Part 9. Aku ingin kau yang jadi imbalannya

1063 Words
"Tawaran kekebasanku sama sekali tidak menguntungkan bagiku. Kalau kamu butuh aku, pastinya kamu memang harus mengeluarkan aku dari sini, bukan?" Rentetan alasan Akira kemuka,'kan. Sachi jadi menyipitkan matanya. Akira benar, oke. Biar dia ganti hadiahnya, bagaimana kalau sejumlah uang yang banyak? "Dua ratus juta!" Sachi membuka penawaran untuk Akira. Tapi Akira malah tersenyum remeh. "Apa maksudmu?" "Dua ratus juta untuk imbalan membantuku menangkap pembunuh itu," sahut Sachi yakin. Tidak masalah baginya uang yang selama ini ia simpan harus habis karena mengungkap kebenaran untuk Delia. Bagi Sachi, nilai itu sepadan dengan rasa bersalahnya. "Tidak, itu terlalu sedikit!" Sachi terangga, gak disangka. Akira sangat mata duitan, apa dia coba cari orang lainnya, sialnya ia sudah terlanjur menawarkan kerja sama ini ke Akira. Bagaimana kalau ia sampai berkicau ke orang lain. Akira terlihat akrab dengan para sipir. Bisa saja,'kan dia bicara tentang ini ke para polisi itu. "Tiga ratus juta," Sachi mengepal tangannya. Cukup, nilai segitu baginya cukup besar mengingat bagaimana cara dia mengumpulkan uangnya sedikit demi sedikit. Kalau saja Akira sampai menolaknya kembali, mungkin Sachi akan membunuh pria itu. Nafasnya tersengal karena marah, ia terus menanti apa Akira mau menyetujui kerja sama ini. 'Cih, apa sih yang dia fikirkan,' kesal Sachi dalam hati waktu melihat Akira mengetukkan jarinya di dagu. "Aku tidak mau," ucap Akira setelah berfikir. Apa, uang tiga ratus juga dan lelaki itu tetap tidak bersedia. Memangnya berapa lagi yang dia inginkan. Lima ratus juta? Bagaimana kalau kita adu gelud saja. "Aku tidak mau bayaran dalam bentuk uang." Sachi terlonggo. Ah, jadi sejak tadi ia telah salah duga. Akira bukan orang yang serakah akan harta. Matanya jadi berkaca-kaca. Memang benar, tidak baik menilai seseorang secepat itu. "Aku mau bayaran dalam bentuk lain." Akira tersenyum tipis. Sangat tipis sampai Sachi tidak menyadari ada rencana lain yang berkilatan dari balik matanya. "Apa?" tanggap Sachi berdebar. Ia sampai mengepal tangannya di dada Akira mendekati cuping telinganya untuk berbisik. "Tapi nikahilah aku. Aku ingin kamu yang jadi bayarannya. Aku ingin memilikimu, kau tahu.., melihatmu duduk disini dengan rok mini membuatku ingin bercinta saat ini juga. Ah, biasanya aku tidak seperti ini. Tapi denganmu aku bisa lepas kendali." Kemudian Akira meniupkan udara ke telinga Sachi. Seluruh wajah Sachi memerah karena marah. Lelaki itu dengan entengnya melecehkan dirinya. Akira memang tidak melakukan apapun. Bahkan ia tidak menyentuh Sachi seujung kuku pun. Tapi, ucapannya membuat jantung Sachi semakin terpompa seolah bisa meledak Ia menatap murka. Bibirnya mengatup kuat ingin marah. Tapi Akira mengisyaratkan untuk diam. "Aku akan kembali ke sel. Silahkan fikirkan tawaranku itu. Kalau kamu sudah ada jawabannya. Kau boleh lagi datang kemari." Ia berdiri seraya bertolak pinggang sangat angkuh. Sachi hanya bisa mendesah kesal. Sebelum kembali ke selnya. Akira menumpuhkan lengannya di meja. Sekali lagi ia ingin membisikkan Sachi tapi kali ini tepat di wajahnya. "Dan aku harap bisa mendengar jawaban 'Ya' keluar dari bibirmu." Jempolnya menyentuh bibir bawah Sachi. Kemudian lelaki itu pergi tanpa rasa bersalah Sachi terangga. Apa yang barusan lelaki itu katakan. Ia sendiri tidak sadar dengan tingkahnya. Terlalu putus asa mencari bantuan Sachi bahkan sampai lupa kalau Akira itu pria begundal yang pernah ia kenal. Tapi nasi sudah menjadi bubur, ia tidak bisa lagi menarik diri kembali ke awal. Sachi jadi menggigit kuku-kukunya resah. Ah, gara-gara masalah ini ia jadi harus berurusan dengan iblis jantan macam Akira. Menyebalkan! *** Akira kembali ke sel. Dia jadi tersenyum tidak menyangka bisa menggoda Sachi sejauh itu. Akira masih ingat betapa angkuhnya Sachi sewaktu kasus Hideo. Dan sepertinya harga diri adalah hal utama bagi wanita itu, disaat harga dirinya terluka apa yang menjadi reaksinya. Yah, Akira cuma mau menurunkan sedikit ego Sachi. Beberapa hari kemudian, Sachi sama sekali tidak menjenguknya disini. Meski Akira tahu pasti jawabannya 'tidak bersedia' tapi tetap saja ada kalanya ia menanti jawaban Sachi. Semua itu mungkin karena dirinya tidak ada kerjaan lain di sel. 'Mikir apa sih, Akira.' Ia jadi memandangi bulan purnama bersama seorang temannya. Dony, pemuda itu nampak putus asa. Ia putus asa karena jauh dari kekasihnya, rasa rindu yang membuatnya cemas. Akira jadi berfikir, apa rasa cemas yang bertengger di dadanya juga karena dia merindukan Sachi. Ah, mana mungkin! Tidak lama kemudian, Dony bebas. Kini Akira hanya sendiri di sel. Perasaannya jadi sedih. Baginya tempat ini bukan cuma tempat mengajarkan seseorang untuk kembali ke jalur yang benar. Tapi tempat ini sudah seperti rumah dengan banyaknya saudara. Ketika satu persatu orang yang menemaninya selama ini pergi, hati kecilnya merasa hampa. Akira tahu, tidak lama lagi pasti akan ada orang baru yang mengisi ruang kosong. Tapi... "Akira. Kamu ada tamu," ucap salah satu sipir jaga. Akira jadi berdebar. Ia merasa orang itu Sachi, tiba-tiba saja ia grogi. Ah, kenapa sih. Apa karena dirinya terlalu lama tidak melihat wanita? Benar saja, wanita yang datang dengan gaun terusan kuning itu adalah Sachi. Wanita itu nampak lesu. Bahkan ada kantung mata di bawah kelopaknya. Akira menduga Sachi jadi jarang tidur lelap. Apa semua ini karena ucapannya tempo hari. Perasaannya jadi sedikit bersalah. Sachi mencoba mengukir senyum ikhlas. Ia mengangguk pelan. "Apa?" selidik Akira mau tahu. "Aku bersedia," katanya lemah. Jawaban Sachi sangat di luar ekspetasinya. Wanita itu juga terlihat begitu berbeda dengan dirinya, ia bukan Sachi yang Akira kenal semula. Tidak ada keangkuhan yang terpancar dari sorot matanya. "Aku bersedia menikah denganmu," ulang Sachi menyakinkan Akira yang termanggu. Akira semakin mendelik kaget. Tidak, ini tidak lucu. "Kau sedang bercandakan?" Sachi menggeleng. Wajahnya tertunduk. Ada linangan air mata yang jatuh di atas meja. Itu membuat perasaan Akira semakin sakit. Pelan Sachi mengangkat wajahnya. Tatapan sendunya seolah mampu mengobrak-abrik d**a Akira "Tolong jangan menolakku lagi. Ayok kita menikah. Setelah itu kita mencari pembunuhnya," lirihnya lembut. Akira tidak menyangka Sachi sampai rela mengorbankan diri untuk ini. Sebenarnya siapa pembunuh itu, apa yang terjadi.., dan siapa yang dibunuh? Akira mengganti posisinya jadi di samping Sachi. "Apa aku boleh tahu kejadian yang sebenarnya?" Sachi berdehem, kayaknya dia memang harus cerita seluruhnya. Mungkin dengan begitu mata hati pria itu terbuka untuk ikut menolong. Kata orang, tidak ada orang yang terlahir jahat. Adanya hanya orang yang tidak memiliki kesempatan untuk memahami kehidupan. Jadi sekitar satu bulan ini Sachi terus mencari cara agar kasus ini terungkap tanpa bantuan Akira. Flashback On Sesampainya di rumah. Ia mengeram marah. Bisa-bisanya Akira meruntuhkan harga dirinya segampang itu. Apa dia fikir, dirinya sangat hebat. Belum tentu juga ia orang yang tepat yang bisa dimintai tolong, bukan? "Kayaknya aku memang harus cari orang lain nih," rancaunya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD