12. Kehangatan Di Dalam Rumah Mewah

1969 Words
Sebuah motor Kawasaki Ninja warna Merah baru saja terparkir di halaman rumah yang cukup luas dengan pintu gerbang yang tinggi berwarna putih. Di depannya berdiri dengan kokoh sebuah bangunan rumah dengan dua lantai yang menghadap ke utara. Menyajikan pemandangan gunung berapi yang begitu indah jika dilihat dari lantai dua rumahnya. Ayu turun dari motor dan melepaskan helm yang Ia pinjam di sekre Mapaga. Kebetulan ada dua helm yang sudah lama tergelatak disana yang entah milik siapa. “Yuk masuk.” Ajak Bagus setelah memarkir motornya. Ayu membuntuti Bagus yang masuk lewat pintu samping. Dari pintu samping itu ia melewati sebuah kolam ikan dengan berbagai macam jenis ikan hias dan sebuah taman kecil di sisi bangunan yang langsung menuju ruang keluarga miliknya. Terlihat ruangan yang luas, bersih dan mewah dengan lampu kristal yang menggantung di void rumahnya. Belum lagi panjangan kristal yang berjejer di lemari kaca dan ornamen dinding yang membuat kesan cantik dan elegan. Di dinding tengah ruangan tepajang sebuah foto keluarga berukuran besar sekitar 100x60 cm. Foto keluarga yang di buat unik dengan memakai pakaian tradisional jawa. Ayu baru mengetahui kalau ternyata Bagus mempunyai dua orang adik. Satu adiknya masih berusia sekitar empat tahun. Terlalu jauh jarak usia antara Bagus dengan adik bungsunya, pikir Ayu. Tapi Ibunya masih terlihat muda dan cantik. “Eh bengong aja… duduk dulu gih.” Kata Bagus sambil menunjuk sofa warna putih di depan layar televisi berukuran besar. “Disini?” tanya Ayu meyakinkan. “Iyalah, masa di lantai. Bentar ya aku ke kamar dulu.” Kata Bagus yang kemudian naik tangga menuju kamarnya di lantai dua. Bagus tuh bener-bener deh, masa iya aku baru aja kerumahnya langsung di ajak ke ruang keluarga, mana ditinggal sendirian lagi, batin Ayu. Menurutnya kurang etis jika oranglain yang belum terlalu dekat dengan keluarganya, terlebih lagi baru pernah berkunjung ke rumahnya sudah berani duduk di ruang keluarga. Apalagi rumahnya semewah ini. Ayu duduk di sofa yang beralaskan karpet itu dengan perasaan sungkan, apalagi tidak ada seorangpun pemilik rumah. Dari lantai bawah tempat Ayu duduk terlihat seorang wanita keluar dari kamarnya di lantai dua. Terlihat cantik, putih, terawat dengan mengenakan daster batik warna coklat, namun tetap terlihat elegan dengan jedai yang menjepit rambutnya ke atas. Terlihat sederhana untuk penampilan seorang pemilik rumah dengan ukuran rumah semewah ini. Ibu Bagus menuruni anak tangga, ia tau beliau adalah Ibu Bagus dari foto keluarga yang terpajang di ruangan itu. Ayu berdiri sambil tersenyum ramah dan menganggukkan kepalanya sebagai bentuk rasa hormat. Disambut dengan senyum ramah pula oleh Ibu Bagas. Duh, mana sih nih Bagus, mana ngga turun-turun, protes Ayu dalam Hati. “Ini mba Ayu ya?” tanya Ibu Bagus ramah sembari menghampirinya. “Iya betul Tante.” “Udah duduk aja ngga papa.” Kata Ibu Bagus sambil ikut duduk di samping Ayu. “Iya Tante.” “Mba Ayu rumahnya dimana?” “Ngga jauh kok Tante dari sini, di daerah Gejayan.” “Wah, gejayannya sebelah mana? Kebetulan Tante juga punya temen disana, ya sedikit paham si sama daerah sana, soalnya sering main kesana kalau lagi iseng, namanya Herlina.” “Oh… Bu Herlina yang punya toko di depan kantor notaris itu ya Tante?” “Iya… iya betul.” Ibu Bagus membenarkan. “Saya tau Tante, kebetulan Ibu saya juga bikin kue trus dititipkan di toko Bu Herlina.” “Oh ya? Yang suka ada arem-arem, kue lumpur itu ya?” kata Ibu Bagus antusias. “Iya bu…” “Waah… Ayahnya Bagus suka sekali tuh sama arem-aremnya. Kalau Tante kesana pasti deh selalu minta dibeliin. Kapan-kapan Tante bisa pesan dong kalau disini ada arisan atau pengajian.” “Bisa banget Tante, tinggal kabarin aja.” Kata Ayu semangat. Ibu Bagus dan Ayu terlihat sudah semakin akrab walaupun mereka baru saja bertemu. “Oh ya keasyikan ngobrol jadi lupa… Ini Dara mana lagiii. Sebentar ya Mba Ayu.” Ibu Diana menuju anak tangga rumahnya sambil memanggil putrinya. “Daraa… ayo turun sayang… ni Mba Ayu yang mau ngajar les udah dateng.” Ibu Bagus memanggil Dara sedikit keras. “Ya bentar Mah… lagi siapin bukunya.” Terdengar suara anak perempuan dari dalam kamarnya. “Bentar ya Mba Ayu, Tante tinggal dulu ke belakang.” “Iya Tante.” Ibu Bagus kemudian berjalan ke arah dapur. “Bi, tolong bikinin minum ya buat guru les nya Dara.” Terdengar sayup-sayup suara Ibu Bagus berbicara dengan assisten rumah tangganya. “Iya Bu.” Tak berapa lama seorang anak perempuan yang mendekati remaja berlari menuruni tangga sambil membawa beberapa buku dan perlengkapan lainnya, ia mendekat ke arah Ayu. “Hallo Mba Ayu, kenalin aku Dara.” Sapa Dara sambil mengulurkan tangannya. Dari caranya menyapa Ayu terlihat Dara adalah anak yang baik dan ceria. Ia tidak menyangka keluarga Bagus begitu hangat menyambutnya. Tidak seperti apa yang ia bayangkan sebelumnya. “Hallo Dara…” sapa Ayu pula dengan ceria. “Ayu…” Ayu memperkenalkan diri sambil membalas uluran tangan Dara. “Wah, tinggi banget ya Dara, kayaknya hampir sama nih tingginya sama mba Ayu.” Dara hanya tersenyum sambil duduk di atas karpet dan meletakan buku-bukunya di meja di depan Ayu. Dara memang terlihat jangkung untuk anak SMP seusianya, persis seperti Bagus, padahal Ibunya tidak begitu tinggi, mungkin keturunan dari Ayahnya, pikir Ayu. “Oke, kita mau belajar apa nih hari ini.” Tanya Ayu sambil ikut duduk di karpet bersama Dara. Dara membuka buku pelajaran matematikanya dan menunjukkan kepada Ayu. “Ini mba, pelajaran matematika yang aku belum ngerti.” “Oh… tentang persamaan kuadrat ya…oke, kita mulai dari dasar dulu ya.” Kata ayu sambil mendekatkan bukunya dan mulai menerangkannya kepada Dara. Tak berapa lama Ayu dan Dara sudah asyik belajar. Ayu dengan sabar dan telaten mengajari Dara dan memberikan langkah-langkah yang mudah dan cepat untuk menyelesaikan soal. Dara terlihat cepat memahami apa yang Ayu ajarkan. Dari sudut dapur bibi keluar dengan membawa nampan berisi dua minuman jus jeruk dingin dan dua piring camilan. Ia meletakkannya di sisi meja yang kosong. “Maaf Mba, ini minumannya, silahkan.” “Oh iya Bi, makasih.” Jawab Ayu sambil tersenyum ramah. “Wah, makasih Bi, Dara aus banget dari tadi.” Dara dengan cepat mengambil satu gelas dan langsung meminumnya. Begitu juga dengan Ayu yang sedari tadi merasa kerongkongannya sudah kering karena banyak menjelaskan. Mereka pun kembali melanjutkan belajar mereka, dengan sesekali diselingi candaan yang membuat mereka tertawa. “Mba Ayu kasih soal ya nanti Dara yang jawab.” Kata Dara sambil mengambil kertas HVS kosong dari dalam ranselnya. “Oke siaapp… siapa takut.” Jawab Dara menerima tantangan Ayu. Ibu Bagus baru saja selesai memasak di dapur dan hendak menuju ke kamarnya untuk berganti pakaian karena basah terkena keringat, sekilas Ia melihat putrinya dan guru les nya yang sepertinya sudah terlihat akrab. Ibu Bagus merasa senang melihat kepribadian Ayu dan cara mengajarnya. Dara pun terlihat santai dan menikmati belajarnya. Ia berharap Dara dapat meningkatkan prestasi nya di sekolah. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah empat sore, tak terasa sudah dua jam Ayu mengajari Dara. Dara pun sepertinya sudah merasa lelah. Ayu pun menutup sesi belajar mereka hari ini karena Ayu juga harus bekerja. “Nanti les nya seminggu tiga kali ya mba Ayu, hari Senin, Rabu, sama Jumat aja ya. Soalnya hari selasa sama Kamis Dara ada kegiatan di sekolah.” “Oke siap!” jawab Ayu sambil mengacungkan ibu jarinya. “Ya udah, mba Ayu langsung pulang ya.” Kata Ayu setelah selesai berkemas. “Oh bentar mba.” Kata Dara. “Maaaahhhh…mas Bagusss… Mba Ayu mau pulang nih.” Mendengar teriakan Dara, Bagus pun bergegas turun. “Ih giliran aku mau pulang aja, cepet banget turunnya.” kata Ayu sewot. “Iya… iya… maaf ya… tadi aku mandi dulu soalnya gerah banget. Eh pas mau turun, kamu lagi ngobrol sama mamah, kayaknya asyik banget makanya aku masuk kamar lagi. Eh udh mau turun lagi ni anak monyet udh lagi belajar, masa mau aku gangguin.” “Ih enak aja anak monyet, mas Bagus tuh anak gorila.” Balas Dara dengan nada kesal. “Ih berarti ngatain mamah papah gorila dong. Nah lo mas bilangin.” Bagus sengaja menggoda adiknya. Ia senang melihat adiknya kesal karena terlihat lucu dengan bibirnya yang manyun. “Udah… udah… kalian nih kebiasaan.” Ibu Bagus turun dari tangga sambil melerai mereka. “Maaf ya Mba Ayu, mereka tuh kalau di rumah udah kaya kucing sama tikus, adaaaa aja yang diributin.” kata Ibu Bagus. “Eh... jangan pulang dulu. Udah Tante masakin, ayo makan dulu.” “Duh, maaf bukannya ngga mau Tante, tapi Ayu harus kerja” jawab Ayu sambil melihat jam tangannya. “Ooh… kerja dimana mba Ayu?” “Di kafe Tante.” “Wah… hebat nih mba Ayu bener-bener pekerja keras. Kata Bagus juga udah ngerjain skripsi ya.” “Eh iya Tante, Alhamdulillah.” “Hmmm… tu Ayu aja udah mulai skripsinya…masa kamu kalah.” Kata Ibu Bagus sambil melirik ke arah Bagus. “Yaelah mah… beda. Ayu kan perempuan, Bagus kan laki-laki.” “Ya trus apa hubungannya?? Kamu nih ada-ada aja.” Kata Ibu Bagus heran. “Ya udah Ayu pamit dulu ya Tante.” Ayu berpamitan sambil mencium tangan Ibu Bagus. “Tapi janji ya lain kali ngga boleh nolak lho.” “Insya Allah Tante” “Ya udah Bagus anterin Ayu dulu ya mah, soalnya tadi kesini bareng Bagus. Motornya lagi di bengkel.” “Iya ati-ati ya… jangan ngebut-ngebut bawa anak orang.” Kata Ibu Bagus sambil menepuk lembut bahu putranya. “Iya Maaaahh…” Mereka pun keluar nenuju tempat Bagus memarkir motornya. “Anter sampe jalan besar aja ngga papa kok, biar nanti aku naik bus aja.” Kata Ayu karena tidak mau merepotkan. “Yaelah kayak sama siapa aja. Emang aku bakal tega?” tanya Bagus sambil tetap menaiki motornya. Karena tempat duduk motor ninja yang lebih tinggi di bagian belakang dan sedikit miring, membuat Ayu harus berpegangan di bahu Bagus. Mereka pun melaju ke arah gejayan. “Gus, langsung ke tempat kerja aku aja ya. Udah ngga keburu kalau pulang dulu ke rumah.” Pinta Ayu di tengah perjalanannya. “Hah? Ngga kedengeran.” Kata Bagus sambil menengok ke arah Ayu. “Langsung ke tempat kerja aku aja, soalnya ngga keburu kalau pulang dulu ke rumah.” Pinta Ayu sekali lagi sambil mendekatkan mulutnya ke arah telinga Bagus. “Oh oke.” Kata Bagus yang sudah tau dimana tempat Ayu bekerja. Sebelum mereka sampai di Hellios Cafe tempat Ayu bekerja, Bagus berhenti dulu di sebuah Minimarket di pinggir jalan. “Tunggu bentar ya.” dengan cepat Bagus masuk ke sebuah minimarket untuk membeli sesuatu lalu dengan cepat keluar dan melanjutkan mengantar Ayu. Sampailah mereka di halaman parkir Hellios Cafe. “Makasih ya Gus, aku masuk dulu.” “Iya, nih buat makan. Aku tau kamu kan belum makan siang.” Kata Bagus sambil memberikan bungkusan plastik yang tadi ia beli dari minimarket. “Astaga, jadi kamu beli ini. Ngga usah repot-repot kali. Ngga makan sekali juga ngga bakal pingsan kok.” Kata Ayu sambil mengintip bungkusan plastik yang berisi roti, air mineral, dan satu batang coklat. “Ya kamu kan habis dari rumahku. Kalau kamu pingsan aku mesti bilang apa dong sama Ibu kamu.” Kata Bagus beralasan. “Ya udah, makasih ya. Ati-ati di jalan.” Bagus pun kembali memacu motornya dengan suara yang menggelegar. Membuat teman kerja Ayu yang berada di dalam kafe mengalihkan pandangannya ke arah luar. Ayu pun masuk ke dalam kafe. “Waaahhh… siapa Yu? Bisa kali dikenalin.” Goda Dewi yang sedari tadi memperhatikan. “Apaan sih… orang temen juga.” Jawab Ayu santai karena memang tidak ada yang spesial diantara mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD