan.
Club itu cukup terkenal di kalangan orang dewasa yang ada di kota itu dan ini untuk kesekian kalinya Arthur mengunjungi tempat hiburan malam itu.
Ia ke sini guna menghilangkan rasa stresnya terhadap kejadian hari ini. Ia sudah sering ke sini apa lagi ketika mengingat masalahnya bersama sang nenek yang terus mempermasalahkan jati dirinya dan terus bertengkar dengan sang mommy, maka ia akan ke sini malam-malam setelah semua orang rumah tidur dan karena itu pula, setiap pagi ia akan bangun terlambat dan membuat neneknya selalu memarahinya.
Arthur melangkah masuk ke dalam club. Bunyi musik yang keras dan asap rokok menyambut kedatangannya. Langkahnya tanpa ragu membawanya menuju meja bar.
Arthur tipe yang bisa minum tapi dengan kadar alkohol yang tidak terlalu tinggi, biasanya ia hanya bisa minum bir, wine dan teman-temannya yang tidak terlalu memiliki kadar alkohol yang tinggi.
"Aku pesan bir," ucap Arthur kepada pelayan yang ada di depannya.
Minuman yang ia pesan sudah tersaji di depannya, Arthur meminum sekali teguk bir itu dan kembali meminta pelayan untuk menuangkan minuman itu ke dalam gelasnya lagi.
Hingga sampai sepuluh gelas baru lah Arthur berhenti, ia merasa sedikit lega setelah minuman itu masuk ke dalam tubuhnya, tiba-tiba senyuman sinis miliknya muncul ketika kepalanya mengingat kejadian malam ini di rumahnya.
Di mulai dari ia yang terus berhadapan dengan paman Bentley setelah pertemuan pertamanya dengan pria paruh baya itu, lalu kejadian salah paham antara dirinya dan Rula yang membuat semua pihak keluarga tiba-tiba merestui hubungan yang bahkan tidak pernah Arthur jalani sama sekali.
Jangankan pacaran dekat dengan seorang wanita saja ia tidak pernah. Arthur tertawa pelan jika mengingat bagaimana membosankannya hidup yang ia jalani saat ini.
Tidak memiliki teman semenjak duduk di bangku sekolah, tidak memiliki kekasih padahal ia tampan.
"Tampan tidak bisa menjadi jaminan jika kau tidak bisa mendapatkan wanita yang kau inginkan." gumam Arthur dengan kedua pipinya yang merah.
Apa mungkin ia sudah mabuk? Secepat itu?
Arthur mengusap kasar wajahnya, tatapannya pun sudah mulai sayu. "Mereka hanya menginginkan parasku, mereka tidak tulus mencintaiku. Bahkan sejak kecil aku telah dibuang oleh orang tuaku sendiri," Arthur tersenyum miris, "aku tidak diinginkan oleh siapa pun." gumam Arthur dan meminta pelayan untuk menuangkan minumannya lagi. Arthur kembali menenggak habis minuman itu. "Nenek yang bahkan seorang ibu saja juga tidak mau menerimaku menjadi cucunya! Apa kesalahanku hingga mendapatkan kehidupan yang rumit ini!!" teriak Arthur namun itu tidak bisa didengar oleh semua orang yang ada di sana karena suaranya teredam oleh musik yang keras. "Aku hanya ingin dicintai dengan tulus." gumam Arthur lagi dan meminta pelayan untuk menuangkan kembali birnya.
Dan saat ia ingin meminum minuman itu tangan seseorang menghentikannya. Gelas yang ada di tangannya di ambil alih. Arthur reflek melihat siapa yang sudah merebut gelasnya.
Dan orang itu adalah Rula.
Kedua mata Arthur menyipit lalu sesaat kemudian ia berdecak, "ck! Kau lagi!" umpatnya.
"Ah, segarnya." Rula menyeka bibirnya, ia meminum bir milik Arthur. "Kau tidak bisa minum ya?" ucap Rula lagi sembari duduk di samping Arthur. Minuman Arthur serasa air soda biasa di tenggorokan Rula.
"Siapa yang menyuruhmu duduk di sini?!"
Rula melirik kiri kanan, "tidak ada, ini kan tempat umum, aku bebas duduk dimana saja yang aku mau," saut Rula dengan santai.
Ia sudah mengganti penampilannya, saat ini Rula mengenakan tank top crop top warna hitam dengan luaran blazer dengan warna yang sama dan di padukan dengan rok mini sepaha yang warnanya pun senada dengan atasannya. Sedangkan di area kepala, Rula hanya menyanggul rambutnya ke atas dan meninggalkan beberapa helai untuk membingkai wajah cantiknya dan di tambah dengan aksesoris anting kecil yang menempel di telinganya.
Arthur hanya memutar matanya dan ia hendak pergi dari sana, namun dengan cepat Rula menahan lengannya. "Mau kemana lagi?" tanya Rula dengan lembut.
Arthur menghempaskan tangan Rula, "kau tidak perlu tau!" bisiknya tepat di wajah Rula.
Rula mengambil kesempatan dengan menahan tubuh Arthur. Ia mencengkram pinggiran kemeja yang saat ini Arthur kenakan. Arthur tidak bisa bergerak, "aku harus tau kau mau kemana sayang." bisik Rula di depan wajah Arthur yang memerah.
Mata mereka saling pandang untuk waktu yang lama, hingga Rula kembali bersuara, "katakan, kau mau kemana lagi? Biar aku temani,"
Arthur melepaskan tangan Rula yang mengurung tubuhnya, ia memutar tubuhnya menghadap depan kembali dan tampak tidak berniat untuk pergi.
Melihat itu membuat senyuman Rula muncul, ia menyangga kepalanya menggunakan sebelah tangan dan menatap Arthur dari samping.
Benar-benar mahakarya yang sangat sempurna.
"Jangan tatap aku seperti itu," ucap Arthur tanpa menoleh ke arah Rula.
"Lalu aku harus menatapmu seperti apa?" Rula bertanya dengan sebelah tangannya yang bergerak untuk merapikan rambut Arthur yang sedikit berantakan.
Awalnya Rula sedikit ragu untuk menyentuh kepala Arthur, namun melihat pria itu tidak menolak sentuhannya seperti sebelumnya, membuat Rula memberanikan diri untuk menyentuh rambut pria itu.
"Tatapan mu terlihat tidak tulus untukku,"
Gerakkan tangan Rula di kepala Arthur berhenti, ia singkirkan tangannya dari sana.
"Kau tidak ada bedanya dengan mereka. Aku tidak suka dengan tatapan itu,"
"Darimana kau tau jika tatapanku tidak tulus? Melihat mataku saja kau tidak mau, bagaimana bisa kau menilai ku sama seperti mereka?"
Arthur tersenyum sinis, "kau hanya menyukai parasku. Sama seperti yang lainnya, kalian tidak pernah tulus kepadaku."
"Tulus tidak bisa dirasakan tapi tulus bisa di lihat oleh mata. Jika sekarang kau ingin melihat ketulusanku maka kau harus menatap mataku," ucap Rula menangkup wajah Arthur lalu memutar kepala pria itu menghadapnya. "Aku tidak pernah berbohong, aku tidak tau bagaimana cara kau menilai tatapan mata seseorang tapi yang jelas, aku benar-benar tulus kepadamu. Bukan karena alasan apa pun, satu yang aku inginkan. Aku hanya ingin dirimu, aku hanya ingin kau menjadi milikku."
Arthur menatap lama mata Rula. Mata hijau itu menatapnya dengan teduh. Musik yang keras dan bau rokok perlahan menghilang dari pendengaran dan penciuman Arthur, musik itu berganti dengan suara detak jantungnya yang tiba-tiba menjadi cepat. Di tatap teduh oleh pemilik mata hijau di depannya membuat jantung Arthur tak karuan.
"Kau bisa melihat ketulusan di mataku, kan?" Rula bertanya namun Arthur tidak meresponnya. "Aku tidak berbohong Arthur. Aku tulus kepadamu," ucap Rula lagi dengan ibu jari yang mengelus pipi Arthur yang merah. Tatapan pria itu masih tertuju ke arah matanya.
Dengan mata yang masih tertuju pada Rula, kedua tangan Arthur bergerak menyentuh tangan Rula yang ada di wajahnya. Ia lepaskan perlahan tangan itu lalu menariknya pelan hingga Rula berdiri dari duduknya. Dan sebelah tangan Arthur bergerak ke pinggang wanita itu-menarik tubuhnya hingga Rula reflek menaruh tangannya ke bahu Arthur.
Dengan kepala yang sedikit mendongak, Arthur kembali menatap Rula yang menundukkan sedikit kepalanya.
"Kenapa?" tanya Rula dengan jantung yang berdetak kencang tak karuan. Ia merasa dejavu dengan posisi tangannya yang ada di pundak Arthur.
"Kau ingin berciuman?"
Pertanyaan yang tiba-tiba keluar begitu saja dari bibir Arthur membuat jantung Rula makin tak karuan. Genggaman tangannya pada kemeja Arthur menguat. Rula menelan ludah.
Arthur tampak tidak ingin mendengar jawaban Rula, tangannya bergerak menyentuh leher wanita itu yang bebas. Lalu tanpa aba-aba Arthur menarik leher jenjang itu ke arahnya lalu menyatukan bibir mereka.
Rula tidak terkejut lagi akan yang Arthur lakukan hanya saja jantungnya tidak bisa di ajak kompromi!! Jantungnya makin berdetak kencang dan ia takut kalau Arthur akan mendengar suara jantungnya itu.
Arthur menutup kedua matanya, bibirnya mulai bergerak di atas bibir hangat milik Rula.
Rula membalas ciuman itu dengan kedua mata yang menutup. Dapat ia rasakan sisa bir yang menempel di bibir Arthur.
Pelayan yang sebelumnya melayani Arthur kini menatap jijik ke arah mereka berdua. "Ah.. beginilah nasib seorang pelayan club malam! Kalau tidak melihat sepasang manusia yang sedang bercinta atau tidak yang sedang berciuman seperti mereka! Tampak tidak ada tempat lain saja untuk melakukan itu semua! Oh my Goodness!!" umpatnya lalu pergi dari sana.
Ciuman Arthur semakin intens di bibir Rula, ia mulai menghisap dan menggigit bibir tipis itu bahkan tangannya pun perlahan turun ke pinggang Rula yang terbuka. Mengusap kulit Rula yang terasa lembut di atas telapak tangannya dan tangan itu bergerak perlahan ke atas.
Tangan Rula bergerak mengalungi leher Arthur, ia memeluk leher pria itu dan mengusap rambut Arthur yang terasa tebal di tangannya.
Bibir mereka terus bergerak hingga benak Rula menyadarkan dirinya akan satu hal.
Bibir Rula berhenti bergerak dan Arthur merasakan itu. Arthur membuka matanya, dan menatap wajah Rula yang amat dekat dengannya. "Kenapa?" tanya Arthur tanpa membuat jarak di antara mereka.
Rula menegakkan tubuhnya dan menatap Arthur dengan datar. "Kau sadarkan ketika melakukannya?"
"Apa?"
"Kemarin kau juga mencium ku saat di bawah pengaruh alkohol. Lalu sekarang kau juga melakukannya!" rutuk Rula dengan memajukan bibirnya ke depan.
Melihat ekspresi wajah Rula yang lucu membuat Arthur menarik ujung bibirnya ke atas. Ia memalingkan wajahnya dan mengusap ujung hidungnya.
"Jawab. Kau sadar atau tidak! Kalau tidak lebih baik hentikan saja-"
Arthur menahan tangan Rula yang hendak beranjak dari lehernya. "Sadar. Aku sadar saat melakukannya. Aku juga sadar saat bertanya kau mau berciuman atau tidak," ucap Arthur dengan lembut.
Mendengar penuturan Arthur membuat pipi Rula memerah, ia merasa sudah bisa menaklukan Arthur!! Aaa!!
Baru juga bicara lembut kau sudah merasa terbang Rula!! Ingat! Yang sedang kau hadapi ini Arthur! Sikapnya bisa berubah-ubah kapan saja!
"Jadi bagaimana? Tetap lanjut atau tidak?" tanya Arthur menatap Rula dengan tatapan mata memohon.
Aaa!!! Kenapa kau menatapku seperti itu?!! Kau membuatku tidak bisa menolakmu, Arthur!! Aku baru saja mengingatkan diriku sendiri tapi aku juga yang mudah terpengaruh!
"Rula?"
Aaa!! Dia menyebut namaku!!
Arthur bisa merasakan cengkraman tangan Rula menguat di kerah kemejanya, dengan tatapan mata wanita itu yang menatap lurus matanya. Ia merasa jika Rula tidak mau melanjutkan kegiatan itu, dan ia pun inisiatif melepaskan tangan Rula dari lehernya.
"Aku tidak peduli jika besok sikapmu akan kembali seperti biasa. Yang jelas aku hanya ingin bersamamu malam ini," ucap Rula.
Mendengar ucapan Rula membuat Arthur kembali menatap wanita itu. Rula menatapnya dengan tersenyum manis.
Apa maksudnya itu? Apa Rula ingin melanjutkan kegiatan mereka yang tertunda tadi?
Rula memberanikan diri untuk mencium Arthur lebih dulu. Bibir mereka kembali bertemu dan bergerak lebih cepat dari sebelumnya dan Rula pun tidak malu-malu lagi untuk menyentuh tubuh Arthur.
Musik yang dimainkan DJ semakin keras dan ciuman yang mereka lakukan pun semakin liar, dan Arthur tidak leluasa mencium Rula dengan posisinya yang saat ini.
Arthur melepaskan tautannya, "ayo kita pindah tempat."
Kening Rula berkerut, "kemana?"
Tanpa menjawab pertanyaan Rula, Arthur menarik tangan wanita itu menuju lorong club yang setiap sisinya memiliki kamar yang isinya terdapat sepasang kekasih yang sedang menghabiskan malam mereka bersama-bersama.