Bab 2 ♡Galaunya♡

1074 Words
Cintaku sekarang kau abaikan, suatu saat kau akan tergila-gila padaku ♡♡♡♡♡ Wanita itu telah rapi dengan dress sepanjang mata kaki. Ia memang menyukai baju yang panjang-panjang dibanding baju pendek yang membuat dirinya merasa kedinginan. Tadi malam ia tak bisa tidur mengingat lelaki yang berstatus suaminya itu tidur selalu mendekati dirinya. Padahal ia sudah menaruh guling di tengah-tengah. Sehingga membuat tidurnya tak nyenyak. Sungguh kesal dirinya. Apalagi kini lelaki itu menatapnya dengan senyuman lebar. Wanita itu mengacak rambutnya hingga sedikit berantakan. Sang lelaki mendekat dan berusaha merapikan rambut istrinya. Wanita itu menyentak tangan lelaki itu. Ia berjalan lebih dulu keluar hotel. Mereka sudah sampai di depan hotel. Kedua satpam yang berjaga di depan tampak menatap dirinya penasaran. Ia yang menggunakan kacamata pasti tak akan terlihat nampak. Walaupun tiap kali orang memandang pasti akan mengatakan dirinya cantik. Kulit putih lembut, bulu mata lentik, dengan tinggi badannya sekitar 160 membuatnya seperti model ternama. Wanita itu langsung memasuki mobil dan duduk di belakang. Pintu sebelahnya terbuka. Lelaki itu duduk disebelahnya. Ia ingin menangis rasanya. Apalagi tampilan lelaki itu yang begitu cupu menurutnya. Kenapa pula nasibnya begini? Mobil melaju meninggalkan pelataran hotel. Lelaki disebelahnya itu tersenyum menatap sang istri. Tetapi sang istri tampak asyik menatap jalan lewat jendela mobil. Supir yang melihat pasangan pengantin itu lewat kaca mobil pun tersenyum tipis. Ia tahu nona mudanya sangat bete dengan lelaki disebelahnya yang telah berstatus menjadi suaminya itu. "Pak, tolong turunkan saya di rumah!" "Baik, nona." Lelaki itu menatap istrinya dengan heran. "Kita akan pulang ke rumahku!" Wanita itu menoleh. "Siapa bilang? Kalau kamu ingin ke rumahmu silahkan! Saya ingin pulang!" ujarnya dnegan nada kesal. Lelaki itu menghela nafas. "Baiklah, kita pulang ke rumahmu dulu!" Wanita itu tak menanggapi. Ia begitu malas berbicara pada lekaki disampingnya itu. Andai waktu bisa diulang, ia ingin tak kembali ke rumahnya dalam waktu dekat. Sehingga ia tak akan menikah saat ini. Tetapi, nasi sudah menjadi bubur. Ia harus menerima nasibnya yang entah nantinya akan bagaimana. Selama setengah jam menempuh perjalanan, kini mereka telah sampai di rumah mewah berlantai dua dengan halaman yang begitu luas di samping kanan rumah. Mobil yang ditumpangi mereka memasuki gerbang. Wanita itu membuka pintu mobil dan meminta supirnya untuk membawa kopernya ke dalam rumah. Biar ia saja yang akan membawa kopernya ke dalam kamar. Sang mama yang sedang memasak di dapur pun penasaran akan suara mobil di halaman depan rumahnya. "Loh, kok kamu kesini, sayang?" tanya sang mama terkejut. Wanita itu cemberut menatap mamanya. "Ma, ini kan rumahku. Masa aku gak boleh kesini?" "Bukan gitu, sayang. Seharusnya kamu ke rumah suamimu, rumah mertuamu," ujar sang mama dengan suara lembut. Lelaki yang membawa dua koper itu memasuki ruang tamu. Sang mama menggelengkan kepala melihat tingkah putrinya yang satu ini yang kurang sopan menurutnya. "Kamu ini, ya dibantu suamimu bawa koper," omel sang mama. Wanita itu menoleh kebelakang dan menatap kesal lelaki itu. Kenapa pula lelaki itu yang membawa kopernya?  Bukankah ia sudah meminta untuk supir yang membawanya ke dalam rumah? Memang dasar lelaki itu yang cari perhatian menurutnya. Sang mama yang melihat putrinya itu menatap kesal suaminya itu pun meminta mereka untuk menuju kamar agar beristirahat. Ia pun kembali ke dapur dan melanjutkan acara memasaknya. Wanita itu menarik kopernya dan membawanya keatas. "Biar aku saja!" ujar lelaki itu. Wanita itu mengacuhkan dan membawa kopernya dengan hati-hati ke lantai dua kamarnya. Sang lelaki mengikuti istrinya saja. Ia paham, mungkin istrinya masih belum bisa menerima keadaan seperti ini. Apalagi ini terkesan menikah paksa. Tetapi ia akan berusaha membuat istrinya mencintai dirinya. Ia akan bertanya kepada sepupunya atau google mungkin. Asalkan istrinya itu mau menganggapnya ada. Saat di kamar, wanita itu membantin kopernya ke pojok dekat almari. Ia berjalan kearah meja rias dan mengikat rambutnya dengan ikat kuda. Ia menatap lelaki itu yang masuk ke dalam kamarnya. Tidur sekamar lagi? *** Tampak mama, papa, dan kakaknya sudah duduk di ruang makan. Tinggal dirinya saja yang masih menuruni tangga. Dibelakangnya, ada lelaki itu yang menatapnya dengan senyuman. Jujur, dalam lubuk hati terdalamnya ia merasa risih. Ingin menangis dan menumpahkan kekesalannya tetapi ia bingung harus ke siapa mengungkapkan perasaannya ini.  Wanita itu memandangi dua kursi kosong yang sengaja ditempatkan di depan meja tempat duduk mama, papa, dan kakaknya. Dengan terpaksa ia duduk disana berdua dengan lelaki yang berstatus suaminya itu. Kenapa mereka memilih tempat duduk seperti ini? Seakan menambah rasa jengkel pada dirinya saja. "Sayang, ambilin makan dong buat suamimu," ujar sang mama. Wanita itu menganggak saja. Ia mengambilkan sepiring nasi dan lauk lalu diberikannya kepada lelaki yang sedang tersenyum kepadanya itu. "Terima kasih, sayang," ujar lelaki itu dengan senyuman. Wanita itu mendengus kesal. Entah sampai kapan ia bertahan dengan semua ini? Apalagi kedua orang tuanya dan kakaknya justru tersenyum jahil menatapnya. Andai tidak ada orang disini, ia akan membanting piring-piring di meja ini. Sungguh, ia butuh pelampiasan. Seusai makan, wanita itu memilih ke halaman belakang dan memainkan ponselnya. Menggali informasi terkini di dunia maya. Sesekali stalker teman-teman kuliahnya disana. Ah, ia jadi merindukan suasana kuliah. Suara dering ponsel mengagetkannya dari hayalan indahnya. Ia menatap nama yang tertera di ponsel dengan menaikkan sebelah alisnya. Bingung juga kenapa nama itu memanggilnya. "Halo," ujarnya. Suara diseberang terdengar ramai dengan lalu lintas yang begitu padat. Ia menjauhkan ponsel dari telinga. Mengusap telinganya dengan pelan. "Ayo ketemuan! Temen-temen kampus lagi ngadain acara, nih," ajak suara diseberang to the point. Wanita itu berdehem pelan. "Gue lagi pulang kampung," jawabnya. Ia menoleh ke kanan ketika ada suara langkah kaki mendekat. Ternyata lelaki yang menjadi suaminya itu. Menggangu saja, ujarnya dalam hati. Lelaki itu duduk disebelahnya dengan senyuman lebar. Kenapa pula setiap memandangnya selalu tersenyum? Apa tak ada hal lain yang bisa dilakukannya selain menatapnya seperti itu? Apa tak pernah melihat sosok wanita cantik lainnya? Ia membelakangi lelaki itu. Suara diseberang sana memanggilnya. Ia memejamkan mata sejenak. "Iya, lain kali saja ya." "Kapan lo balik kesini?" "Lusa mungkin," jawabnya mantap. "Baiklah, sampai jumpa nanti." Ia menutup sambungan telefon. Lalu menegakkan tubuh dan berjalan meninggalkan halaman belakang menuju kamarnya. Ia harus membereskan baju-baju kuliahnya.  Lelaki yang masih duduk di kursi itu menatap punggung istrinya dengan wajah sedih. Baru hari pertama mereka menjadi sepasang suami istri, tetapi sikap istrinya seperti ini? Memang apa yang salah dengan dirinya ini?  Ia mendongakkan wajahnya. Menatap  langit yang cerah oleh sinar matahari. Tetapi, hatinya tak secerah langit. Ia memang lelaki lemah, yang mudah galau jika menghadapi situasi seperti ini. Bahkan hidungnya saja sudah memerah, seakan ingin menangis. Memang kedua matanya sudah berkaca-kaca. Ia benar-benar lelaki lemah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD