11. Perhatian Kecil Dari Seorang Teman

1803 Words
Adzan subuh berkumandang dari masjid di dekat rumah, membangunkan Ayu dari tidur lelapnya. Ia mengucek matanya beberapa kali, rasanya baru sepuluh menit yang lalu Ia baru berhasil tidur kembali. Ia bangkit dari tempat tidurnya dan langsung menuju ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu yang terletak di dekat dapur. Sudah bisa ditebak, Ibunya sudah berkutat dengan alat-alat masaknya dan kompor yang sudah menyala. “Pagi Bu… Ayu sholat dulu ya Bu.” “Iya Ayu.” Ayu masuk ke kamar mandi dan menyalakan kran untuk mengambil air wudhu, lalu kembali ke kamarnya untuk melaksanakan sholat Subuh. Setelah itu kembali ke dapur. Seperti biasa Ia membantu Diana membuat kue-kue basah untuk dijual atau memasak untuk sarapan pagi. “Hari ini bikin kue apa aja Bu?” tanya Ayu yang langsung duduk di samping Ibunya. Ibunya memang selalu membuat jenis kue yang berbeda setiap harinya. Biar pelanggan ngga bosen, kata Diana ketika ditanya. Diana memiliki bakat membuat berbagai macam jenis kue yang ia warisi dari Ibunya dulu, bahkan nenek Ayu pun sempat memiliki usaha toko kue kecil-kecilan di sebuah ruko yang ia sewa di pinggir jalan. Tokonya terbilang laris dan memiliki banyak pelanggan. Namun sayang usahanya saat itu mengalami kebangkrutan karena nenek Ayu jatuh sakit dan tidak ada yang mengurus tokonya ketika Diana masih berusia 14 tahun. Tidak selalu istilah “Buah jatuh tak jauh dari pohonnya” terbukti benar. Istilah itu tidak berlaku untuk Ayu. Ayu sama sekali tidak ada bakat membuat kue seperti Ibu dan Neneknya. Tetapi untuk memasak makanan sehari-sehari seperti lauk pauk sederhana, dan sayur mayur Ayu sudah lihai. Ia sudah terbiasa membantu ibunya memasak saat usianya baru enam tahun, walau hanya mengupas bawang atau memotong sayuran. “Hari ini Ibu bikin bolu kukus, arem-arem, sama sosis solo.” Kata Diana sambil membungkus sosis solo yang sudah jadi dengan selembar plastik bening. “Nih kamu lanjutin dulu ya, Ibu mau bikin adonan bolu kukusnya.” Kata Diana pada Ayu yang sudah siap menunggu perintah. “Siap bos!” “Jangan lupa cuci tangannya dulu.” Diana mengingatkan. “Oh iya, Ayu lupa.” Ayu yang sudah mau mengambil sosis solo untuk dibungkus menarik tangannya kembali dan menuju wastafel untuk mencuci tangan. Ayu membungkus sosis solo dengan telaten, tak lupa Ia tambahkan cabe rawit hijau di tengah-tengahnya. Sosis solo buatan Ibunya terlihat begitu enak dan menggoda, Ia pun mencomot satu buah dan langsung melahapnya. Kue buatan Ibunya memang tidak perlu diragukan lagi. Dagangan kue basahnya selalu laris manis dan tidak bersisa. *** Hari itu jadwal kuliah Ayu agak siang, tapi Ia berniat untuk datang ke kampus lebih pagi untuk menemui Bagus di Sekre Mapaga. Tak perlu diragukan lagi, sudah pasti Bagus berada disana. Untuk seorang Bagus Hananto yang seorang petualang sejati, tempat nongkrong yang paling menyenangkan dan menenangkan adalah di Sekre Mapaga. Di setiap waktu kosongnya di kampus Ia selalu menghabiskannya disana, entah seorang diri atau bersama teman yang lain. Seringkali Ia juga menghabiskan waktunya disana untuk tidur siang. Sebuah ruangan yang menurutnya lebih dari nyaman dengan suasana yang sejuk di bawah pohon rindang dan tidak berisik karena berada di sebelah lapangan basket yang jarang sekali dipakai oleh mahasiswa yang lain. Selain itu, terdapat sebuah hammock yang dikaitkan pada dua pohon besar di depan Sekre, sangat cocok untuk bersantai dan menikmati udara segar. Ayu berjalan keluar dari gang rumahmya dan menunggu sebuah angkutan umum yang lewat di depan jalan besar. Memang sedikit merepotkan untuk Ayu yang memiliki mobilitas yang tinggi, Ia harus ke kampus, ke kafe tempatnya bekerja, belum lagi jika Ia sudah mulai menjadi guru les untuk adik Bagus. Ayu berharap Ia bisa cepat mengumpulkan uang untuk menebus motor mio yang Ia gadaikan untuk operasi Rizal adiknya. Hari ini Rizal belum mulai masuk sekolah, sehingga Ia belum begitu pusing memikirkan bagaimana Rizal pergi ke sekolah. Tak perlu menunggu lama, bus nomor 15 jurusan kampus yang Ayu tunggu sudah datang. Ia segera menyetopnya, dan memilih tempat duduk di bagian depan dekat dengan pintu agar lebih mudah saat turun nanti. Bus pun melaju kembali. Untuk sampai di kampusnya, Ia memerlukan waktu sekitar 20 menit, cukup untuk Ia beristirahat sebentar setelah rutinitas yang padat setiap pagi. Ia menyandarkan kepalanya di sandaran kursi dan meletakkan tas ransel di pangkuannya sambil melihat ke arah luar jendela yang sedikit terbuka di bagian atas. Angin menerpa bagian atas kepalnya hingga membuat rambutnya sedikit berantakan. Masih terbayang dengan jelas ketika malam itu Ia melihat Ibunya menangis di atas sajadah. Hati Ayu begitu sakit. Ia ingin sekali menanyakannya, tetapi Ia takut itu akan membuat ibunya semakin sedih. Suasana bus semakin sesak, beberapa penumpang yang baru saja naik terpaksa berdiri, membuat Ayu harus menggeser duduknya lebih dekat ke penumpang yang duduk di sebelahnya. Terlihat seorang Ibu muda dengan perut besarnya berdiri di dekat pintu bus, tangan kanannya berpegangan pada handle grip sedangkan tangan kirinya memegang tas belanjaan. Sepertinya Ia baru saja berbelanja di supermarket jika dilihat dari merk tas plastik belanjaannya. Ibu muda itu terlihat kerepotan dan tentu saja terlihat sangat kelelahan. Ayu merasa kasihan pada Ibu muda itu, pasti dengan kondisi kehamilannya yang sudah besar itu membuat Ia cepat merasa lelah. Ia pun berdiri untuk menawarkan tempat duduknya. Ayu berasa iba karena Ia pun juga seorang perempuan. Tak menutup kemungkinan suatu saat Ia juga akan hamil dan membutuhkan bentuan. Tiba-tiba Ayu tersenyum sendiri membayangkan pemikirannya yang terlampau jauh. “Maaf Mba, duduk aja disini.” Kata Ayu berdiri dan menawari tempat duduknya. “Duh, ngga papa Mba?” “Iya ngga papa kok, saya juga udah deket.” “Makasih banyak ya Mba.” Jawab Ibu muda itu sambil berjalan berpegangan menuju kursi yang sudah kosong. “Sama-sama Mba.” Ayu menggendong tas ranselnya dan mulai berpegangan pada handle grip. *** Tidak berapa lama, bus berhenti di halte kampus karena ada beberapa mahasiswa yang akan naik. Ayu bersiap turun. Dengan pelan ia menyelinap di antara para penumpang yang berdiri karena bus yang masih sesak. Karena kurang hati-hati Ayu terperosok celah diantara pintu bus dan pintu halte yang masih menyisakan jarak. “Aduh…!” Teriak Ayu yang sedikit kaget dan merasakan sakit di bagian betisnya. “MasyaAllah…” seorang Ibu-ibu yang sedang duduk menunggu di halte pun juga ikut kaget. “Duh ngga apa-apa neng?” tanya Ibu-ibu tadi sambil berlari menghampiri Ayu yang sudah ditolong oleh beberapa orang yang juga berada di dalam bus. “Iya ngga papa kok Bu. Saya yang kurang hati-hati.” Ayu mengusap bagian betisnya yang terasa sakit. “Makasih ya Mas.” Kata Ayu kepada seorang laki-laki yang telah membantunya berdiri. “Iya Mbak sama-sama” kata pemuda tadi sambil masuk kembali ke dalam bus dan bus pun melaju kembali. Ayu menuruni halte bus yang letaknya lebih tinggi dari jalan raya. Jalannya agak sedikit pincang karena rasa sakit yang masih terasa. Kebetulan ia memakai celana katun panjang yang agak tipis sehingga kakinya terasa begitu sakit terkena goresan. “Duh, apes bener sih… mana pakai celana tipis lagi. Jangan-jangan luka nih… Ih ada-ada aja”. Gerutu Ayu sambil membersihkan celananya yang sedikit kotor. Ayu berjalan pelan menuju Sekre Mapala yang jaraknya lumayan jauh dari pintu gerbang utama. Namun rasa sakitnya ia tahan. Ia tidak mau menarik perhatian mahasiswa lain dengan cara jalannya itu. Sampailah Ayu di depan ruang Sekre Mapaga. Sebuah ruangan yang berjejer dengan ruang UKM yang lain dan letaknya yang terpisah dengan bangunan utama kampus. Tidak terlalu luas, masing-masing hanya berukuran kurang lebih 4x4 meter. Di depan ruang sekre hanya ada Doni, temannya sesama pecinta alam yang sedang bersantai di atas hammock dengan earphone di telinganya. Ayu pun sudah terlihat akrab dengan Doni karena mereka seringkali bertemu di berbagai kegiatan. “Hmm… enak ya jam segini udah santai disitu.” “Eh Ayu… kenapa tuh jalannya begitu?” tanya Doni sambil melepaskan satu earphonenya dari telinga. “Ngga papa, cuma tadi ada insiden kecil. Eh Bagus disini ngga?” tanya Ayu sambil nyelonong masuk ke dalam sekre. “Tuh ada di dalem.” Bagus sedang duduk di lantai mengerjakan tugas kuliahnya ketika Ayu mengagetkannya dari belakang. “Woooiiiiii…!!!” teriak Ayu sambil memegang pundak Bagus dengan keras. Bagus terhentak dan reflek menoleh ke arah Ayu. Wajah Bagus yang telihat lucu karena kaget membuat Ayu terbahak. “Astagaaa… bisa ngga sih ngagetinnya dipeluk aja dari belakang.” Kata Bagus dengan nada santai tanpa rasa canggung. “Idih… enak di elu dong.” “Sama-sama enak lah.” Bagus mengangkat kedua alisnya dan tersenyum genit. Melihat ekspresi wajah Bagus membuat Ayu bergidik. Ayu duduk di kursi lipat portable warna hijau yang teletak di sudut ruangan. Ia menggulung celenanya sampai dibawah lutut. Terlihat luka baret dan memar di betisnya. Bagus menoleh ke arah Ayu yang tiba-tiba tak terdengar ocehannya. “Eh kenapa betisnya?” tanya Bagus yang pandangannya langsung tertuju pada betis Ayu. Reflek Bagus langsung berdiri menghampiri Ayu. Ia meraih kotak P3K di dalam lemari kaca dan langsung bersimpuh di depan Ayu untuk mengobatinya. “Udah sini aku sendiri aja.” Kata Ayu berusaha merebut kotak P3K yang masih dipegang Bagus. Sejujurnya ayu merasa risih ada laki-laki yang bersimpuh di depannya apalagi memegang betisnya. “Eehh… udah diem deh.” Bagus langsung menarik tangannya sehingga Ayu tak bisa merebutnya. Ayu hanya bisa diam dan menuruti perkataan Bagus. Bagus memang anak yang perhatian dan paling cekatan ketika terjadi sesuatu pada teman-temannya apalagi saat melakukan pendakian. Karena itulah ia dipilih menjadi ketua Mapaga. Bagus membersikan darah kering yang masih menepel di betis Ayu lalu mengobatinya dengan membubuhkan obat luka pada bagian yang lecet serta obat memar di bagian yang memar. “Makasih ya.” “Iya sama-sama. Ngomong-ngomong kenapa tuh?” tanya Bagus sekali lagi karena masih penasaran. “Ngga papa, tadi cuma keperosok waktu turun dari bus.” Jawab Ayu sambil membetulkan celananya. “Naik bus? Emang motonya kemana?” tanya Bagus lagi. Mendadak Ayu bingung harus jawab apa. Ia terdiam beberapa detik. “Ada, lagi di bengkel.” Jawab Ayu berbohong agar tidak menimbulkan pertanyaan lain. “Ya udah nanti kalau les ke rumahnya bareng aja sekalian sama aku. Lagian kamu juga belum tau kan rumah aku dimana.” Usul Bagus. Ayu pun mengiyakan. “Oke. Berarti jadi hari ini ya mulai lesnya? Hari ini aku kelar kuliah jam satu.” “Oke… atur aja.” Bagus kembali melanjutkan mengerjakan tugas. Sedangkan Ayu memilih untuk tetap duduk di kursi lipat portable sambil menunggu waktu kuliah. Ia mengambil telepon genggamnya di dalam tas ransel dan mengetikkan sesuatu. Bu Ayu hari ini udah mulai ngajar les adiknya Bagus. Mungkin kalau ngga keburu pulang ke rumah, Ayu langsung berangkat kerja ya Bu. Tak berapa lama telepon genggamnya berbunyi menandakan ada pesan pesan yang masuk. Dari “My mom” Iya Ayu… semoga lancar ya hari ini. Jangan lupa makan siang. Beres Bu… kalau soal perut sih kayaknya ngga akan lupa, hehe…
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD