Part 11. Minta maaf tidak akan membuatmu sengara

1577 Words
"Ahk..," Serin terjerembab dengan darah mengalir dari pelipisnya. Keningnya terluka akibat membentur ujung nakas. Tubuhnya mengigil kesakitan setelah berkali-kali dipukuli Luke. Bahkan tadi ia terlempar karena tangan besar Luke tak segan menampar pipinya dengan kencang. Serin terus meyakinkan dirinya, bila Luke adalah yang terbaik baginya. Cuma pria itu yang ia punya kini. Ia tidak ingin lagi kembali kepada suaminya yang keji. Tapi mengapa ia betah dalam mulut harimau yang tak lain Luke.Seraya melap air matanya yang bercampur darah, ia merangkak kearah Luke. Kedua tangannya tertangkup. Serin juga mendongak dengan tatapan sejuta harap agar Luke bisa mencintainya, seperti ia mencintai pria itu. "Minggir kau!" Luke dengan keji menendang Serin, ia kesal. Karena sejak kemarin Serin selalu melarangnya bertemu Delia. Padahal ia sudah sangat rindu dengan istrinya. Serin melotot tajam, gimana kalau Luke sampai mengingat kejadian malam itu. Gimana kalau Luke sadar Delia sudah meninggal. Yah, sejak kemarin. Luke berfantasi kalau Delia belum meninggal. Sedang Serin sangat ingat, dirinya sempat mengecek hembusan nafas yang keluar dari hidung Delia. Beku! Tak ada apapun disana selain kulit Delia yang perlahan membiru. Ia merangkul kedua kaki Luke erat, berusaha menahan pria itu bahkan bila usahanya bisa menghilangkan nyawanya sendiri, Serin rela. Ia pun sudah tidak tahu lagi arti hidup untuknya. Baik mati saat ini atau nanti, rasanya sama saja. "Luke, aku mohon jangan pergi. Tetaplah disini bersamaku." Berapa kalipun, Serin tak akan pernah merasa segan untuk bersimpuh memohon kemurahan hati Luke. Meski itu membuat harga dirinya terluka, ia tidak lagi peduli. Karena terus bersama Luke'lah harapan besar di dalam dadanya. *** Zero hanya bisa menatap teman-temannya yang sedang bermain. Robot-robotan di tangannya belum juga ia gunakan. Ia hanya memegangnya tanpa berniat memainkan. "Hai," sapa Sona ceria. Sona adalah salah satu anak panti yang diasuh Zakiyah. Usianya saat ini baru lima tahun. Lebih muda dua tahun dari Zero. Poninya yang lurus sejurus alis adalah ciri khasnya. Kini Sona duduk di sebelah Zero, ia menatap Zero dengan kedipan lamat-lamat. "Kenapa?" tanya Zero ketus tak suka ditatap seperti itu. "Sejak kemarin aku tidak melihatmu bermain," jujur Sona. Ia mengambil robot-robotannya dari tangan Zero. "Ini bagus, kayaknya masih bisa dimainin. Tapi kok didiamkan saja?" Zero kembali merampas mainannya dengan kasar sambil bergerutu "Jangan sentuh!" Sona yang dibentak langsung ingin menangis. Matanya berkaca-kaca. Zero sebenarnya anak yang baik. Ia penyayang dan perhatian. Sayangnya sejak dulu ia tidak punya satu pun teman. Delia melarangnya berkawan dengan siapapun. Zero hanya diijinkan bersekolah lantas, langsung pulang ke rumah. Ia tidak boleh berkomunikasi pada siapapun. Bukan tanpa alasan Delia melarang anaknya melakukan hal lazim seperti anak seusianya. Semua ini agar tidak ada satu orang pun yang tahu prilaku menyimpang ayahnya. Saat itu Delia masih berharap suatu hari Luke bisa berubah. Meski jauh di dalam kalbunya ia menangis, merasa bersalah pada Zero tidak bisa memberikan contoh keluarga yang ideal selama hidupnya. Pertentangan itu kini telah berakhir, seiring dengan meleburnya raga Delia bersama segala kepahitan. Sayangnya bekasnya masuh tersisa dalam benak Zero yang jadi sulit membuka diri Zero terlihat panik. Ia ingin menghibur Sona. Tapi sayangnya ia juga tidak memahami caranya. Akhirnya Zero hanya mengembalikan mainan itu ke tangan Sona. "Ini!" tekannya agar Sona tidak lagi menangis. Sona tersentak, ia jadi melotot dengan hidung yang memerah. Mau tak mau Zero jadi tertawa karenanya. "Kau mentertawakan aku?" sentak Sona dengan suara dibuat segalak mungkin. Ia belajar cara bicara galak dari Kak Indahnya. Zero mengulum tawanya. Sejak masuk sini, baru hari ini ia tertawa.., tapi ia juga tidak mau tertawa diatas penderitaan orang lain. Jadinya Zero hanya menutup mulutnya. "Ka-kamu boleh mainin punya aku, kok," ucapnya tulus. Sona gantian tertawa. Ia merangkul Zero dan menepuk-nepuk punggungnya. "Terima kasih, kau juga boleh memainkan boneka barbie milikku," tawarnya. Mulai detik ini, Sona merasa Zero adalah sahabatnya. Meski Zero belum bersependapat. *** "Hah," akhirnya Sachi memakai uangnya yang berharga untuk membebaskan Akira. "Kenapa kau menjamin dia. Padahal sekitar delapan bulan lagi masa tahanannya sudah selesai. Kau juga masih betah disini,'kan, Akira?" goda petugas kepolisian bagian pembebasan bersyarat. Akira hanya tersenyum lalu memasukkan jemarinya diantara jari Sachi. "Dia amat mencintaiku. Sampai tidak bisa melihatku menderita disini," selorohnya. Sachi membuang pandangannya geram. 'Dasar gak tahu malu. Bisa-bisanya dia ngomong kayak gitu di depan polisi.' Sayangnya ia hanya bisa menggerutu dalam hati. Sebelum pergi, Akira mengajak Sachi melihat ke sel Hideo. Sejak rencananya bunuh diri gagal. Hideo jadi lebih murung dari biasanya. "Kenapa kita kesini?" tanya Sachi namun juga mengikuti langkah Akira. "Apa kau mau meminta maaf dengan seseorang. Kau harus tahu, kau bukan cuma sekali melakukan kesalahan. Ada satu orang lagi yang menderita karena tindak tandukmu," ucapnya seraya memasukkan tangannya ke kantong celana dan berjalan lebih dulu tanpa menoleh ke Sachi. Sachi terdiam. Ia berhenti di tempat. "Kenapa?" selidik Akira. Kini Sachi nampak tidak ramah. "Kamu mau mempertemukan aku dengan lelaki waktu itu, kamu mau menyalahkan aku karena dia gagal bunuh diri. Kamu masih mengingatnya, padahal semua itu sepenuhnya bukan salahku." Ia terlihat emosional. Sachi terlalu lelah jika dirinya terus disalahkan. Sungguh, hatinya yang putih sangat berat menanggung semua ini. Perlahan kaki Akira bergerak untuk kembali kearah Sachi. Ia memandang Sachi yang tengah marah. "Jadi kau tidak ingin meminta maaf?!" Sachi mendengus, "Aku sudah bilang, itu bukan salahku," cicitnya tidak kuasa menatap Akira kembali. "Hm, apa kata maaf sesulit itu bagimu untuk diucapkan?" Sungguh pertanyaan Akira membuat Sachi tersinggung. Apa lelaki itu fikir dirinya sangat angkuh sampai tidak mau melakukannya. "Aku tidak mau!" Namun Sachi tudak mau menjelaskan lebih jauh. Sachi ingin pergi, tapi tangan Akira mencekalnya. "Minta maaf tidak akan membuatmu sengsara. Justru akan membuat perasaanmu lega." Nasihatnya. Sachi hanya bisa menggeleng sembari melepaskan pegangan Akira. Sialnya lelaki itu memiliki stamina yang bagus. Sehingga untuk lepas dari cengkramannya adalah hal yang sulit dilakukan. Tak dinyaya, Akira menarik Sachi ke ruang sel. Ini kesempatan terakhir bagi mereka. Karena kalau sudah pergi dari sini, pastinya Hideo tidak mau dijenguk kembali. Semangatnya telah mati. Meninggalkan raga tanpa harap hanya berteman sepi dan sunyi. Sachi dan Akira sampai di tempat Hideo. Pria itu punya sel khusus, kemarin ia sempat memberontak dan berniat melukai dirinya kembali. Dan karena para sipir takut ia bisa saja menyakiti narapidana lainnya, akhirnya Hideo dipindahkan ke sel khusus. Kedua tangannya terikat ke belakang semua itu dilakukan supaya Hideo tidak bisa lagi melukai siapa pun termasuk dirinya Akira meminta ijin penjaga area sana untuk menemui Hideo sebentar saja. Karena ia cukup dikenal sebagai pribadi yang santun. Akhirnya, Sachi dan Akira diijinkan menjenguk Hideo dari balik jeruji. Sachi melotot saat melihat keadaan Hideo. Lelaki itu tengah merenung, memandang ke depan tanpa pengharapan. Tanpa terasa air matanya tumpah. Apa ini karena ulahnya juga Sehari setelah mereka jatuh. Sachi memang sempat memberikan kesaksian kalau Hideo hanya ingin membuat seisi lapas ricuh. Sebenarnya ia tidak punya alasan yang pasti berbicara seperti itu. Semua hanya didasari rasa kesal sesaat sampai ia tega mengatakannya Kini, emosi sesaatnya malah memperburuk hidup seseorang. Mengapa ia jadi seperti ini. Apa benar, ia layak menjadi psikologis ternama? Akira menatap Sachi iba. Sebenarnya ia juga tidak tega terus melihat Sachi meneteskan air mata. Tapi biarlah, hanya kali ini..,wanita itu merasakan perasaan bersalah atas perbuataannya. Mungkin ini kejam. Di dunia ini tidak ada manusia yang sempurna. Melakukan kesalahan saat bekerja adalah hal yang wajar. Sayangnya kesalahan itu menyangkut hati insan lainnya. Jadi sudah semestinya ia menundukkan wajah dan berkata maaf. Kata maaf memang tidak bisa mengembalikan keadaan. Tapi setidaknya bisa memperbaiki hati yang terlanjur disakiti. Akira merangkul Sachi. Ia tersenyum lembut. Setelah ini, ia berjanji akan membahagiakan Sachi. Akira tidak ingin main-main dengan janjinya sendiri. Ia pernah gagal, dan selama ini ia terus berfikir, seandainya ada kesempatan untuknya mengulang semua. Pastinya ia akan melakukan yang terbaik. Pernikahan mereka memang bukan hal yang direncanakan. Juga bukan pernikahan yang didasari rasa cinta. Malah, Akira belum mengerti mengapa ia berfikir ingin menikah dengan Sachi. Namun semua itu tidak bisa mengendurkan semangatnya untuk terus mengenal dan membahagiakan sang istri. "Hideo," panggil Akira. Ia sudah melepaskan rangkulannya. Sachi perlahan mengumpat di belakang Akira Rasanya ia belum siap bersitatap dengan pria itu. Hideo tersenyum kearah Akira. "Akira," susah payah lelaki itu bangun. Meski kakinya juga lunglai. Karena Hideo memutuskan tidak memakan makanannya. "Ahk," Akira semakin mencengkram jeruji besi dengan kencang. Ia cemas, takut Hideo pingsan. "Tidak apa-apa, Akira." Hideo memang menyukai Akira. Selama di tahanan cuma Akira'lah teman yang bisa membuatnya tersenyum lega. Semua itu mungkin karena mereka ada dalam satu penderitaan. Sama-sama ditinggal sang istri. "Kenapa kau disini, Akira?" tanya Hideo heran. Lelaki itu juga tidak lagi pakai baju tahanan. Femomena itu membuat sudut bibir Hideo mengembang sempurna. "Kau bebas, Akira?" lanjutnya lagi dengan suara takjub. Akira cuma bisa mengangguk "Benar, hari ini aku bebas..," ucapnya. Hideo langsung merunduk berusaha mendoa,'kan Akira . "Aku berharap kamu bisa bahagia di luar sana. Semoga kamu bisa kembali hidup normal. Dan kalau bisa jangan kembali lagi kesini." Ia berpura-pura mengancam di akhir kalimat. Akira jadi tersenyum miring. "Memangnya kenapa. Aku betah disini." Hideo menggeleng tak suka. Biar pun betah, tapi lapas bukanlah tempat yang layak untuk ditinggali. Jadi, Akira harus berusaha sekuat tenaga agar tidak lagi mendaftarkan dirinya sebagai salah satu narapidana. Komunikasi mereka terdengar sangat sederhana, mengalir hingga ke hati Sachi. Hideo memang bukan lelaki yang baik. Ia pernah melakukan kekhilafan hingga berakhir disini. Tapi bukan berarti ia tidak bisa menjadi orang yang tulus. Semua do'a yang ia lantunkan untuk Akira terdengar sangat nyaman di telinga. Itu semua pasti karena berasal dari hati. Pelan, Sachi menyembulkan dirinya dari belakang Akira. Ia menatap Hideo dengan tatapan sayu. Sedang Hideo terlihat begitu kaget hingga ia membelalakkan bola matanya. "Dia!" seru Hideo.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD