Ciyek (Satu)

1672 Words
Aku menganggap Perjodohan adalah sebuah awal dari kehancuran hidup bebasku. -Alvino- ~~~~~ Pandangan Alvin menerawang ke samping kaca jendela bus yang sedang ia tumpangi, menatap kosong kendaraan keluar masuk di kapal yang sedang bongkar muatan. Setelah sekitar setengah jam mengantre di dermaga tiga pelabuhan Merak, bus yang ditumpangi Alvin dari Jakarta menuju Padang memasuki kapal milik perusahaan plat merah. Kapal ini memiliki dua tingkat deck khusus untuk kendaraan, deck paling bawah digunakan untuk mengangkut kendaraan besar seperti bus dan truk. Sedangkan di deck kedua digunakan untuk mengangkut kendaraan pribadi seperti mobil dan sepeda motor. Alvin keluar dari bus bersama dengan penumpang lain. Dia tidak mungkin menghabiskan waktu dua jam hanya duduk saja di dalam bus. Alvin memutuskan untuk berkeliling di sekitar kapal terlebih dahulu, sebelum kapal mulai berlayar ke tengah Selat Sunda. Alvin duduk di bagian terluar kapal, dia ingin menikmati laut lepas, jika beruntung bisa melihat pemandangan Anak Gunung Krakatau. Saat sedang menikmati pemandangan beberapa pulau kecil yang terletak di selat ini, di antaranya pulau vulkanik Krakatau, ponselnya berbunyi bip satu kali. Ada pesan w******p masuk dari Fandi. Haffandi Alam: Bro, lo lewat JSS atau naik kapal? Alvino Chakra: Gue bukan Ichthyo Sapiens. Lo lupa proyek 100T itu nggak dilanjutin? Haffandi Alam: kali aja lo bosen jadi manusia normal. Alvino Chakra: s***p! Haffandi Alam: jangan lama2 lu nyet di kampuang, tar dikawinin nyahok lu! Alvino Chakra: dikawinin kalau sama uni-uni macam BCL maulah mak. Ngakak... Haffandi Alam: ngarep banget lo dinikahin BCL? Merana gue sendirian long weekend gini. Si Dastan keburu insyaf, bangke emang tuh anak. Makin gila abis balik dari Jember. Alvino Chakra: makanya man, buru tobat, trus belajar jatuh cinta lo, biar paham apa yang dialami Dastan. Haffandi Alam: taeee...kayak lo ngerti juga sama cinta. Dah ah gue sibuk nih, mau siap-siap. Alvino Chakra: pe'ak! lo yang wa gue duluan, lo yang bilang sibuk. Gue tenggelamin juga lu Lam! Haffandi Alam: punya gue tuh, kena royalty entar lo! Alvino Chakra: seraaah lu dah. Gue mau karokean duyu. Daaah... Haffandi Alam: anjiiir...ada gitu di kapal? Alvino Chakra: ada lah, makanya lu sekali-kali naik kapal sini sama kakak. Haffandi Alam: nggak mau om, saya mabuk laut om. Mending saya mabuk whisky aja daripada mabuk laut. Alvino Chakra: taiiik... Gue dipanggil om, trus lu apa? Embah? Haffandi Alam: dedek aja deh om. Alvino Chakra: jijik Fan. Minggat sono lu! Tidak ada balasan lagi dari chat absurd Fandi. Alvin masuk ke bagian dalam kapal. Embusan angin yang dirasakan tubuhnya sudah mulai terasa semakin kencang, karena saat ini kapal sudah berada di tengah lautan. Sekitar hampir tiga jam, Alvin kembali memasuki bus yang ia tumpangi, karena kapal sebentar lagi akan merapat di Pelabuhan Bakauheni. Alvin terus berpikir apa yang ada di benaknya saat memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya di Solok, Sumatera Barat. Kenapa dia baru merasa sekarang bahwa hal tersebut merupakan keputusan paling bodoh yang pernah ia ambil selama ini. Padahal saat Hari Raya Idul Fitri saja, belum tentu ia bisa pulang. Lebih tepatnya tidak mau pulang kampung. Sekarang, lebaran haji yang libur kantornya hanya satu hari saja, dia bisa-bisanya menyanggupi untuk pulang kampung. Memang dari dulu jika disuruh memilih, Alvin lebih memilih menunggui kota Jakarta, menjaga perumahan tempat ia dan adiknya tinggal atau mengunjungi berbagai tempat untuk travelling, selama masa panjang libur lebaran daripada harus bertemu dengan keluarga besar dari pihak mendiang mandeh-nya di Padang. *** Selesai melaksanakan solat ied, semua anggota keluarganya mulai berkumpul, beserta niniak mamak, semuanya ada di Rumah Gadang milik Haji Syarif, tungganai-nya. Hampir sebagian besar keluarga dari pihak mandeh Alvin telah hadir di dalam rumah ini, yang sekarang telah dibuat menyerupai sebuah aula. Semua barang dipindahkan keluar sehingga ruangan besar ini terlihat kosong melompong. tapi ia tetap bersikap ramah dan sopan terhadap siapa pun yang ada di sana. Dari sekian orang yang hadir hanya beberapa yang Alvin kenal baik saat ini, salah satunya mamak-nya sendiri, paman dari pihak ibunya. Dialah Nurahman, mak angah yang merawat Alvin dan Silvia adiknya selama ini, semenjak orang tuanya meninggal ketika Alvin baru menyelesaikan pendidikan di bangku Sekolah Menengah Pertama. Mak angah adalah adik kandung Nuraini, mandeh Alvin, yang paling besar. Setelah Nuraini wafat, seluruh tanggung jawab membesarkan kedua anak Nuraini beralih ke tangan Nurahman, mak angah-nya. Tanggung jawab merawat kemenakan (keponakan) dari saudara perempuan jauh lebih besar, daripada merawat anak kandung sendiri dalam adat budaya Minangkabau. Itulah sebabnya, dulu Alvin dibawa ke Jakarta ketika orang tuanya meninggal dunia, agar bisa diasuh oleh mamak-nya, karena Nurahman saat itu sedang tinggal dan mempunyai bisnis di ibukota negara ini. Sedangkan Silvia adik perempuan Alvin tetap tinggal di Solok, bersama mamak yang lain yang biasa dipanggil mak oncu, adik paling bungsu mandeh-nya, sampai Silvia tamat Sekolah Menengah Pertama. Alvin bertanya-tanya dalam hatinya, kenapa mak angah sampai harus bersusah payah memintanya pulang ke Padang? Sayangnya, meski Alvin kesal bagaimanapun, Nurahman tak juga memberikan jawaban atas pertanyaan Alvin. Saat di Jakarta, Nurahman hanya memintanya untuk segera pulang ke Solok ketika lebaran haji karena ada yang harus dibicarakan tentang masa depan Alvin. Acara pagi ini diawali ceramah dari datuak yang bernama Datuk Marajo Pulai, yang merupakan penghulu atau pemangku adat di nagari Solok, lebih tepatnya Muara Panas kampung asal Alvin. Lalu dilanjutkan acara doa oleh buya, yang Alvin tahu bernama Haji Mansur. Beliaulah yang mengajari Alvin solat dan mengaji waktu kecil hingga beranjak remaja, sebelum Alvin mengenal ingar-bingar kota metropolitan. Memang di antara sahabat-sahabatnya, Alvin lah yang lebih mengerti soal agama, bisa mengaji dan tetap solat lima waktu di sela-sela kesibukannya di kantor. Namun Alvin tetaplah Alvin, pria metropolitan yang tak bisa jauh dari gemerlap dunia malam. Bahkan Alvin punya moto dalam hidupnya yaitu 'Dunia dan akhirat haruslah seimbang'. Acara pagi ini kemudian ditutup dengan acara ramah-tamah dan makan besar. Semua orang duduk di lantai, berjajar dan saling berhadapan. Di hadapannya sudah tersaji beraneka ragam makanan khas padang. Ada rendang, gulai cubadak, kalio ayam, sambalado tanak, pangek kepala ikan, dan masih banyak lagi yang Alvin tak ingat namanya satu persatu. Setelah acara makan besar, tibalah acara inti dari dikumpulkannya semua sanak saudara di rumah gadang ini. "Vino, ado tugas yang harus Vino emban nak, mengingat usia Vino alah cukuik matang untuk mangarati apo yang akan datuak sampaikan. Itulah alasan kami memanggil Vino jauh-jauh dari Jakarta untuk pulang ka Muaro Paneh." Perasaan Alvin mulai tidak enak. Jantungnya berpacu lebih cepat, tatapan nanarnya berserobok dengan mak angah-nya. Ia lihat Nurahman hanya bisa mengangguk bijak. Dari sorot mata orang tua itu seolah menyiratkan ucapan 'dengarkan saja dulu'. Alvin hanya tersenyum segaris melihat air muka mak angah-nya saat ini yang terlihat agak tegang. "Vino harus menyelamatkan kehormatan seorang wanita. Ia seorang wanita bermartarbat tinggi, dan yang pasti bersuku. Ia anak Sutan Tun Razak dari Bukittinggi, anak perempuan satu-satunya orang terpandang dari Luhak Agam. Mandehnyo bersuku Tanjung, abaknyo turunan sutan, Sulaiman As-Sirafi, yang tersohor. Jika indak ado yang keberatan, lapeh maghrib nanti, kaluargo besar Sutan Tun Razak akan batandang kamari." Alvin bisa langsung menangkap apa makna hal yang disampaikan oleh datuak-nya baru saja. Acara masih terus berlanjut dengan pembicaraan antara pemangku adat dan para tetua kampung dengan menggunakan bahasa Padang yang tidak banyak Alvin mengerti arti dari pembicaraan itu. Alvin lebih memilih keluar dari rumah gadang dan menuju pematang sawah yang menghadap langsung ke puncak Gunung Talang. Alvin menikmati pemandangan alam yang tak tersaji di Jakarta. Masih terngiang di telinga Alvin, ucapan datuak-nya tadi. Dia harus menyelamatkan kehormatan seorang wanita? Apa itu artinya dia harus menikahi wanita itu? Tapi kenapa harus dia? Bukannya pemuda terhormat yang lain banyak di kampungnya, anak tuan tanah, anak pejabat juga ada. Setahu Alvin, keluarga mandeh-nya bukan orang terpandang, ditambah lagi bapak Alvin orang suku Nias, bukan orang Minang asli. Ya, tapi memang biar bagaimanapun, Alvin tetaplah orang Minang sejati, karena mandeh-nya adalah keturunan suku Chaniago, asli Muara Panas, Solok. Mungkin karena itulah keluarga wanita itu menginginkan Alvin. Begitu pikiran sederhananya. Wanita bermartabat dari keluarga terhormat? Alvin mengulang kembali penggalan kalimat yang disampaikan datuak tadi. Terlalu berlebihan menurut Alvin istilah yang disampaikan Datuak Marajo Pulai, seolah wanita tersebut adalah puteri dari kerajaan Sriwijaya saja. Lagi pula seperti apa juga bentuk perempuan yang begitu diagungkan oleh datuak-nya itu? Alvin tak lagi ambil pusing, dia merebahkan tubuhnya di sebuah gubuk di tengah pematang sawah, kedua tangannya dijadikan bantal untuk kepalanya. Seorang laki-laki datang menghampiri Alvin. "Assalamualaikum," sapa laki-laki itu. "Walaikumsalam ..., Uda Fahmi? Apa kabar, da?" Alvin terperanjat dari tidurnya dan memosisikan tubuhnya duduk bersila. Alvin mengulurkan tangannya dengan sopan dan mencium punggung tangan pria berusia lebih dari 35 tahun itu dengan takzim. "Kapan tiba di Padang, Vin?" "Malam Minggu, Da." Fahmi duduk bersila juga, menghadap Alvin. Fahmi adalah anak tertua dari kakak perempuan mandeh Alvin, itu artinya Fahmi merupakan kakak sepupu Alvin. "Dengar-dengar Vino dijodohkan jo urang Agam? Anak tuan tanah dan pebisnis nan tersohor?" tanya Fahmi dengan senyuman terulas di bibirnya yang kehitaman, menunjukkan bahwa pria ini seorang perokok kronis. Karena perbedaan terlihat begitu mencolok dari warna bibir dan warna kulitnya yang kuning langsat. "Saya merasa menjadi seperti Siti Nurbaya versi laki-laki, yang hidup di jaman modern," ucap Alvin dengan tersenyum kecut menanggapi pertanyaan kakak sepupunya. "Uda tau orangnya. Rancak sih Vin, pandai dan sukses di Jakarta. Tapi ada satu kekurangannya." "Oh, dia tinggalnya di Jakarta? Apa kekurangannya, Da? Mungkin bisa jadi bahan pertimbangan saya." "Dia janda." Alvin ternganga menanggapi ucapan Fahmi. Menatap Fahmi dengan dalam seolah mencari kebenaran atas ucapan sepupunya. Fahmi kemudian mengangguk sekali lagi untuk meyakinkan Alvin. "Suaminya meninggal sekitar tahun 2012 yang lalu karena kecelakaan, padahal mereka baru saja melangsungkan pernikahan. Uda tahu karena uda yang menangani saat piket di UGD sore itu." Alvin tidak mampu berkata apa pun, dia tidak memberi tanggapan lagi. Hanya diam dan mencoba mencerna rentetan kalimat yang datuak-nya tadi ucapkan. Pantas saja datuak menyebut wanita, bukan gadis, anak gadis, ataupun anak daro saat mengatakan hal penting tadi. Ternyata perempuan yang akan mendampingi Alvin adalah janda. Nista banget hidup gue, Ya Allah. Udahlah dijodohin, sama janda pula. Masih mending dijodohin, tapi sama gadis. Alvin menggerutu tidak jelas di dalam hatinya. Bahkan belum apa-apa dia sudah membayangkan berbagai hal-hal buruk yang ada dalam diri wanita yang hendak dijodohkan kepadanya. ~~~ ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD