Part 10. Aku dan dia tak ada bedanya

1156 Words
Sachi sampai mencari bantuan pada situs internet ilegal. Kemudian ia datang ke satu bar yang di infokan bisa membawanya ke orang yang tepat. Wanita itu awalnya takut, bar ini memang seperti bar biasa pada umumnya, tapi karena yang akan ia lakukan juga sebuah kejahatan. Sachi jadi merasa bersalah pada dirinya sendiri. Ia tahu, orangtuanya tidak pernah mengajarkan untuk balas dendam. Tapi kalau itu kejadian yang menimpa dirinya langsung. Bagaimana jika kecerobohannya mengakibatkan orang lain tiada, apa yang mesti ia lakukan? Akhirnya ia dipertemukan oleh seorang pria tinggi dan bertato. Pria itu mengenalkan dirinya sebagai Alex, ketua dari genk Culture. Tidak disangka yang menyambutnya langsung ketua dari aliansi berlogo C itu. Alex menyeringai dengan tatapan lapar ketika melihat Sachi yang nampak tidak nyaman akan suasana bar. Wanita itu juga menjelaskan maksudnya dengan terbata. Sekali lihat, Alex tahu sesungguhnya Sachi bukan wanita yang sering melenggangkan kaki ke tempat terkutuk itu. "Jadi, kau ingin aku menghabisi nyawanya?" tanyanya langsung. Alex tertarik dengan profil yang Sachi kenakan. Rumput liar, melambangkan kalau ia tetap akan tumbuh meski tidak diinginkan. Filosofi semangat dari rumput liar yang membawa Alex kesini. Dan wow.., ternyata rumput liar itu sangat cantik. Ia jadi ingin memetik untuk disimpan dirinya. Sachi masih terus merunduk. Ia tidak nyaman ditatap Alex seperti itu. Sesekali ia bergumam. "Aku hanya ingin mencari keadilan," ucapnya lemah. Alex mengangguk, dengan kurang ajarnya dia meletakkan tangan di bahu Sachi. Ia juga terkesan mendorong wanita itu ke satu tempat. Alex ingin mengacak Sachi bicara lebih intens. "Lepaskan!" Sachi menggeliat tidak suka. Tatapannya sangat marah. "Ternyata kau wanita yang pemberani." Alex mengeratkan rahang Sachi di antara kedua jemarinya. Pria itu nampak tidak suka dengan tingkah Sachi tapi juga sangat tertantang untuk membalasnya lebih liar. Alex mendekat kearah Sachi sembari membisikkan sesuatu. "Kau tidak perlu membayar. Tetapi dengan satu syarat. Yaitu temani aku malam ini." seringai pria itu. Sachi tahu konteks menemani yang Alex maksudkan. Tiba-tiba saja bulu romanya berdiri. Peringatan bahaya berkali-kali Sachi rasakan dalam benaknya. Tidak, ini lebih kotor dari tawaran Akira kemarin. Seenggaknya lelaki itu mengajaknya menikah, bukan. Lagipula.., Sachi tidak bisa membayangkan melalui malam panas dengan pria yang tidak ia kenal itu. Matanya melotot tajam. Segera Sachi menendang millik Alex keras. Lantas ia berlari bagai orang kesetanan "Tunggu, kau tidak bisa pergi!" Saat itu.., ia merasa hidupnya sudah di ujung tanduk. Tapi bodohnya ia tidak ingin menyerah begitu saja. Kembali otaknya berfikir untuk lebih baik kembali pada Akira. "Hah.., Hah..," Ia merasa sudah jauh berlari. Bahkan nafasnya terasa ingin putus. Semoga saja pria tidak bermoral itu tidak mengejarnya lagi. Dan ia berharap Alex tidak mengejarnya sampai rumah. Sachi tahu penguasa seperti Alex bisa saja menemukan rumahnya dalam sekali jentikkan jari. Sachi pulang setelah larut. Ia sengaja memutar jalan Jakarta supaya Alex tidak bisa mencium letak tempat tinggalnya. Beberapa hari ia juga tidak bekerja, lagi juga Sachi tidak peduli dengan pekerjaannya itu. Cepat atau lambat, ia pun akan menanggalkan statusnya sebagai psikologis klinis. Namun, kondisi Zero terus saja mengganggu perasaannya. Ia sangat ingin tahu keadaan anak itu. Tapi juga terlalu candala bertemu kembali. Pagi hari, Sachi memutuskan pergi ke rumah panti. Ia merasa dirinya harus melihat keadaan Zero dari jauh. Dan benar saja, anak itu terlihat murung sembari memegang mainan robot-robotan yang ia hadiahi. Sachi menangkup mulutnya. Melihat Zero sesedih itu seolah mengingatkan dia pada luka lamanya. Ia fikir, dirinya sudah baik-baik saja dan sudah bisa memaklumi kejadian belasan tahun yang lalu. Tapi nyatanya ia salah, Sachi masih merasa begitu sakit ketika melihat anak kecil bernasib sama dengannya. "Sachi." Suara Bu Zakiyah memanggilnya. Wanita itu mengajak Sachi masuk tapi Sachi menolak. "Tidak usah, saya disini saja." Nyatanya Zero sempat melihat dirinya. Anak itu segera berlari kearah Sachi. "Tante, gimana keadaan mama?" tanyanya polos. Sejak kemarin Zero selalu menanyakan mamanya. Tapi sayangnya Zakiyah tidak bisa membantu menjawabnya. Zero jadi berfikir mungkin tante yang membawanya kemarilah yang tahu keadaan mamanya. Air mata Sachi jatuh tanpa komandonya. Cepat-cepat ia menghapusnya. Sachi terjongkok agar sejajar dengan Zero "Nak, Ma.., mama.. baik-baik saja." Ahk, akhirnya ia malah memilih berbohong. Sachi menutup mata kilat, "Kalau begitu aku boleh ketemu mama gak?" tawar Zero polos. Setiap kedipan matanya membuat Sachi ingin memarahi dirinya sendiri. 'Bodoh! Kenapa kemarin aku sangat gampang dibohongi. Semestinya malam itu aku melindungi Delia, bukan memintanya untuk pulang.' Tubuhnya jadi bergetar segera Sachi merangkul Zero erat. Bibirnya ingin mengatakan maaf. Tapi ia juga tidak kuasa bicara sejujurnya. Sampai sore pun Sachi terus mengelak setiap pertanyaan yang Zero berikan. Ia malah mengajak Zero berfikir ke hal lain. "Sayang, kalau kamu jadi anak tante, mau gak?" Sachi membuat dirinya terlihat seceria mungkin. Ayoklah.., ia bisa kok jadi ibu yang baik. Meski gak punya pengalaman merawat anak. Tapi dia,'kan bisa belajar setiap harinya. Sayang, Zero menolaknya tegas. Hari demi hari Zero lalui tanpa kabar dari ibunya. Ia sama sekali tidak diberi tahu kalau jasad ibunya sudah jadi abu dan tenang di alam sana. Sachi juga masih terus melihat keadaannya, tapi bukannya merasa lebih baik. Ia malah merasa sangat tertekan. Puncaknya, Sachi memilih menulis surat pengunduran dirinya dan menyerahkan ke pusat. "Sac, lo yakin mau keluar?" tanya Savana merasa kehilangan. Memangnya ada apa. Apa yang terjadi dengan rekan kerjanya itu. Bukankah Sachi sangat menyukai profesi ini Sachi cuma tersenyum samar. Ia juga menunduk sopan ke arah Astri. "Gue harap lo berdua bisa terus bertahan ada disini. Saat ada pasien datang, tolong sekali lihat mereka secara objektif. Jangan memakai pengalaman pribadi dan membawanya untuk memecahkan masalah. Karena tiap orang punya kehidupan yang berbeda," ucap Sachi menasehati. Hidupnya semakin rumit. Ia sampai tidak mampu menelan makanan setiap membayangkan bagaimana kejinya Luke menikam Delia. Flashback Off Dan disinilah dia sekarang... Menyerahkan dirinya kepada laki-laki yang baru dua kali ia temui. Namun anehnya hati kecilnya begitu percaya kepada Akira. Akira tertegun. Ia belum bisa memberi jawaban meski Sachi sudah cerita. Ia sedang berfikir.., mengapa ia dan suami wanita itu sama. Mereka sama-sama membunuh sang istri. Bagaimana kalau Sachi tahu, apa ia juga akan membenci dirinya sedalam itu. Akira bisa lihat api dendam yang terpancar dari mata Sachi Dan entah mengapa itu membuatnya sedih. Perbuatannya yang menyia-nyiakan kesempatan juga tidak bisa dibenarkan. Ia memang tidak membunuh istrinya secara langsung. Tapi karena keteledorannya wanita yang ia kasihi harus pergi selamanya. Akira tahu, ia paham cara kerja rasa bersalah menggerogoti hati. Jadi secara alami ia memahami perasaan Sachi Sachi kembali memandang Akira. "Tolong, kejadian ini sudah berlalu sebulan yang lalu. Tapi polisi belum juga mengungkap kasusnya. Aku gak mau kematian Delia di lupakan begitu saja tanpa ada peneggakkan keadilan." "Tapi kamu juga tahu,'kan. Mencari satu orang di dunia ini pasti sangat sulit. Apalagi kamu bilang dia warga negara asing. Bagaimana kalau dia sudah menghilangkan jejaknya?" Sachi menggeleng. Ia sudah mencari tahu tentang itu. Dan dia pastikan kalau Luke masih ada di sekitaran Zero. Menurut pengalamannya, pria dengan gangguan mental seperti itu biasanya tidak akan melepaskan miliknya begitu saja. Jadi, tinggal menunggu ia mencari putranya, dan semoga saat itu terjadi Sachi sudah bisa meyakinkan Akira untuk membantunya berbuat kriminal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD