BAB 2 |JANGAN DIAM SAJA

2241 Words
—Bicaralah, sampaikanlah, dan ungkapkanlah sesuatu yang kamu rasa perlu dikatakan. Bukan agar mereka tahu bagaimana perasaanmu, namun agar mereka sadar jika kalian sama-sama hamba Tuhan.— *** KEBAHAGIAAN yang terpancar di wajah Rahma tak kunjung memudar padahal sudah sejak pagi dia menjadi bahan gunjingan anak-anak yang entah tahu dari siapa kalau kemarin dia ikut balapan motor mengalahkan Gerald. “Ternyata, si Thomas Alva Edison ini sudah bertukar profesi jadi Valentino Rossi ya? Berani-beraninya nantangin my baby honey Gerald balapan.” Rahma teringat ledekan si anak sosialita sombong bernama Bella yang pagi-pagi tadi sudah menggemparkan seisi kelas sebab menganiaya Rahma agar tidak dekat-dekat dengan Gerald lagi. Tapi Rahma sudah kebal dengan segala caci maki, tamparan, jambakan, hinaan bahkan dikucilkan, Rahma telah terbiasa dengan semua itu. Rahma memang tidak mampu melawan, yang bisa dia lakukan hanya menangis dan memohon. Tidak masalah, Rahma akan bertahan dan mengatasinya seorang diri. Suara azan Asar berasal dari masjid sekolah. Rahma tersadar sebab panggilan tersebut. Cewek itu menggendong tasnya kemudian meninggalkan kelas yang dari setengah jam lalu sudah kosong. Rahma sengaja tidak pulang sebab ingin melihat Gerald latihan basket yang akan dimulai pukul setengah empat nanti. Suara Akbar menyerukan azan semakin terdengar jelas di gendang telinga Rahma. Akbar memang hebat, Rahma kagum pada kedalaman agama yang cowok itu punya. Selain pandai berceramah, mengaji dan azan, Akbar juga orangnya baik. Jangan salah paham, Rahma memuji bukan karena dia suka pada Akbar. Hati Rahma seutuhnya milik Gerald dan dia tidak yakin bisa berpaling ke lain hati. Rahma duduk ke kursi panjang untuk melepas sepatu, bersebelahan dengan cewek berkucir kuda yang sama sekali tidak ada anggun-anggunnya saat melepas kaos kaki dengan cara menariknya seperti menarik permen karet. “Kalau kamu lepas kayak gitu nanti kaos kakinya bisa molor.” Vanya melirik Rahma yang tidak dia sadari duduk di sampingnya. “Eh Rahma, sejak kapan lo duduk di situ? Kayak setaaan aja tiba-tiba nongol,” balas Vanya santai. Rahma mengerjapkan mata sambil berpikir, dia yakin kalau mereka tidak saling mengenal bahkan ini adalah percakapan pertama mereka tapi, kenapa cewek ini berbicara dengannya seolah-olah mereka sudah berteman sejak lama. “Ka-kamu kenal aku?” Rahma bertanya gugup. Vanya mengulum senyuman, “Semua orang juga kenal lo kali. Cewek yang suka dibully sama temen sekelasnya sendiri, isshh... parah.” Perkataan Vanya membuat Rahma menunduk sedih, apa satu sekolah memandang dia begitu? Harapan Rahma untuk memiliki seorang teman langsung sirna. Mana ada orang yang mau berteman dengan anak yang sering dibully macam dia, mereka pasti berpikir akan ikut-ikutan menjadi target pembullyan juga. Sebuah tepukan di bahu Rahma membuat cewek itu menoleh. “Tenang aja. Gue bukan temen-temen lo yang suka sakitin lo itu.” Vanya menunjukkan cengiran lebar yang memancing keluar senyuman Rahma. “Kalau kamu termasuk teman-teman aku, apa kamu juga bakal bully aku sama seperti mereka?” Pertanyaan Rahma dibalas kedikan bahu Vanya. “Well... mungkin iya.” Jawaban Vanya mengubah senyuman Rahma menjadi pahit. Walau begitu harus Rahma akui jempol kejujuran cewek ini. Penampilannya mungkin terkesan urakan, namun Rahma bisa lihat ada kebaikan di kedua matanya dan alasan itulah yang memberanikan Rahma bertanya, “Kenapa?” “Karena lo itu satu kesatuan dari kata lemah dan b**o. Sementara gue nggak suka sama dua hal itu.” Lagi-lagi jawaban yang tidak Rahma sangka keluar dari mulut cewek itu. “Kalau lo nggak seperti yang gue omongin tadi, sejak dulu lo pasti berani lawan mereka yang tanpa alasan ngebully lo. Ungkapin aja sesuatu yang lo rasa perlu untuk dikatakan. Bukan supaya mereka tahu perasaan lo gimana, tapi biar mereka juga sadar, kalau kalian itu sama-sama hamba Tuhan,” lanjut Vanya sebelum bangkit dari kursi menuju tempat wudu. Rahma merekam semua kata-kata Vanya di memori otaknya kemudian termenung saat menyadari jika dia memang benar-benar lemah dan bodoh. Andai Rahma bisa mengungkapkan semua penderitaannya pada teman-teman yang suka membullynya, mencoba membuat mereka mengerti dan berhenti membully Rahma seperti nasihat yang Vanya katakan sebelum ini. Tapi tidak bisa, Rahma tidak seberani itu mengambil resiko. Bak satu lawan seribu, Rahma jelas kalah. “Kamu bisa bicara seperti itu karena kamu nggak tahu gimana rasanya jadi aku,” teriak Rahma pada Vanya yang berjarak beberapa langkah darinya. Vanya yang hampir sampai di tempat wudu wanita menoleh, lalu mengangkat sebelah alis, “Gue emang nggak pernah jadi target pembullyan anak-anak, tapi gue pernah ngerasain jadi orang lemah dan b**o kayak lo sekarang,” ungkap Vanya, diikuti seringaian sendu yang membuat Rahma tertegun melihat ekspresinya. *** Akbar keluar dari pintu masjid setelah melaksanakan ibadah shalat Asar. Pandangan Akbar kemudian jatuh pada tiga anak cewek yang nampak mencurigakan. Salsa, Bella dan Yuni, mereka terlihat seperti seorang pencuri yang mengendap-endap mengambil sepasang sepatu milik seseorang. Mata Akbar melebar ketika Bella membuang sepatu itu ke tong sampah, bagaimana kalau si pemilik sepatu akan mencari? Akbar hendak melangkah untuk menegur tetapi gagal karena mereka lebih dulu kabur. Tidak lama setelah itu, seorang cewek keluar dari pintu masjid yang lain. Dia kelihatan bingung mencari-cari sesuatu. Akh... apa mungkin sepatu yang dibuang cewek-cewek tadi miliknya? Sadar tidak menemukan sepatunya di antara sepatu-sepatu siswa yang lain, cewek berambut panjang tergerai itu memutuskan pulang tanpa memakai alas kaki. Akbar mengambil sepatunya lantas mengejar cewek tadi. “Tunggu!” Panggilan Akbar menghentikan langkah Rahma. Rahma membalikkan badan dan terkejut ketika ada seorang cowok menghampirinya sambil membawa sepatu. “Kamu panggil aku?” Rahma bertanya setiba Akbar di hadapannya. “Ini, pakek aja!” Rahma otomatis mundur satu langkah saat Akbar tiba-tiba berjongkok sambil menyodorkan sepasang sepatu miliknya di depan kaki polos Rahma bak pangeran yang hendak memasangkan sepatu kaca di kaki Cinderella. “A-apa?” Rahma terkejut sedangkan Akbar bangkit berdiri. “Aku tadi lihat ada anak-anak iseng yang buang sepatu kamu ke tong sampah. Jadi, kamu pakai aja sepatuku.” Akbar mengulas senyum menawan. Rahma menggeleng, berusaha menolak dengan halus, “Makasih, tapi ini sudah sering terjadi kok jadi aku bakal baik-baik aja.” Dahi Akbar mengernyit, cowok itu tidak paham maksud perkataan Rahma yang mengatakan jika kejadian ini hal biasa yang sering dia alami. Akbar penasaran, tapi dia cukup tahu diri supaya tidak mencampuri urusan orang lain. “Gapapa pakai aja sepatuku. Kaki anak perempuan nggak boleh sampai lecet.” Paksaan Akbar mau tak mau membuat Rahma menurut. “Kenalin, nama aku Akbar.” Rahma menyahut tak sampai satu detik, “Iya, aku tahu kok nama kamu.” Akbar mengernyit sementara Rahma menyambung sambil mengulas senyuman, “Kamu kan anak kebanggaan sekolah ini.” Sesuatu seperti mencubit perasaan Akbar, senyuman Rahma menjadi begitu berbeda dari yang biasa ditampilkan cewek-cewek lain. Senyuman cewek yang satu ini terlihat... menarik. “Aku cuma siswa biasa kok. Nama kamu siapa?” Akbar balik bertanya. “Rahma, dari kelas IPA II-B,” sahut Rahma. “Kelas kita tetanggaan dong! Eh tapi, aku jarang lihat kamu di sekolah. Aku pikir kamu siswa baru.” Rahma refleks tertunduk dengan senyum miris yang membuat Akbar curiga. Apa dia salah bicara? Atau Rahma yang sedang mengalami kesulitan? Mulut Akbar terbuka, hampir ingin bertanya masalah Rahma, mengingkari komitmen yang dia buat agar tidak mencampuri urusan orang lain namun urung sebab Rahma lebih dulu menyela, “Aku jarang bergaul dan lebih suka menyendiri.” Kedua alis Akbar bertaut tidak paham, “Kenapa?” Bola mata Rahma berlarian mencari alasan. Serius nih Akbar tidak tahu apa-apa soal Rahma, tapi cewek yang Rahma temui tadi langsung peka siapa dia. Ah ya, Akbar kan cowok baik-baik, mana mau dia menggali informasi tidak penting seperti ini. “Karena aku suka ketenangan.” Rahma cukup bangga sebab akhirnya menemukan jawaban yang cocok dan membuat dia tidak perlu berbohong, Rahma memang suka kesunyian. “Ada baiknya berisik, keadaan itu menandakan bahwa kita tidak hidup sendirian. Sesuka apapun manusia pada ketenangan, aku yakin mereka lebih suka pada kebisingan. Tidak ada yang betah hidup sendirian di dunia ini.” Rahma tertegun dan bertanya-tanya apakah dia telah membohongi dirinya sendiri? Rahma suka ketenangan karena tidak akan ada seseorang yang mengganggunya, tapi di sisi lain dia ingin memiliki teman. Nasihat Akbar menyadarkan Rahma tentang ketenangan yang dia sukai ternyata memiliki arti lain. Rahma membutuhkan kebisingan, bukan kebisingan yang kerap berisi caci maki dan hinaan namun kebisingan yang berisi canda dan tawa. Lalu pada detik itu juga Rahma berpaling menatap Akbar dengan senyuman lebar hingga menunjukkan gigi gingsulnya. Perhatian Rahma lantas teralihkan pada seseorang yang berdiri jauh di belakang Akbar, cewek itu memandang mereka lama. Rahma hendak akan menyapa cewek itu sebelum cewek lain berseragam cheers datang dan menarik cewek itu pergi. *** Langkah kaki Vanya terhenti saat dia tidak sengaja melihat Rahma dan Akbar mengobrol berdua. Vanya tertegun, apa yang sedang mereka bicarakan sampai Rahma tersenyum selebar itu. Pandangan Rahma berpindah ke arahnya, dan tak lama setelah itu Ani tiba-tiba datang menarik pergelangan tangan Vanya. “Buruan ganti baju! Sebentar lagi latihan bakal dimulai, cepetan! Sebagai ketua cheers gue gamau terlambat latihan cuma gara-gara temen lelet gue satu ini.” Ani mengomel di sepanjang perjalanan mereka menuju kamar mandi. “Masih pukul tiga lewat lima belas menit An, gue ganti seragam juga nggak bakal sampek lima menit. Gitu aja udah ngomel.” Vanya balas berkomentar ketika dia sedang berganti pakaian di dalam toilet sedangkan Ani menunggu di luar sambil menyandar ke wastafel. Mata Ani membulat garang begitu Vanya keluar dari toilet mengenakan celana legging hitam yang dipadu padankan dengan rok dan atasan seragam cheers. “Berapa kali gue bilang, jangan pakai celana panjang kalau lagi pakai seragam cheers!” Ani memaki dengan leher berurat. Sementara Vanya hanya membalas santai, “Terserah gue lah.” Cewek itu dengan tak acuh melewati Ani keluar dari kamar mandi sambil menggendong tas sekolah di bahu kiri. Rasa kesal Ani bertambah kali lipat. Kalau aja dia nggak sedang berhadapan sama cewek monster kayak Vanya, Ani seratus persen yakin bakal tendang bokongnya sampai jatuh terjungkal ke lantai. Huft... sayangnya kalau Ani beneran ngelakuin itu terhadap Vanya, yang ada Vanya bakal balas menendangnya sampai terbang ke atas langit dan menjadi bintang. Kepala Ani menggeleng ngeri, tidak-tidak! Ani masih ingin hidup. *** Satu jam berlalu dan selama itu tim cheerleaders sibuk mendiskusikan urutan koreografi yang akan mereka tampilkan di pertandingan basket antar sekolah satu minggu ke depan. “Plis Van...” Ani memohon sembari memegang kedua bahu Vanya, “Cassie kan habis masuk rumah sakit, mana boleh dia jadi flyer. Cuma kali ini aja, ya-ya-ya?” Vanya mendengkus kesal, “Dulu, lo maksa gue ikut cheers dengan alasan gue punya kekuatan besar, cocok buat jadi base. Sekarang, saat flyer teratas kita nggak bisa ngisi bagian itu, lo nyuruh gue juga dengan alasan karena gue paling pemberani. Lo mau gue jadiin rempeyek hah!” Jurus omelan ala Vanya akhirnya muncul ke atas permukaan hingga membuat seluruh anggota cheers bergidik ketakutan. “Ja-jangan lah Van. Hehe, kita kan temenan udah dari kelas satu. Emang lo tega jadiin gue rempeyek?” timpal Ani dengan suara gemetar. Vanya mengembuskan napas lelah, mata cewek itu menatap berbagai ekspresi di wajah satu persatu anggota cheers. Dideteksi lewat wajah-wajah polos mereka saja sudah kelihatan jelas kalau memang tidak akan ada yang bisa bahkan berani mengambil posisi itu. Terpaksa Vanya harus berkorban demi tim untuk menempati posisi kosong sebagai flyer teratas menggantikan Cassie. “Gimana Van?” Ani bertanya dengan lirih. Vanya mengangguk tanpa ekspresi, respon luar biasa yang membuat seluruh anggota lainnya memekik girang. Mata Ani sampai berkaca-kaca saking terharunya, “Makasih ya Vanya.” Vanya tersenyum geli melihat reaksi teman-temannya yang seolah baru saja mendapat hadiah, padahal kan Vanya hanya menuruti permintaan Ani saja, bukan sedang bagi-bagi koin emas atau hal yang sangat berarti lainnya. Ternyata, membuat orang lain bahagia tidak sesulit yang dia kira. Beberapa saat kemudian, setelah tim berhasil menyempurnakan gerakan intro sesuai irama musik, Ani menyuruh anggotanya berpindah dari sanggar menuju lapangan basket indoor untuk melatih gerakan bersusun. Ada tiga orang yang bertugas sebagai flyer, Hanin di sayap kiri, Amanda di sayap kanan, sedangkan Vanya flyer penengah susunan paling atas. Sebelum memulai latihan sesi kedua, mereka melakukan stretching terlebih dahulu. Para flyer juga melatih gerakan aerial dan needle. Beruntung Vanya memiliki bentuk tubuh proporsional sehingga tak memerlukan banyak waktu bagi cewek itu untuk menguasai gerakan aerial dan needle meskipun masih belum cukup sempurna. Semasih di sanggar tadi, Vanya juga sempat melatih beberapa gerakan dasar yang perlu dikuasai seorang flyer contohnya bow and arrow, liberty, arabesque, shoulder stand. *** Keadaan sekolah terutama di lapangan basket beberapa hari ini nampak ramai dipadati anggota cheers dan anggota basket yang serius berlatih mencapai hasil maksimal demi nama baik sekolah di ajang pertandingan basket yang kurang tiga hari lagi akan dilaksanakan di stadion Pakansari di Cibinong, Bogor. Hari ini anak-anak cheers mengkhususkan latihan bagian ending di mana beberapa hari lalu para flyer sempat gagal karena kurang mempertahankan keseimbangan. Namun Vanya yakin kalau hari ini mereka pasti bisa sempurna. “One.. two.. three.. four.. five.. six.. seven.. eight!” Hanin, Amanda dan Vanya naik ke atas base secara bersamaan lalu melakukan gerakan bow and arrow. “One.. two.. three.. four.. five.. six.. seven.. eight!” Vanya kembali turun sedangkan Hanin dan Amanda menetap di atas dengan mengubah gerakan menjadi liberty. Setelah ini tibalah gerakan akhir di mana tubuh Vanya akan meloncat-loncat hingga berhenti di bagian teratas. Semua nyaris berjalan lancar, Vanya baru saja mampu berdiri dengan satu kaki di susunan paling atas sebelum tiba-tiba sebuah bola basket memelesat mengenai dahinya hingga membuat tubuh Vanya jatuh melayang. “Vanyaaaaaa...” Salah satu cowok pemain basket berlari menyelamatkan Vanya. Kejadian heroik yang menyita banyak perhatian sekaligus teriakan-teriakan histeris dari kaum hawa. BERSAMBUNG...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD