Prolog

1162 Words
Pria muda itu bergegas masuk hotel setelah memberikan kunci mobilnya kepada petugas valet. Namanya Alvino Chakra Iskandar, panggil saja dia Alvin. Pagi ini tubuh tegapnya sudah rapi dengan kemeja berwarna biru laut bermotif garis halus. Meski tanpa jas dan dasi Alvin tetap terlihat gagah. Apalagi ditopang dengan tubuhnya yang tinggi dan tegap. Jambang yang terkadang dibiarkan tumbuh, kali ini dicukur hingga bersih. Membuat rahang kokohnya semakin menonjol dan tentu saja menambah kadar ketampanannya. Entah dia mendapatkan darimana gen yang membuat wajahnya terlihat seperti blasteran, padahal orang tuanya sama-sama berasal dari Sumatra. Namun Alvin memiliki warna kulit kecoklatan khas laki-laki Indonesia pada umumnya. Hari ini Alvin tidak ingin terlambat semenit pun dalam acara penting, di hotel tempat dia memijakkan kaki jenjangnya beberapa detik yang lalu. Sahabat karibnya sesaat lagi akan diresmikan sebagai General Manajer sebuah perusahaan tempat dia dan juga kedua sahabatnya yang lain--Dastan dan Fandi--bekerja selama hampir enam tahun ini. Sebuah perusahaan yang bergerak dibidang produksi dan ekspor kayu lapis dari bahan baku kayu sengon, dengan nama perusahaan PT. Natanegara Plywood. Tbk, atau biasa disingkat dengan nama eN plywood. Posisi Alvin sendiri saat ini di eN Plywood adalah sebagai Manajer Produksi, menggantikan posisi Dastan yang telah naik jabatan dua bulan yang lalu menjadi General Manager. Ponsel Alvin berdering tepat saat dia sedang berdiri menunggu pintu lift terbuka. Di layar android keluaran tahun 2014 milik Alvin, tertera Id call nama Fandi yang sedang berusaha menghubunginya. Ketika menerima panggilan telepon dari Fandi, Alvin sengaja membalikkan tubuhnya untuk melihat ke arah pintu hotel, karena di telepon Fandi memintanya agar menunggu sebentar dan mengajak ke tempat acara serah terima jabatan bersama-sama. Niat Alvin membalikkan badan hanya ingin memastikan apakah Fandi sudah berada di sekitaran hotel atau belum. Saat Alvin memutar badan, detik itu juga tubuh dengan tinggi badan lebih dari 180cm itu ditubruk oleh seorang perempuan berjilbab, yang hanya memiliki tinggi badan standar perempuan Indonesia pada umumnya. Perempuan tersebut sedang berusaha mengejar pintu lift yang hampir tertutup, sayang sekali langkahnya kalah cepat dengan gerakan pintu lift yang telah tertutup rapat. Langkahnya yang setengah berlari berhenti seketika itu juga dan tak elak lagi menubruk tubuh tinggi laki-laki yang sedang merapatkan ponsel di daun telinganya. "Apaan ini, panas banget?" Alvin memekik di antara rasa nyeri akibat ditubruk dan juga kepanasan, karena bagian depan tubuhnya kini terkena tumpahan teh panas yang dibawa perempuan yang menubruknya. Cairan panas itu menembus kemeja dan kaus dalam milik Alvin, bahkan hingga menyentuh kulit perutnya. Namun sayang, sebelum Alvin hendak menegur orang yang menubruknya, perempuan tersebut sudah melanjutkan langkah tergesanya menuju tangga. "Mitha, saya duluan, tolong urus masalah ini ya!" ucap perempuan tersebut dengan setengah berteriak, kepada gadis mungil yang saat ini sedang berdiri berhadapan dengan wajah dingin Alvin. Perempuan berjilbab yang telah menubruk Alvin tadi melanjutkan kembali langkahnya tanpa merasa bersalah sedikitpun dan juga sebelum Alvin sempat berkata apa pun kepada perempuan itu. Alvin hanya bisa merekam dengan baik wajah perempuan yang telah menubruknya, fix Alvin menganggap wajah perempuan tadi songong. "Buat apa?" tanya Alvin dengan dingin, saat gadis yang dipanggil Mitha oleh perempuan berjilbab tadi tiba-tiba menyodorkan dua lembar uang seratus ribuan kepada Alvin. "Bu-buat ganti ru-rugi Mas. Ma-maafin bos saya, ya. Ka-kami me-memang sedang terburu-buru," jawab gadis itu dengan terbata-bata karena ketakutan mendapatkan tatapan tajam dan menusuk dari Alvin. "Bilang sama bos lo! Gue nggak butuh duit recehnya. Nih, balikin ke dia untuk biaya sekolah kepribadian, biar dia tau caranya meminta maaf dan bertata krama," tukas Alvin tetap dengan nada dingin dan wajah datarnya. "Ta-tapi Mas. Terima aja Mas, saya mohon. Saya nanti di-dipecat kalau ketahuan nggak nyelesein masalah ini." Mata gadis itu mulai berkaca-kaca. Tak lama kemudian seseorang menghampiri Alvin, seseorang yang tadi menghubungi Alvin, sebelum insiden teh panas terjadi. "Kenapa bro?" tanya Fandi sambil menepuk pundak Alvin. "Bosnya nih cewek udah nubruk gue, numpahin kemeja gue sama teh panas, nggak minta maaf malah ngasih gue duit." Fandi menatap bagian perut Alvin dengan iba, sambil menggelengkan kepalanya, tak ketinggalan dengan berdecak yang membuat Alvin semakin kesal. Kemeja Alvin yang awalnya berwarna biru laut dengan motif garis-garis halus itu, kini memiliki noda berwarna kecoklatan bekas tumpahan teh. "Udah lah, diterima aja duitnya. Nih, pakek jas gue buat nutupin kemeja lo. Ayo buruan, Dastan udah bolak-balik telepon ini, berisik, kayak nenek-nenek kehilangan gigi palsunya." Fandi menarik uang yang berada di tangan Mitha, lalu merangkul pundak Alvin dengan setengah menyeret hingga memasuki lift. "Lo nggak liat tadi, tampang songongnya pas habis nubruk gue," ucap Alvin masih kesal seraya mengenakan jas milik Fandi. Untung ukurannya pas di tubuh Alvin yang memang lebih tinggi dari Fandi. "Sama dong kayak elo, tampang lo kan juga kadang songong. Jodoh lo kali." "Kambiang!" "Ha ha ha .... ")" Bukannya tersinggung, Fandi malah tertawa terbahak menerima makian dari sahabatnya itu. *** Mitha bergegas menyusul bosnya ke meeting room yang disediakan khusus oleh hotel ini. Tempat Meidina, bosnya yang seorang desainer pakaian muslimah sedang melakukan presentasi hasil rancangannya. Saat gadis tersebut masuk, Meidina terlihat fokus mempresentasikan materi rancangannya yang akan diikutkan di ajang New York Fashion Week, di depan para klien yang akan mensponsori acara peragaan busananya beberapa bulan lagi. Tema rancangannya kali ini adalah Muslimah Last ummer. Busana yang akan di pamerkan di atas panggung catwalk, berupa pakaian muslim wanita modern dengan model, bahan dan warna-warna yang cocok di musim panas. Mitha tersenyum lega, saat Meidina menyelesaikan presentasinya dengan baik dan lancar pastinya. Semua yang berada di ruangan ini memberikan tepuk tangan bangga diringi senyum puas terhadap presentasi hasil rancangan Meidina. Setelah klien yang akan kerja sama dengan Meidina satu persatu meninggalkan ruangan, Mitha mulai membereskan barang-barang milik bosnya. "*Uni hebat. Mitha bangga sama ni Mei." "Terimakasih ya, Mit, kamu juga sudah banyak membantu saya selama ini. Tolong teh saya dong." Mitha mengambilkan gelas plastik berukuran setengah liter berisi teh, yang isinya tinggal separuh. "Udah dingin, tolong pesanin yang baru ya. Yang ini dibuang saja." "Biar aku aja yang minum, Ni." "Oya, aku udah kasih uang dua ratus ribu ke orang yang ni Mei tubruk tadi, sebagai ganti rugi." "Trus, dia bilang apa?" Mitha ragu untuk menjawab. Dia tidak mungkin menyampaikan apa yang laki-laki tadi ucapkan pada bosnya. Yang ada Meidina akan naik pitam dan Mitha yakin masalahnya akan menjadi semakin runyam. "Nggak bilang apa-apa, dia buru-buru kayaknya. Habis terima duit langsung masuk lift." "Tck, Laki-laki, kalau nggak lihat perempuan ya duit, pasti langsung lemah. Pura-pura keburu lagi. Padahal dia itu tadi lagi santai saja munggungin lift sambil teleponan, sampai tidak sadar kalau pintu lift sudah terbuka, bahkan udah tertutup kembali. Kalau memang keburu, seharusnya kan fokus menunggu sambil menghadap ke pintu lift." Yang dikatakan Meidina tidak semuanya benar, tapi akan selalu benar bagi Mitha. Dia tidak berani lagi membantah perkataan Meidina. Mitha memilih pergi memesankan teh hangat untuk Meidina. Karena hanya teh hangat dan tidak terlalu manis, yang selalu bisa mendinginkan pikiran seorang Meidina yang sedang panas. --- *Uni=sebutan untuk kakak perempuan di Padang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD